Trends

Kenapa Pendanaan Projek Terkait Perubahan Iklim Minim?

Citi melalui Citi Global Perspectives & Solutions (Citi GPS) merilis laporan terbaru bertajuk ‘unlocking climate and development finance’. Laporan ini menyoroti bagaimana perbedaan selera risiko modal dan profil risiko projek menjadi salah satu penyebab minimnya mobilisasi pendanaan untuk projek-projek terkait perubahan iklim.

Dalam laporan tersebut, meski fasilitas aliran modal sudah dipahami dengan baik, namun dibutuhkan lebih banyak projek yang dapat dibiayai dan dapat diinvestasikan guna mendukung upaya penanganan perubahan iklim. Dalam beberapa dekade terakhir memang terlihat kemajuan luar biasa telah dicapai dalam menangani perubahan iklim.

Pada 2015, sebanyak 196 negara sepakat mengadopsi Paris Agreement dalam pertemuan COP15 yang menghasilkan perjanjian untuk menjaga kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2 derajat celcius. Kemudian pada pertemuan COP26 tahun 2021, para pemimpin dunia berkumpul untuk merancang agenda global dan kerangka kerja menuju net-zero emission. Tantangan berikutnya adalah mencari cara untuk mendanai tindakan global terkait perubahan iklim.

Antara tahun 2016-2020, berbagai projek terkait perubahan iklim berhasil menggerakkan antara US$600 miliar hingga US$900 miliar rata-rata per tahun. Namun, untuk mencapai skenario net zero emission pada tahun 2050, diperlukan sekitar US$125 triliun dalam 30 tahun ke depan. Meskipun aliran pendanaan global meningkat hampir dua kali lipat pada tahun 2022 menjadi US$1,4 triliun, namun perkiraan kesenjangan pendanaan iklim tahunan antara tahun 2030 dan 2050 hampir 7 kali lipat dari aliran dana tahun 2022.

Chief Executive Officer Citi Indonesia Batara Sianturi menjelaskan, investasi atau pendanaan dalam transisi energi saat ini pada pasar negara-negara maju dilakukan melalui pembiayaan modal swasta, sedangkan di pasar negara berkembang melalui sektor publik dan organisasi supranasional. Dalam beberapa dekade mendatang, sebagian besar pendanaan iklim akan disalurkan di negara-negara berkembang untuk mencapai tujuan iklim global yang sudah ditetapkan.

“Kawasan Asia Timur dan Pasifik tercatat menerima 47% dari keseluruhan aliran pendanaan iklim pada tahun 2022. Eropa Barat menerima 24% lagi, sementara Afrika Sub-Sahara, Timur Tengah serta Afrika Utara wilayah yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim dilaporkan hanya menerima 2% dan 1% dari keseluruhan aliran pendanaan,” ujarnya menjelaskan, Senin (18/12/2023).

Di Indonesia, pada November 2022 saat konferensi G20, Just Energy Transition Partnership (JETP) antara International Partners Group (IPG) dan Indonesia diluncurkan untuk mengumpulkan US$20 miliar pendanaan publik dan swasta guna mendorong pencapaian target iklim dan energi negara Asia. Sebesar US$10 miliar dalam pendanaan swasta akan dihimpun oleh GFANZ yang dipimpin bersama oleh Citi dan 6 bank lainnya, sementara US$10 miliar lainnya dalam dana publik akan dihimpun oleh anggota IPG yang dipimpin oleh AS dan Jepang.

Menurutnya, pejabat pemerintah harus bekerja sama dengan bank-bank pembangunan multilateral (MDB), lembaga keuangan pembangunan (DFI), serta yang tak kalah pentingnya dengan sektor swasta, untuk mempersiapkan studi kelayakan yang komprehensif untuk mendukung agenda perubahan iklim. Perusahaan swasta dan lembaga keuangan juga berperan penting kemampuan mereka untuk memahami risiko, pasar, dan peluang besar di masa depan sangatlah penting.

“Di Citibank menggunakan keahlian untuk mendukung klien dalam mengatasi tantangan global dan berkontribusi pada upaya transisi energi. Kami berharap laporan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih jelas mengenai bagaimana mencapai investasi yang diperlukan untuk mengatasi tantangan terbesar yang dihadapi oleh ekonomi, masyarakat, dan semuanya tertuang dalam tujuan pembangunan berkelanjutan PBB,” ujarnya.

Batara mengaku, bersama dengan mitra-mitra yang bertanggung jawab secara global di sektor swasta dan publik, Citibank akan terus mendukung klien dalam perjalanan transisi mereka, seperti menyalurkan pendanaan keuangan berkelanjutan di sektor tinggi karbon, serta memobilisasi pendanaan modal di pasar negara berkembang untuk transisi energi.

Di Indonesia, Citi telah memimpin beberapa inisiatif penting terkait lingkungan hidup dan keberlanjutan, seperti Penerbitan obligasi hijau (green bond) perdana untuk PT Pertamina Energy Geothermal Energy Tbk (PGE) senilai US$400 juta, serta melakukan penandatanganan kesepakatan Pembiayaan Rantai Pasok Berkelanjutan atau Sustainable Supply Chain Finance (SSCF) dengan Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia) untuk mendukung agenda keberlanjutan kedua perusahaan.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved