Marketing

Gelombang Besar Bernama Swiftonomics

Gelombang Besar Bernama Swiftonomics

Dia tak hanya piawai berdendang. Kehadirannya juga membawa dampak ekonomi yang luas, meningkatkan pariwisata dan pendapatan hotel di setiap kota yang dikunjunginya. Inilah Swiftonomics.

Taylor Allison Swift (Foto: Hearstapps).
Taylor Allison Swift (Foto: Hearstapps).

Dalam karpet merah dunia musik yang berkilau, Taylor Allison Swift tampil sebagai muse yang memikat, tidak hanya buat seniman lainnya, tapi juga para profesional, bahkan akademisi. Apa itu muse?

Berakar pada mitologi Yunani (Dewi Muse adalah pelindung berbagai aspek seni dan ilmu pengetahuan), dalam dunia sastra dan seni, muse adalah istilah tentang sumber inspirasi. Di zaman modern, muse sering merujuk kepada simbol atau orang yang mendorong kreativitas, menjadi sumber energi bagi seniman lain untuk menciptakan karya seni, puisi, musik, atau sastra yang memukau.

Dalam kosmos musik mutakhir, Swift bersinar bagai bintang yang merajalela, menciptakan melodi yang memecahkan rekor demi rekor. Pada Agustus 2023, misalnya, dia menjadi perempuan pertama yang menjangkau 100 juta pendengar bulanan di Spotify, sebuah prestasi yang menakjubkan. Dengan 12 album yang berkuasa di puncak Billboard, Swift melewati jejak Barbra Streisand, mengukir sejarah sebagai artis perempuan dengan jumlah album nomor satu terbanyak.

Di istana Grammy Awards, Swift adalah ratu yang tiga kali memenangi Album of The Year untuk Fearless, 1989, dan Folklore, yang hebatnya, setiap albumnya adalah karya besar di genre yang berbeda. Ini adalah pengakuan atas kemampuannya merajut lagu-lagu yang menggugah hati para pendengar musik.

Sebagai penyanyi-penulis lagu yang dinobatkan Forbes sebagai salah satu wanita terkaya di industri musik, Swift merencanakan lebih dari 140 konser di lima benua selama 2023 dan 2024. Tur Swift yang disebut The Eras Tour menghancurkan segala rekor, dari harga tiket hingga jumlah penggemar dan pendapatan.

Pada putaran pertama tur di Amerika Serikat, hampir 54 ribu penggemar memenuhi setiap konsernya, setelah membeli tiket di Ticketmaster yang rata-rata sebesar US$ 254, sementara harga pasar sekunder (calo) bisa melonjak hingga ribuan dolar.

Menurut Bloomberg, setiap pertunjukan The Eras Tour menghasilkan sekitar US$ 13 juta, memberikan Swift lebih dari US$ 300 juta setelah 22 konser berjalan. David Herlihy, profesor di Northeastern, mencatat Swift tak hanya meraup 100% dari tiket, tapi juga pendapatan dari sponsor dan penjualan barang dagangan. Banyak penggemar yang menginginkan kenang-kenangan dari pengalaman The Eras Tour, sehingga mereka membeli setiap barang yang tersedia, yang terkait konser.

Bicara tentang model bisnis, di balik tirai megah panggung Sang Diva, tersembunyi biaya yang rumit, meliputi panggung yang artistik, kostum yang memukau, dan penyewaan tempat yang megah, serta kompensasi untuk kru dan bagi hasil dengan para penulis lagu. Kata Herlihy, biaya ini mungkin mencapai 25 sen untuk setiap dolar yang diterima, jika tidak lebih. Namun, Swift tetap meraih keuntungan besar.

Forbes memprediksi Swift dalam perjalanan untuk melampaui Elton John, yang menghasilkan US$ 939 juta dari tur perpisahannya, Yellow Brick Road, yang menjadi rekor dunia. Penjualan tiket global Swift diperkirakan akan melebihi US$ 1 miliar.

Apa rahasia kehebatan Swift?

Pertama, tentu saja produknya. Lagu-lagunya. Liriknya. Dalam Miss Americana, dokumenter Netflix tahun 2020, Swift mengungkapkan perjalanan artistiknya. Terutama tentang tantangan yang dihadapi artis perempuan untuk terus berkembang. Dia sendiri tumbuh dari akar musik country menjadi bintang pop global. Setiap albumnya membawa tema serta estetika yang berbeda, bagaikan taman musik yang beragam.

Lirik-liriknya sangat kuat. Satu hal kunci yang dikatakan sendiri oleh Swift sebagai pembeda antara dirinya dari musisi lain adalah stroy telling-nya. Dia membuat para pendengar merasakan terhubung dengan lagunya karena melihat diri mereka sendiri dalam lirik yang didendangkan sang penyani.

Dalam Miss Americana itu, Swift mengatakan, ada elemen kesamaan antara dirinya dengan penggemarnya. “Di mana kami merasa tumbuh bersama. (Ketika) Saya mengalami sesuatu, menulis album tentang itu, dan sewaktu album itu keluar, terkadang itu bertepatan dengan apa yang mereka alami. Jadi, mereka seperti membaca diary.”

Dan hebatnya, di dalam kancah musik yang penuh pesona, lagu-lagu Swift bagaikan mantra yang menghidupkan berbagai tren. Contohnya, dalam perilisan Midnights tahun 2022, tarian-tarian lagu “Bejeweled” dan “Karma” bermekaran bagai bunga di musim semi. Banyak yang menirunya.

Namun, tak hanya itu. Katalog lagu lama Swift juga terus berdendang melalui zaman. Versi remix “Love Story” yang meledak di tahun 2020, misalnya, layaknya jembatan waktu, membawa generasi baru untuk merasakan irama klasik sang penulis lagu dan penyanyi ini. Bahkan, baru-baru ini melodi lagu “August” mengajak warganet untuk berlari di tepi pantai dan berputar-putar bersama hewan kesayangan, seolah-olah tiap langkah mereka adalah tarian.

Oke, itu yang pertama. Faktor kedua, adalah kemampuan membangun koneksi dengan fans. Di antara keluarga besar penggemar Taylor Swift, yang disebut Swifties, ada tradisi unik yang mengikat mereka dengan sang Diva. Contohnya, menghidupkan suasana konser dalam kegelapan.

Mereka, dengan gelang persahabatan buatan sendiri, membawa semangat dan jiwa konser sang penyanyi ke dalam setiap perhelatan. Dan, Swift tahu cara mengoneksikan dirinya dengan Swifties. Melalui Instagramnya, dia mengajak penggemarnya untuk mengekspresikan diri dengan penuh warna dan semangat, bersama-sama dalam dendang serta nyanyian.

Yang menarik, antara Swift dan penggemarnya seperti alam semesta sendiri. Dengan mahirnya, dia mengundang komunitas Swifties menafsirkan misteri-misteri yang dilemparnya.

Salah satunya, saat peluncuran 1989 (Taylor’s Version), sang Diva mengundang Swifties untuk bersatu memecahkan misteri yang dirilisnya di Google. Dalam waktu kurang dari 24 jam, mereka berhasil memecahkan banyak teka-teki, menjadikan permainan ini bukan hanya ajang pengumuman judul lagu, tetapi juga sebuah strategi untuk mengukuhkan kehadiran Swift di dunia digital.

Fandom Swift sendiri merentang lintas generasi. Dia, sebagai ikon milenial, telah menyertai para penggemarnya melewati dua dekade perjalanan keartisannya. Dia juga berhasil merangkul Gen Z di TikTok, tempat di mana “SwiftTok” berkembang, menjadi rumah bagi interaksi dan persaudaraan antarpenggemar, menambah warna baru dalam kisah Swift yang terus berkembang.

Selanjutnya, faktor ketiga, experience. Selain konsernya yang menghadirkan pengalaman menyenangkan bagi penggemarnya, Swift juga memimpin tren baru dalam menonton konser: melalui layar bioskop.

Film konsernya, Taylor Swift: The Eras Tour, mulai ditayangkan di bioskop-bioskop terkemuka, termasuk di Indonesia, pada November 2023. Film ini, berdurasi 2 jam 48 menit, menyajikan The Eras Tour, menggabungkan 40 lagu Swift dengan visual dan suara yang menawan.

Bagi Swifties, film The Eras Tour memberikan pengalaman yang lebih dari sekadar menonton film. Ini adalah perjalanan interaktif bagi penonton, yang diperbolehkan menari dan bernyanyi dalam bioskop, mengubahnya menjadi ruang konser yang meriah. Bioskop-bioskop juga menyediakan popcorn bucket edisi The Eras Tour, dilengkapi poster dan tumbler eksklusif.

Hasilnya?

Sukses besar. Film ini meraup lebih dari US$ 250 juta (hampir Rp 3,9 triliun) secara global. Berkat pencapaian itu, The Eras Tour menjadi film ke-19 dengan pendapatan kotor tertinggi di dunia. Di Amerika Utara, ia menjadi film rilisan terbesar ke-11 untuk 2023, mengungguli Mission Impossible – Dead Reckoning part One (US$ 172 juta/Rp 2,66 triliun) dan Indiana Jones and the Dial of Destiny (US$ 174 juta/Rp 2,69 triliun).

Itulah sedikitnya tiga faktor yang membuat Swift bersinar terang di jagat dunia hiburan global.

Namun, Taylor Swift lebih dari sekadar seorang penyanyi dengan lirik hebatnya. Lebih dari sekadar konser, kehadiran penyanyi kelahiran Pennsylvania, AS, 13 Desember 1989 ini memberikan dampak ekonomi yang luas. Setiap kota yang dikunjungi turnya merasakan peningkatan ekonomi yang signifikan. Pengunjung menghabiskan uang di hotel, restoran, dan transportasi lokal. Mereka memutar roda ekonomi di mana panggung dan karpet digelar.

Foto: newyorker.com (Kevin Mazur /Getty)

Dua pertunjukan Swift disebut-sebut meningkatkan PDB Colorado sebesar US$ 140 juta. Bank Federal Reserve di Philadelphia mencatat tur Swift merangsang pariwisata, dengan pendapatan hotel tertinggi di Philadelphia sejak pandemi. Sementara di Chicago, kamar hotel terisi hampir 97% berkat sang penyanyi. Di Las Vegas, bukan kasino, melainkan konser Swift yang memacu pariwisata.

Rata-rata penggemar ditaksir menghabiskan lebih dari US$ 1.300 untuk tiket, perjalanan, dan pakaian konser. QuestionPro memperkirakan tur Eras menghasilkan hingga US$ 4,6 miliar untuk ekonomi AS.

Kontras dengan banyak artis yang berjuang untuk sukses, Swift menonjol. Industri musik terdiri dari berbagai pekerjaan, tetapi pekerja tingkat dasar sering tidak menghasilkan banyak. Sebagian besar kru tur Swift itu adalah pekerja lepas dan kontraktor swasta. Kini, dengan konser yang bergulir sepanjang tahun, dia menciptakan ekosistem ekonomi yang kompleks di sekitar setiap konser.

Itulah sebabnya, lahir istilah Swiftonomics untuk melukiskan efek ekonomi sang Diva. Sebuah gelombang yang tengah bergerak di banyak penjuru kota.

Namun, Swift adalah muse. Dia bukan sekadar penyanyi. Lebih dari sekadar artis. Dia pengubah lanskap bisnis musik. Dia membawa isu-isu penting ke permukaan, menginspirasi dunia tentang nilai dan hak-hak dalam seni. Meskipun berada dalam posisi yang memungkinkannya mengambil risiko, dia menggunakan pengaruhnya untuk mendorong diskusi tentang kontrak dan nilai musik, membuka jalan bagi generasi musisi mendatang.

Contohnya, dengan keberaniannya, dia memilih label rekaman dan layanan streaming-nya sendiri, menciptakan kesepakatan yang lebih menguntungkan bagi para musisi. Pada 2015, dia menulis surat terbuka yang berani, mendorong Apple Music untuk mengubah kebijakan pembayarannya, memperjuangkan hak yang lebih baik bagi para seniman.

Sikapnya yang paling berani adalah ketika dia menantang mantan label rekamannya, Big Machine Records, yang menolak memberinya kesempatan untuk membeli kembali rekaman master aslinya, yang akhirnya dijual kepada Scooter Braun.

Dalam sebuah langkah heroik untuk merebut kembali kendali atas mahakaryanya, Swift menapaki jalur pemberontakan artistik yang menarik. Dia merekam ulang enam album awalnya, menambahkan “vault tracks” –lagu-lagu tersembunyi yang belum pernah diresapi telinga dunia. Lagu-lagu ini biasanya direkam selama sesi produksi album tertentu tetapi tidak dimasukkan dalam versi album tersebut. Oleh Swift, lagu-lagu ini kemudian dirilis, sebagai bagian dari edisi ulang atau khusus, memberikan penggemar akses ke materi yang sebelumnya tak mereka dengar.

Alhasil, setiap album yang direkam ulang menjadi perayaan bagi penggemarnya. Swift seakan memberi mereka suvenir baru. Tak mengherankan, ada yang mengatakan bahwa sang penyanyi-penulis lagu ini bukan hanya seorang seniman, melainkan juga inovator dan pembela seni, menorehkan jejaknya dalam warna pemberontakan dan inovasi.

Hebatnya, pemberontakan tersebut laris manis. Seperti kapal yang menjelajahi samudra musik, Speak Now (Taylor’s Version) berlayar dalam ombak kegembiraan yang tiada tara. Rekaman ulang Fearless (Taylor’s Version), Red (Taylor’s Version), dan Speak Now (Taylor’s Version) telah berlayar lebih jauh dari aslinya, didorong oleh dukungan tanpa batas dari para Swifties yang setia. Mereka, para fans tersebut, bagaikan penjaga benteng, merangkul rekaman baru ini, menolak versi asli yang mereka anggap sebagai warisan yang dirampas pemilik label.

Pengaruh Taylor Swift yang begitu besar ternyata menarik perhatian banyak kalangan. Tahun 2022, Clive Davis Institute di Universitas New York meresmikan kursus yang mendalami dunia Swift. Dibimbing oleh Brittany Spanos, penulis musik terkenal dari Majalah Rolling Stone, kursus ini membuka jendela ke dunia Swift. Bahkan, sebagai penghormatan atas kejeniusannya dalam seni, universitas tersebut menghadiahkan Swift gelar doktor kehormatan, mengakui dia sebagai “seniman paling produktif dan terkemuka di generasinya”.

Sejumlah sekolah mengikuti jejak ini. Mereka menciptakan kursus-kursus yang menelusuri karier Swift, seperti “Psikologi Taylor Swift”, “Songbook Taylor Swift”, dan “Literatur ala Taylor”.

Contohnya, Arizona State University. Di sini, seperti dikutip dari CNN, Taylor Swift dijadikan nama mata kuliah baru untuk Jurusan Psikologi. Namanya: Psychology of Taylor Swift – Advanced Topics of Social Psychology. Mata kuliah ini akan menjadikan Taylor Swift sebagai objek penelitian psikologi.

Kita boleh terkejut. Namun, Swift kini bukan hanya permata hiburan, tetapi juga pusat pendidikan yang mendalam. Kariernya yang dinamis dan berwarna menjadi topik pembelajaran yang beragam, mencakup pemasaran, fandom, bisnis, dan penulisan lagu, membuktikan betapa luas dan mendalamnya dampaknya dalam dunia budaya.

Entah sampai kapan ini akan bertahan. Namun, Swift terus mengukir namanya dalam percakapan budaya melalui melodi, keputusan bisnis, dan kecintaan penggemarnya yang tak tergoyahkan.

Kini, di puncak popularitasnya, mungkin mudah bagi sebagian orang untuk menganggap sang Diva hanya sebagai fenomena sesaat. Namun, dengan 17 tahun perjalanan yang telah dilaluinya, dia membuktikan bahwa kehadirannya bukan hanya sepintas lalu.

Taylor Swift adalah penguasa panggung yang akan berdendang panjang melintasi waktu, yang bukan hanya membuat penggemarnya berdendang, tapi juga membuat para pemasar bisnis hingga akademisi memperhatikannya dengan kagum.

Suka ataupun tidak, Swift adalah muse. Dan, Swiftonomics tengah sulit dihambat. Ia mengaliri relung-relung zaman. (*)

Teguh S. Pambudi

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved