Column

Politik, Kebenaran & Kebaikan

Oleh Editor
Ilustrasi : thehansindia.com
Ilustrasi : thehansindia.com

Begitu mendengar seorang sahabat terjun ke dunia politik, langsung saja saya menghubunginya via WA: “Serius nih mau masuk parpol?”

“Harus coba. DPR kita bermasalah,” ujar dia.

“Kamu yakin bisa membawa perbaikan, karena saya justru khawatir jangan-jangan nanti malah kamu yang akan berubah, “ kata saya. “Lebih baik jadi pengamat saja seperti sekarang,” kata saya lagi.

“Justru harus masuk partai dong. Dan, partai yang aku masuki ini kan partai yang bersih. Cuma partai ini yang bisa diharapkan. Minggu depan aku mau deklarasi. Datang ya kalau ada waktu….”

Itulah percakapan kami beberapa waktu yang lalu, dan ternyata hanya dalam hitungan bulan sahabat saya ini sudah menjadi seseorang yang sama sekali “tidak saya kenal”. Bukan hanya berubah pilihan politik, ia juga sudah menganut nilai yang berbeda, bahkan bertolak belakang.

Sebelumnya, ia mengatakan sesuatu itu buruk, sekarang ia bilang itu baik-baik saja. Sebelumnya, ia tegas mengatakan bahwa perbuatan-perbuatan tertentu merupakan kejahatan yang tak dapat ditoleransi, kini ia mengatakan bahwa hal itu bersifat relatif. “Benar dan salah itu sesungguhnya cuma persoalan cara pandang,” katanya berkilah.

Satu kata yang paling digemarinya sekarang ialah “kompromi”. “Kita sadari saja bahwa dalam hidup kita tidak bisa selalu memperoleh yang sempurna seperti yang kita inginkan. Saya yakin Anda pun melakukan kompromi dalam hidup. It is not either this or that. In between-nya cukup luas. Dan, saya yakin selama kompromi dilakukan for the greater good, Allah akan tetap melindungi kita,” demikian kata sahabat saya itu.

Membaca pesannya, saya cuma terdiam. Sebelumnya, saya sangat mengenal sahabat saya ini. Namun, saya sama sekali tidak menyangka bahwa politik bisa sekejam itu mengubahnya. Ternyata idealisme dan keimanan seseorang itu cuma setipis kulit bawang. Begitu ganti lingkungan, ia benar-benar menjadi orang yang berbeda. Dan, ini kalimat favoritnya sekarang, “Jadi orang itu tak boleh kaku, harus fleksibel, harus terbuka. Kita harus bisa berkompromi.”

Kompromi bukanlah sebuah kata yang jahat. Sebagai pelaku bisnis, saya pun sering melakukan kompromi. Namun, kompromi yang saya lakukan ialah kompromi di level operasional. Saya bisa mengompromikan seberapa banyak pelayanan yang akan saya berikan. Saya bisa mengompromikan apakah akan mendahulukan A dan menunda B.

Namun, saya tidak berkompromi dalam semua hal. Saya tidak bisa mengompromikan nilai-nilai. Bagaimana mungkin saya bisa mengatakan bahwa mencuri itu baik? Bagaimana mungkin saya bisa mengatakan bahwa membunuh itu sesuatu yang bersifat relatif?

Prinsip dalam kehidupan itu sudah sangat jelas dan terang benderang. Dalam budaya apa pun, menolong orang adalah sebuah kebaikan. Dalam ajaran agama apa pun, kita diajari bersikap jujur dan mengasihi sesama. Dalam tradisi apa pun, mencuri, menghina, membunuh, dan merampok itu buruk dan jahat. Tidak pernah ada ajaran apa pun yang membenarkan tindakan-tindakan seperti itu. Ini berlaku di mana saja, kapan saja, dan untuk siapa saja. Itulah yang disebut hukum alam, sunnatullah, prinsip dan nilai kehidupan.

Dan, saya memegang prinsip-prinsip seperti ini. Bukan apa-apa, supaya saya menjadi orang yang terpercaya (trustworthy), karena kepercayaan buat saya merupakan sesuatu yang sangat mahal dan tak ternilai. Karena itu, walaupun saya suka berkompromi, saya tak akan mau mengompromikan hal-hal yang bersifat prinsip, antara lain: menyuap.

Dalam pekerjaan saya sebagai konsultan dan motivator, bukan sekali-dua kali saya diminta untuk memberikan “upeti” agar bisa mendapatkan proyek dari sebuah perusahaan. Alhamdulillah, sejauh ini saya selalu berhasil menolaknya, dengan bahasa yang sangat sopan dan santun. Dan sejauh ini, 90% perusahaan yang saya tolak tersebut tetap –pada akhirnya– memberikan pekerjaan kepada saya walaupun tanpa upeti apa pun.

Kesimpulan sementara saya, mungkin permintaan upeti itu hanya upaya coba-coba dari orang-orang di level bawah. Dan, pada akhirnya kredibilitas dan nama baiklah yang membuat saya tetap terpilih. Hanya satu kali saya gagal mendapatkan proyek ketika saya menolak untuk menyuap.

Namun, harus saya akui bahwa melakukan hal-hal seperti ini sama sekali tidak mudah. Bahwa kemarin saya berhasil sama sekali tidak menjamin bahwa saya akan berhasil di waktu yang akan datang. Karena itu, keberhasilan di masa lalu itu saya jaga agar jangan sampai membuat saya sombong. Saya harus tetap waspada dan tidak lengah karena saya tahu bahwa godaan akan selalu mengintai.

Repotnya, kalau kita masuk politik, semua orang itu adalah teman yang kita kenal secara personal, yang kita kenal dekat. Misalnya, saya mengenal A dan A ini orangnya baik, penuh perhatian, dan suka menolong. Maka, saya mengalami kesulitan untuk “membencinya” ketika ia terbukti korupsi.

Saya juga mengenal B yang murah senyum, sering memuji, dan sangat bersahabat. Lantas, ketika terbukti bahwa ia menyalahgunakan kekuasaannya, bagaimana mungkin saya bisa “menentangnya” padahal baru kemarin saya ngobrol-ngobrol dengannya di warung kopi?

Dalam politik, setiap orang “saling mengenal” secara pribadi. Mengenal di sini bisa dalam bentuk “sudah mengenal” atau “akan mengenal”. Itulah sebabnya, kebanyakan politikus itu rancu dalam menentukan siapa kawan dan siapa lawan.

Dan, itulah yang membedakan politikus dengan “orang-orang biasa” seperti kita. Bagi “orang biasa”, kejahatan adalah kejahatan, no matter what. Bagi politikus, kejahatan itu tergantung pada dari mana kita melihatnya. Atau lebih tepatnya, “siapa yang melakukannya”.

Itulah sebabnya, banyak orang yang tadinya lurus jadi berubah setelah masuk dunia politik. Politik memang menggiurkan. Bahkan konon, semua bentuk kesenangan di dunia tersedia lengkap di sana. (*)

Arvan Pradiansyah

Motivator Nasional – Leadership & Happiness


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved