Trends

Jurus Tita Djumaryo dan Ranald Indra Besarkan Ganara Art

Tita Djumaryo, pendiri & CEO Ganara Art.
Tita Djumaryo, pendiri & CEO Ganara Art.

Tita Djumaryo mengasah otak untuk mengasuh Nalagra, anaknya yang terindikasi mengalami speech delay. Guna melatih buah hatinya ini, Tita merancang latihan sensor terintegrasi. Tujuannya, untuk terapi bicara dan melatih kreativitas Nalagra yang kala itu masih berumur tiga tahun. Ibu dari tiga anak ini membuka Early Art Sensory Class di tahun 2013.

“Kami membuat kelas khusus untuk Nalagra, namanya Early Art Sensory Class. Kelas tersebut menggunakan story telling oleh gurunya dalam bahasa Indonesia,” Tita mengisahkan.

Anaknya juga dilatih mengkreasikan art work berbahan gel, tanah liat, bubble, dan lainnya yang merangsang sensor otak. Setelah tiga bulan, Nalagra semakin responsif dan kepercayaan dirinya meningkat untuk berkeksplorasi. Antara lain, memamerkan karya seni. Tita, yang dikenal sebagai seniman dan penggiat seni rupa, menjumput ide dari pengalamannya mengasah sensor Nalagra dengan berkesenian.

Pada 2013 itu, Tita bersama Ranald Indra, suaminya, sepakat mendirikan Ganara Art, sebagai lembaga pendidikan seni dan budaya yang berikhtiar untuk mengasah karsa seni dan mendorong kreativitas anak-anak sejak dini. Waktu itu, pesertanya hanya bisa dihitung dengan jari, termasuk kedua anaknya.

Ganara merupakan akronim dari nama anak-anaknya, yakni Gadra, Nalagra, dan Ralanggana. Selain itu, Ganara juga memiliki makna lain dalam bahasa Spanyol yang berarti “saya menang”. Pada fase awal ini, kegiatannya berlokasi di perumahan di kawasan Prapanca, Jakarta Selatan.

Tita mengklaim, kurikulum dan metode pengajaran Ganara Art berbeda dibandingkan sanggar seni. “Mimpi besar Ganara dari dulu hingga kini tidak pernah berubah, yaitu sebagai lembaga pendidikan seni untuk perubahan sosial. Kami meyakini, semua yang dilakukan ini betul-betul berdasarkan keinginan untuk mengubah Indonesia menjadi lebih baik,” ungkap lulusan S-1 Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung ini.

Setapak demi setapak, Tita dan Ranald mewujudkan impian itu. Sebab, Ganara Art menyedot minat publik, mulai dari anak-anak, ibu-ibu, muda-mudi, korporasi, hingga lembaga nirlaba.

Lembaganya ini menyasar semua kalangan. “Art for Everyone”, demikian jargonnya untuk menjembatani seni ke khalayak umum. Pada 2014, misalnya, pasangan suami-istri ini mendirikan Yayasan Mari Berbagi Seni yang merancang gerakan sosial dengan menyisihkan sebagian kecil keuntungan Ganara Art untuk membantu anak-anak yang kurang mampu untuk mengakses pelatihan seni.

Untuk menghasilkan pendapatan, pada 2015 Tita menjalankan program Arisan Art. Pesertanya ibu-ibu yang dilatih berkreasi seni di kafe. Waktu itu, Ganara Art belum punya studio. Maka, ia pun bermitra dengan pengelola kafe.

Peserta Arisan Art melukis dan disuguhi aneka kuliner. Lukisan peserta dipamerkan dan ada yang terjual, sehingga bisa membiayai kegiatan sosial di sekolah khusus tunanetra.

Pada tahun itu pula, Ganara Art dan Yayasan Hekaleka berkontribusi untuk memberikan pelatihan kepada 40 guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman Kanak-Kanak (TK). Mereka memanfaatkan pewarna alami sebagai bahan ajar kepada sekitar 300 murid.

Selain itu, Tita disiplin mengelola Ganara Art agar memperoleh pendapatan dan memberikan nilai tambah kepada publik. “Seniman adalah entrepreneur karena ketika kami berkarya atau bekerja, kami memulainya dengan mendisiplinkan diri sendiri terlebih dahulu dan mengetahui titik-titik yang menjadi kelebihan untuk mempromosikan karyanya,” katanya.

Adaptasi di Masa Pandemi

Sebelum pandemi, Ganara Art memiliki dua cabang dan memperoleh pendapatan dari biaya peserta di kelas, event, dan training. Pada masa pandemi Covid-19, Ganara menyediakan kelas dalam jaringan (online).

“Ketika pandemi, kami berhasil melaksanakan dua program besar, yakni bekerjasama dengan The Walt Disney Company untuk kelas literasi digital secara online di berbagai kota di Indonesia dan bersama USAID (United States Agency for International Development) menjalankan program Creative Youth for Tolerance di tiga provinsi yang kerjanya remote working,” Tita menuturkan.

Setelah mobilitas masyarakat berangsur pulih, Ganara Art di 2022 membuka kelas offline kembali. Sejumlah perusahaan berhasil digaet, antara lain PT Paragon Technology and Innovation (produsen Wardah), Samsung, dan UOB Indonesia.

Setahun berikutnya, Ganara Art berekspansi. Mereka membuka cabang di pusat perbelanjaan di Plaza Indonesia (Jakarta) dan Nipah Park (Makassar, Sulawesi Selatan).

“Saat ini, jumlah cabang kami ada empat. Di Plaza Indonesia, merupakan yang terbesar karena menempati area seluas 1.200 m2, di Rumah Wijaya, Nipah Park, dan Carstensz Mall di Serpong, Banten. Kami juga pernah membuka pop up di Ashta District, Jakarta dan Bali,” ungkap Tita.

Tita-Ranald s berbagi tugas untuk mengembangkan model bisnis. Tita menjadi CEO Ganara Art, yang bertugas menjalin kemitraan dan kolaborasi bisnis, serta berjumpa dengan beragam individu, eksekutif perusahaan, hingga seniman. Adapun Ranald mengemban tugas layaknya sebagai wadah pemikir (think tank) yang merancang detail pengembangan bisnis dan teknis, misalnya rancangan desain visual studio.

Karakter keduanya bertolak belakang, unik, dan saling melengkapi. Tita extrovert, sedangkan Ranald introvert.

Sebagai contoh, Tita berinisiatif menjalin komunikasi untuk menjajaki kolaborasi dengan para mitra bisnis. Misalnya, dengan Kelompok Usaha Kalla (Kalla Group) untuk membuka Ganara Art di Nipah Park.

Ganara Art sampai saat ini masih berkolaborasi dengan Disney dan memberikan pelatihan berbasis pendekatan seni, Di antaranya, corporate training dan edukasi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang pascapandemi.

Seratus karyawannya bekerja secara profesional untuk membesarkan Ganara Art. Ada yang bertugas sebagai instruktur, guru yang berpendidikan seni rupa dan desain, serta seniman.

Untuk memperkuat kinerja finansial, lembaga ini memperoleh pendapatan dari peserta yang mengikuti kelas dan kegiatan pelatihan. Untuk biaya kelas, manajemen Ganara mematoknya secara bervariasi dan tidak menguras kocek peserta. Harganya Rp 50 ribu – 175 ribu. Yang paling banyak diminati peserta, antara lain, kelas pottery handbuilt, pottery wheel, serta melukis di topi atau tas.

“Kemudian, pemanfaatan ruang untuk bisa dijadikan instalasi, seperti kolaborasi dengan Wardah beberapa waktu lalu. Ini menjadi revenue stream terbaru untuk Ganara Art,” kata Tita, yang juga dikenal sebagai kakaknya Giring “Nidji”. Tak ketinggalan, mereka melakukan monetisasi karena memproduksi Ganara Goodies.

Tita optimistis Ganara Art akan tumbuh berkelanjutan karena industri seni diprediksi berkembang di kota-kota besar lainnya. ”Kebutuhan untuk mengekspresikan diri tidak hanya di Jakarta,” ujarnya.

Untuk merayakan Satu Dekade Ganara, pihaknya meluncurkan inovasi terbaru, Ganara Greenway Garden, di Backyard Nipah Park. “Jadi, untuk pertama kalinya kami masuk ke perkebunan yang kegiatannya berkebun, bercocok tanam, dan ada rumah keramik yang ada tungkunya sehingga pengunjung bisa mempelajari proses membuat keramik. Ini akan menjadi destinasi wisata baru yang belum pernah ada yang menggabungkan antara lingkungan hidup dan seni,” Tita menjelaskan.

Rencananya, Ganara Art menjajaki untuk membuka kawasan berkonsep desa seni seluas 10 ribu m2 yang akan dibuka pada Agustus tahun ini. (*)

Vina Anggita & Vicky Rachman

Riset: Fitriana Era Madani

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved