Column

Dealing with Uncertainties

Oleh Editor
Ilustrasi, sumber: eurobiz.com.cn.

Memang sulit untuk mengidentifikasi siapa pencetus kalimat “ketidakpastian adalah sesuatu yang pasti”. Konsep ini —bahwa ketidakpastian merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan— telah ada sepanjang sejarah dan telah disuarakan dalam berbagai cara oleh banyak pemikir, filsuf, dan penulis.

Dan, itu sudah dipahami banyak orang sejak zaman dulu. Namun, layaknya sebuah paradigma, banyak orang tahu tentang hal itu tapi sangat sedikit yang tahu bagaimana memitigasinya. Akibatnya, sampai saat ini masih banyak pemimpin yang gagal melakukan mitigasi yang cukup sehingga bisnis ataupun organisasinya lenyap dalam ketidakpastian ini.

Sebelum muncul akselerasi literasi digital, banyak yang berasumsi bahwa “brick and mortar” business akan selalu ada berdampingan dengan bisnis digital. Banyak yang tidak yakin bahwa digital akan memakan habis bisnis tradisional. Karena belum yakin atau tidak yakin akan kepastian akselerasi digital itu, banyak perusahaan yang masih menganggap itu soal nanti.

Ternyata, ada pihak yang memanfaatkan ketidakpastian teknologi ini, dengan segala hambatan dan keterbatasan saat itu, sehingga merontokkan bisnis yang sudah lama berjaya dan akhirnya tinggal kenangan. Studi kasus tentang Barnes and Noble dan Taxi adalah dua contoh nyata bisnis yang tidak menganggap serius transformasi digital, karena dianggap hasilnya belum pasti dan masih banyak masalah; mereka akhirnya gulung tikar.

Kalau ditelusuri lebih dalam lagi, setidaknya ada tiga penyebab utama mengapa ketidakpastian terjadi:

Pertama, Kurangnya Informasi: Salah satu penyebab utama ketidakpastian adalah ketidaktersediaan informasi yang lengkap atau akurat. Misalnya, dalam dunia bisnis, perusahaan mungkin tidak memiliki informasi penuh tentang perilaku konsumen di masa depan atau bagaimana pesaing akan bereaksi terhadap strategi baru. Akibatnya, yang kita lihat sekarang misalnya, Pasar Tanah Abang yang dulunya ramai sebentar lagi tinggal kenangan. Ini disebabkan pemain di sana terlambat memanfaatkan teknologi karena kurangnya informasi tentang teknologi seperti TikTok yang mengancam business model seperti mereka saat ini.

Kedua, Kompleksitas Sistem: Sistem yang kompleks dengan banyak variabel yang saling berinteraksi dapat menyebabkan ketidakpastian. Contohnya, iklim global dipengaruhi ribuan faktor yang saling terkait, sehingga sulit memprediksi dengan pasti bagaimana perubahan di satu area akan memengaruhi sistem keseluruhan.

Ketiga, Perubahan Lingkungan: Lingkungan yang berubah dengan cepat, baik itu lingkungan bisnis, teknologi, maupun alam, dapat menciptakan ketidakpastian. Sebagai contoh, kemajuan teknologi yang pesat bisa mengubah lanskap industri dan membuat prediksi masa depan menjadi sulit. Ini terbukti dengan peningkatan electric vehicle yang membuat pusing perusahaan yang tidak siap dengan perubahan ini.

Pertanyaannya, bagaimana menghadapi ketidakpastian ini? Apakah ketidakpastian bisa dimitigasi dengan strategi yang penuh dengan kepastian? Tentu, jawabnya sederhana saja, tidak mungkin. Karena, mitigasi juga akan berdasar pada asumsi yang mengandung ketidakpastian. Namun, setidaknya dengan penelaahan yang lebih mendalam, dampak buruk akibat “ignorance” akan berkurang dan “resilience” akan bertambah.

Ada tiga fase dasar agar ketidakpastian ini bisa disikapi dengan bijak serta dilakukan langkah antisipasi dan reaksi yang memadai agar bisa memanfaatkan ketidakpastian. Membuat ketidakpastian jadi “gain” bukan “pain”, serta membuat organisasi atau produk kita jadi victor bukan victim.

Pertama, kita harus menemukan dan menentukan faktor utama yang harus menjadi perhatian kita karena sangat memengaruhi kinerja organisasi atau produk kita. Ini yang saya sebut “Uncertainty Factor”. Dalami faktor ini dan lakukan analisis cara kerjanya dan cara antisipasi kalau terjadi dan tidak terjadi.

Kedua, setelah analisis dilakukan, mulai dipikirkan langkah antisipasi dan mitigasi kalau hal itu terjadi ataupun tidak terjadi. Memikirkan opsi defend, ketika produk atau jasa kita harus dipertahankan karena munculnya varian produk dan jasa yang baru, atau extend, yaitu bagaimana mengembangkan produk dan jasa kita sehingga bisa melebihi apa yang akan ditawarkan produk pesaing.

Ketiga, kalau defend dan extend tidak mungkin dilakukan, strategi yang bisa dijalankan ialah adaptasi ketika ketidakpastian itu mulai menjadi kepastian walaupun baru awal. Misalnya, kalau teknologi artificial intelligence (AI) menjadi ancaman, harus segera dicarikan alternatif untuk diadopsi agar menjadi daya saing kalau kita menggunakannya dengan cepat.

Para desainer grafis sekarang yang sangat cepat mendapatkan ribuan alternatif karya dengan memakai AI merupakan contoh bagaimana perusahaan desain menggunakan teknologi yang menjadi ancaman diubah menjadi daya saing.

Sebaliknya, suatu kepastian saat ini bisa menjadi ketidakpastian dalam jangka tertentu di masa depan atau sesuatu yang kelihatannya menggembirakan di masa lalu sekarang sudah mulai redup sinarnya. Misalnya, banyak startup yang mengandalkan cash burn dan promo atau diskon tidak layak lagi harga jualnya di masa kini; walaupun literasi digital meningkat, tidak terbukti adopsi untuk commerce semakin tinggi untuk sektor dan produk tertentu. Artinya, pembalikan sifat ini membuat banyak investor dan founder yang gulung tikar karena kepastian dua tiga tahun lalu berujung pada ketidakpastian tahun ini.

Itulah fakta. Itu sebabnya, kemampuan organisasi atau pribadi untuk menyikapi ketidakpastian ini merupakan sebuah daya saing yang luar biasa. Ini harus terus dilatih agar menjadi kompetensi organisasi, bukan individu. (*)

Paulus Bambang WS


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved