Column

“Wani Piro?!”

Oleh Editor
Ilustrasi. (Foto: Twitter)
Ilustrasi. (Foto: Twitter)

“Kebiasaan mulia: Selalu memberi tanpa mengingat-ingat, selalu menerima tanpa pernah melupakan.” ‒ Brian Tracy

Dalam perjalanannya, sesuai dengan kaidah alam, kehidupan manusia mengalami aneka rupa perubahan. Salah satunya, makin menipisnya suatu kebajikan manusia, “sepi ing pamrih, rame ing gawe” (tiada berharap balasan apa pun, tapi rela berbuat lebih).

Hukum alam memang telah menetapkan bahwa kehidupan manusia tak akan terlepas dari transaksi. Ada soal pemberian sesuatu dan penerimaan sesuatu antarmanusia. Ada soal take and give (yang sejatinya harus dibalik, give and take). Transaksi ini ada yang harus disertai balas jasa, juga ada yang tidak. Yang disertai balas jasa berisi aspek bisnis dalam aneka rupa kegiatan kehidupan. Bisnis dalam arti, ada penjual dan ada pembeli.

Di zaman kini, bahkan dalam hubungan suami-istri, sering (atau selalu?) terjadi transaksi bernuansa bisnis. Transaksi antarpasangan hidup yang seyogianya “tak hitung-hitungan” telah terjadi, disadari atau tidak. “Tak ada makan siang gratis,” kata orang-orang bule.

Contoh paling sederhana, manakala seorang suami melakukan rupa-rupa tindakan manis, yang ekstra kepada sang istri, layak tumbuh dugaan. Tindakan baik ini merupakan imbal jasa suami kepada istri, atas pemberian izin sang istri kepada suami yang bersama kawan-kawan kuliah berencana reuni, bermalam di luar kota.

Sebaliknya, bisa terjadi, giliran istri berekstra manis terhadap suami manakala ada suatu keinginan yang harus mendapatkan approval ( ide “terbeli”) oleh suami. Misalnya, sang istri ingin ganti mobil, atau membeli tas bermerek yang mahal.

Dalam banyak segi kehidupan lain, terjadi transaksi-transaksi (bisnis) yang sangat lugas. Transaksi menohok, yang dalam kosakata Indonesia belakangan disebut sebagai “wani piro?!”. Sebuah kata Jawa yang artinya “berani bayar berapa?!”.

Dalam komunitas lebih luas, soal transaksi ini berseliweran dalam kehidupan kita. Terjadi pada setiap orang, siapa saja, kapan saja, di mana saja. Mulai dari kehidupan di dunia perdagangan (ini sudah pasti), dunia pendidikan, keamanan, hingga politik. Baik di dunia eksekutif, legislatif, maupun judikatif. Mulai dari desa pelosok hingga perkotaan.

Nampaknya, kosakata baru ini lahir, menyesuaikan diri dengan perilaku manusia yang makin materialistis. Manusia yang makin mendewakan hal-hal kenikmatan duniawi semata.

“Wani piro?!” makin meniadakan prinsip “tanpa pamrih” yang makin lama makin pupus dan menghilang. Aksioma yang diterima saat ini, “Suatu hubungan (antarsesama) seharusnya berimbang. Yang satu tak seharusnya memberi, bila yang satunya hanya terus-menerus mengambil.” Dan, “Jangan berikan ke saya 20 persen, sementara saya memberi Anda 80 persen.”

Kebajikan hidup, sebagai salah satu bab etika kemanusiaan, makin lama makin meredup. Alih-alih manusia berkembang menjadi umat dermawan, jauh dari pamrih keduniawian, yang terjadi malah sebaliknya. Semua berpacu meraih hal-hal apa pun seputar kebendaan. Semua berlomba, dengan rakus, merengkuh segala rupa harta benda dan segenap kenikmatan hidup.

Padahal, perilaku “wani piro?!” yang terus dikebut itu telah dan akan menghancurkan alam. “Bumi dan segala isinya cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia. Namun, ia tak akan cukup memenuhi kerakusannya,” kata Mahatma Gandhi.

Padahal, seyogianya kita terus belajar menghayati dan mewujudkan nasihat mulia ini: “Kita menikmati hidup dengan apa-apa yang kita peroleh, namun kita membangun kehidupan dengan apa-apa yang kita berikan.” Bukan dengan berprinsip “wani piro?!”. (*)

Pongki Pamungkas, Penulis

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved