Trends Economic Issues

RPP KEN Dikebut, Target EBT Turun Menjadi 19% pada 2025

Pemerintah kebu pembahasan RPP KEN, target Juni 2024 rampung. (ilustrasi dok PRNE).

Dewan Energi Nasional (DEN) tengah menggodok pemutakhiran PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dengan rancangan kebijakan baru (RPP KEN) yang tengah dibahas dengan DPR. RPP KEN menetapkan target bauran EBT pada tahun 2025 turun dari sebelumnya 23% menjadi 17-19%.

Target energi baru terbarukan (EBT) yang terangkum pada RPP KEN tersebut dibuat berdasarkan asumsi tingkat pertumbuhan ekonomi sebesar 4-5% menyesuaikan pasca Covid-19 dan menyetarakan energi nuklir sebagai energi terbarukan. Jika target bauran EBT pada 2025 turun namun target EBT pada 2050 meningkat dari 30% menjadi 58-61% dan di 70-72% pada 2060.

Institute for Essential Services Reform (IESR) memandang penurunan target bauran energi terbarukan menjadi 17-19% pada 2025 dan 19-21% pada 2030 menyiratkan lemahnya komitmen untuk melakukan transisi energi dan sarat kepentingan untuk mempertahankan energi fossil. IESR justru memandang tahun 2025 hingga 2030 sepatutnya menjadi tonggak penting lepas landasnya transisi energi di Indonesia dengan pencapaian target energi terbarukan lebih dari 40% dan puncak emisi sektor energi pada 2030.

Sementara itu, terlambatnya menggenjot bauran EBT sebesar 38-40% pada 2040 akan membuat Indonesia tidak meraup manfaat yang lebih besar dari pengembangan energi terbarukan, di antaranya harga listrik yang lebih murah dan kompetitif untuk jangka panjang, rendahnya emisi listrik di grid yang menjadi daya tarik investasi, berkembangnya industri manufaktur dan rantai pasok energi terbarukan dalam negeri dan penciptaan kesempatan kerja dari energi terbarukan yang lebih besar.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR menilai rendahnya bauran energi terbarukan menuju 2030, juga dapat mengurangi daya tarik investasi luar negeri ke Indonesia. Pasalnya, industri dan perusahaan multinasional saat ini sudah gencar untuk memastikan kebutuhan energi mereka dipasok dari sistem kelistrikan yang rendah emisi dan akses penuh pada energi terbarukan.

Fabby juga menyebutkan penetapan target bauran energi terbarukan yang rendah pada 2025 dan 2030 ini tidak sejalan dengan target bauran energi terbarukan dalam kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang membidik 44% pada 2030. JETP telah menyepakati target bauran energi terbarukan di atas 34% pada 2030 dan target ini selaras dengan rencana RUKN yang dibahas berbarengan dengan Comprehensive Investment and Policy Plan tahun lalu.

“Target bauran energi terbarukan yang diusulkan DEN membuat kredibilitas arah kebijakan transisi energi Indonesia diragukan oleh investor dan dunia internasional. Ketimbang menurunkan target dengan alasan realistis, DEN seharusnya lebih progresif untuk melakukan transisi energi,” ungkap Fabby dalam keterangan pers, Kamis (01/2/2024).

IESR memandang strategi dalam RPP KEN seperti pengoperasian PLTN berkapasitas 250 MW di 2032 dan penggunaan CCS/CCUS pada PLTU yang masih beroperasi pada 2060 ini belum didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis di Indonesia sampai saat ini. PLTN dengan kapasitas kecil dari 300 MWe, small modular reactor, masih belum tersedia teknologi yang terbukti aman dan ekonomis.

“Adapun aplikasi CCS/CCUS pada PLTU hingga saat ini masih menjadi solusi mahal dan tidak efektif untuk menangkap karbon, walaupun teknologi ini sudah dikembangkan puluhan tahun. Contoh proyek CCS di Boundary Dam Kanada dan juga di PLTU Petranova di US menunjukan masalah teknis untuk memenuhi target penangkapan karbonnya dan keekonomiannya tidak layak,” ucapnya.

Deon Arinaldo, Manajer Program Transformasi Energi IESR menuturkan Indonesia akan terbeban dengan biaya penerapan CCS pada PLTU yang mahal, biaya operasional yang rentan volatilitas serta tidak berkelanjutan. Sedangkan pembangunan PLTN menjadi antiklimaks di tengah menurunnya kapasitas PLTN dunia setelah tragedi nuklir di Fukushima.

“Pada dekade ini, seharusnya strategi mitigasi emisi GRK Indonesia pada sektor energi dapat difokuskan pada pembangunan teknologi energi terbarukan dan energy storage. Kedua EBT ini sudah terbukti dapat menyediakan energi dengan biaya kompetitif dengan PLTU batubara yang masih dapat subsidi,” jelas Deon.

Sekretaris Jenderal DEN Djoko Siswanto mengatakan RPP KEN ditargetkan dapat diselesaikan pada bulan Juni tahun 2024. Rancangan Kebijakan Energi Nasional yang di dirumuskan oleh DEN ini merupakan arah kebijakan energi jangka panjang untuk kepentingan bangsa dan negara dalam pengelolaan energi yang akan mengakomodir semua pihak, yaitu masyarakat dan pelaku industri.

“DEN telah menyusun atau sedang menyusun PP Pembaruan PP 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. PP ini menyesuaikan perubahan lingkungan strategis yang selaras dengan komitmen perubahan iklim dan mengakomodasi transisi energi menuju net zero emission pada tahun 2060,” ujar Djoko.

Lebih lanjut Djoko menjelaskan, beberapa asumsi RPP KEN ini dulu dibuat berdasarkan pertumbuhan ekonomi itu 7-8%, kemudian target supply-demand hanya sampai tahun 2060 dengan target EBT 23% di 2025 dan 31% pada tahun 2050. “Di RPP KEN yang baru ini, tahun 2060 EBT-nya ditingkatkan lagi sampai 70 persennya.

“Karena apa? Berdasarkan realisasi EBT tahun-tahun sebelumnya, itu selalu di bawah target. Dengan target kita 70% pada tahun 2060, kalau pun meleset, itu kira-kira di atas 50% sehingga net zero emisi ini bisa tercapai pada tahun 2060,” ungkap Djoko.

Perubahan lainnya, di RPP KEN yang baru adalah tingkat pertumbuhan ekonominya menyesuaikan Pascacovid, yaitu 4-5% serta penyetaraan energi nuklir dengan EBT. “Nuklir di dalam RPP KEN eksisting itu merupakan pilihan terakhir. Di dalam pembaruan KEN ini setara dengan energi baru terbarukan lainnya. Jadi, tidak ada lagi kata-kata menjadi pilihan yang terakhir,” ujar Djoko.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved