Column

Lima Ojo “Duka Kegusur”: Falsafah Menikmati Kehidupan

Oleh Editor

Saat kembali ke kearifan kuno ‒yang sering dianggap orang masa kini sebagai kolonial atau tradisional di dunia modern yang unconventional, unpredictable, uncontrollable, unprecedented, dan segala un lainnya‒ justru kita sering menemukan arti yang lebih hakiki dan bermakna dalam menikmati gejala dan gejolak kehidupan saat ini.

Bagaimana tidak. Kehidupan dunia digital yang semakin cepat dan dibanjiri manusia yang disebut milenial yang maunya serba instan kadang melupakan bahwa manusia adalah human being, tidak sekadar human doing.

“Doing” bisa dikejar dan dipercepat agar segera kelihatan hasilnya, tapi “being” perlu proses dan waktu karena menyangkut perubahan hati. Di sinilah kealpaan banyak manusia masa kini, terus mengisi doing tapi lupa berkontemplasi pada being yang mengakibatkan perilaku doing jadi mengagetkan banyak orang. Kok begitu? Dia bukan seperti yang kukenal dulu.

Bahkan, ketika berkuasa atau sedang mencari kekuasaan, doing ditargetkan dengan jelas. Skala prioritas, anggaran, dan sumber daya dipersiapkan secara terperinci dengan ukuran keberhasilan yang sangat penuh dengan metrik keuangan. Namun, perubahan being alias mental sering dilupakan, bahkan lebih ekstrem lagi: tidak diperhatikan.

Kalaupun ada, hanya slogan di awal, atau setidaknya dijadikan penghias dinding kerja tentang nilai-nilai yang tertulis, tapi nilai dan norma itu mati karena bersifat sebagai “logos” (huruf mati) dan tidak menjadi “rhema” (kalimat hidup dalam diri seseorang). Logos yang tidak menjadi rhema hanya menjadi penghias materi presentasi tanpa makna aksi yang sesungguhnya. Karena, tuntutan utama makna aksi ini justru wajib hukumnya dilakukan oleh pemimpin tertinggi dan jajarannya.

Sangat salah bila perubahan being ini hanya diwacanakan, diartikulasikan, dipidatokan tapi ternyata anak buahnya melanggar apa yang dikatakan pemimpin tertingginya. Itu artinya pemimpin tersebut gagal merevolusi mental bawahannya. Kalau masih punya rasa malu, seharusnya ia mundur.

Teriak antikorupsi, tapi para menterinya korupsi dan enak saja masih menuduh yang lain dengan mengatakan “korupsi ini semakin menjerat semua level”. Ini tontonan yang sangat memalukan.

Itu sebabnya, kita harus menggali lagi being kita. Hati kita dengan falsafah kuno tapi mempunyai kekuatan besar tatkala ada di puncak kekuasaan, apa pun institusinya.

Ini adalah falsafah pemimpin kalau tidak mau kegusur atau jangan kegusur, atau dalam bahasa Jawa: Ojo Duka Kegusur.

Prinsip kesatu, Ojo Dumeh. Artinya, jangan merasa paling hebat atau sombong. Ini adalah pengingat bahwa kesombongan dapat menghalangi pertumbuhan pribadi dan hubungan sosial. Misalnya, seorang pemimpin yang berhasil meningkatkan kinerja organisasinya harus tetap rendah hati dan mengakui kontribusi timnya, bukan hanya mengklaim kesuksesan sebagai hasil kerja kerasnya sendiri.

Prinsip kedua, Ojo Kagetan. Artinya, jangan mudah terkejut atau panik. Hal ini mengajarkan kepada kita untuk tetap tenang dalam menghadapi situasi yang tidak terduga. Ketika terjadi krisis yang tak pernah kita duga, termasuk persahabatan yang sirna menjadi permusuhan hanya karena perbedaan pendapat, tidak harus membuat terkejut dan panik sehingga melakukan serangkaian penyerangan balik yang justru memperkeruh suasa. Bahwa kejadian yang tak terduga bisa membuat kaget seseorang, tapi kagetan itu lebih dari sekadar kaget tapi terlalu sering alias baper, yang merusak mindset sesorang untuk berpikir dengan akal sehat.

Prinsip ketiga, Ojo Kesusu. Artinya, jangan mudah melakukan segala sesuatu dengan cepat tanpa berpikir panjang. Cepat boleh, tapi cepat-cepat jangan. Dunia yang seba cepat ini memang menuntut kecepatan dalam bertindak. Namun, fakta menunjukkan bahwa kecepatan tidak selalu membuahkan hasil yang maksimal, justru kadang hasil yang minimal, kalau tidak mau dikatakan gagal total. Lihat saja emosi digitalisasi dan e-komersialisasi yang sekarang kita lihat dari jawara, jadi tinggal kenangan belaka.

Prinsip keempat, Ojo Gumunan. Artinya, jangan mudah kagum atau tercengang. Prinsip ini mengajarkan kepada kita untuk menerima perubahan atau kejadian yang tidak biasa dengan pikiran terbuka. Misalnya, ketika seorang kolega mendapatkan promosi cepat, sebaiknya kita tidak tercengang atau iri, melainkan menerima dengan pikiran terbuka dan mungkin belajar dari pengalaman mereka, atau bisa menerima tanpa mencari pembenaran diri karena kebenaran nanti akan terjadi.

Prinsip kelima, Ojo Surem. Artinya, jangan berkecil hati atau putus asa. Ini adalah pengingat untuk selalu memiliki sikap positif dan tidak menyerah kepada kesulitan. Misalnya, seorang atlet yang tidak menang dalam pertandingan harus tetap semangat dan berlatih lebih keras, bukan berkecil hati dan menyerah kepada kegagalan. Entah pertandingan itu dalam bentuk promosi jabatan di kantor atau pertarungan di pilkada, pileg, atau pilpres sekalipun, prinsip ini harus dipegang erat. The best is yet to come.

Apa maknanya?

Lima Ojo “Duka Kegusur” bukan hanya sekumpulan kata bijak, melainkan panduan hidup yang bermanfaat. Melalui penerapan prinsip-prinsip ini, kita dapat mengembangkan sikap yang lebih positif, berempati terhadap orang lain, dan selalu tenang dalam menghadapi tantangan. Falsafah ini mengajarkan kepada kita untuk menjadi individu yang lebih matang dan seimbang, baik dalam kehidupan pribadi maupun profesional agar posisi tidak mudah digusur orang dan kedamaian hati tidak mudah digusur lara. Semoga. (*)

Paulus Bambang WS

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved