Trends Economic Issues

PERTAABI Dukung Wujudkan Bisnis Berwawasan Hijau dan ESG

Seminar PERTAABI

PERTAABI (Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia) menggelar seminar & business talks dengan tema ‘Mengekplorasi ESG Transformation, Green Energy dan Technology yang Memberikan Dampak Positif bagi Bisnis dan Ekonomi Indonesia’ sebagai bentuk tanggung jawab mewujudkan masa depan bisnis Indonesia terutama di industri alat berat yang berkelanjutan.

Rochman Alamsjah, Direktur PERTAABI mengungkapkan rasa syukurnya bahwa momen yang baik ini untuk meningkatkan knowledge para anggota dalam memahami ESG dan green energy . “Mereka yang hadir dari seluruh Indonesia, kami berharap sharing knowledge ini bermanfaat bagi bisnis dan ekonomi Indonesia,” kata Rochman.

Tumiran, Dewan Energi Nasional/Guru Besar UGM pembicara ahli dalam seminar ini mengungkapkan bahwa perubahan energi konvensional ke EBT tidak akan jalan jika ekonominya tidak tumbuh dan di saat yang sama sektor energinya harus bertumbuh.

“Sektor listrik juga tidak akan tumbuh kalau ekonomi tidak tumbuh. Kalau listrik tidak tumbuh, sektor lain juga tidak tumbuh. Untuk itu, the way of thinking and the way of action kita harus berubah,” kata Tumiran.

Dia melanjutkan, konsumsi energi Indonesia masih rendah, rata-rata per kapita hanya menghabiskan Rp150 ribu per bulan. Prof. Tumiran menilai tidak heran jika target Pemerintah mewujudkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2021-2030 (RUPTL) dengan target porsi EBT dalam bauran energi nasional bisa mencapai 23% pada 2025 sulit terwujud. Berdasarkan pencapaian Kinerja Sektor ESDM Tahun 2022 dari Kementerian ESDM, bauran EBT masih jauh dari target, yakni baru 14,11%. Tidak heran jika target mencapai 2.500 KWH masih jauh untuk diraih pada tahun 2025.

“Kita harus dorong pengembangan teknologi, meningkatkan daya saing produk domestik, keunggulan informasi, meningkatkan ekspor, dan memperbaiki investasi ke peranan nasional. Sektor industri menjadi penggerak untuk ekonomi kita supaya tumbuh, agar konsumsi listrik terdorong bertumbuh,” terang Prof. Tumiran.

Pada kesempatan yang sama, Jaya Wahono, Pengurus KADIN Pusat/Presdir Clean Power Indonesia menuturkan, pihaknya berharap dalam pengembangan EBT, semua harus merasakan efek bertumbuh, seluruh wilayah, bukan saja di Pulau Jawa. “Dalam upaya itu, kami berpartisipasi dalam meningkatkan pemahaman, terutama meningkatkan kesadaran bahwa perubahan iklim yang berpengaruh pada bisnis ke depan. Jangan sampai kepedulian kita tidak memberikan bukti nyata,” tandasnya.

Kerangka pembangunan rendah karbon terus digaungkan KADIN dalam upaya mendukung target pemerintah mewujudkan konsumsi EBT 2.500 KWH di 2025. “Target EBT 23% kita masih jauh untuk dicapai di 2025. Ini pekerjaan rumah kita, bahwa dulu targetnya tidak realistis dan langkah konkretnya kurang, tidak bisa hanya sebatas protes saja, harusnya kita mengambil langkah lebih bergegas untuk berubah. Tidak bisa lagi bergantung pada energi fosil saja, dengan mendorong EBT,” tegas Jaya.

Dalam kesempatan yang sama, Edi Wibowo Direktur Bioenergi – Ditjen EBTKE Kementerian ESDM menyoroti ketergantungan terhadap impor, mengakibatkan defisit neraca perdagangan dan kemungkinan krisis energi. “Mampukah kita menyediakan energi dari dalam negeri, bukan tergantung pada impor? Karena pengelolaan energi berdahadapan dengan Trilema Energi (tiga dilema energi) di negeri ini,” kata Edi.

Trilema Energi itu, pertama, ketahanan energi, tantangan kita adalah dalam upaya penyediaan energi dengan memperhatikan rantai pasok sumber dalam dan luar negeri serta permintaan yang terus meningkat. Kedua, ekuitas energi, kita menghadapi tantangan dalam penyediaan akses dan terjangkaunya energi untuk semua orang. Ketiga, keberlanjutan lingkungan, artinya pembangunan infrastruktur berbasis energi terbarukan dan sumber energi rendah karbon lainnya serta peningkatan efisiensi energi baik dari sisi supply maupun demand.

Walau demikian, Edi mengungkapkan sebenarnya biaya investasi untuk pembangunan pembangkit listrik EBT, khususnya PLTS dan PLTB (termasuk biaya integrasi) lebih murah dan dapat bersaing dengan PLTU 800MW yang sudah ada. Biaya O&M (operation & maintenance) pembangkit listrik EBT juga relatif rendah. Pengurangan pajak dan retribusi penggunaan sumber daya alam dapat menjadi insentif alternatif untuk harga listrik EBT yang lebih kompetitif.

“Kerja sama dan partisipasi dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pengembangan sumber daya manusia, diperlukan untuk mencapai transisi energi yang adil dan memenuhi tujuan mitigasi perubahan iklim,” ujarnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved