Management

Wanita Perkasa di Industri Ritel

Mengawali karier dari bawah, dia menggores tinta emas sebagai CEO wanita dengan masa pengabdian terpanjang di lingkaran elite Fortune 500. Perusahaan yang dipandunya terus mekar dan berkembang. Bagaimana dia merajut kesuksesannya?

Laura Alber, CEO dan Presiden Williams-Sonoma Inc (Bloomberg via Getty Images).

“Saya tidak pernah berencana menjadi CEO.” Demikian kata Laura Alber, CEO dan Presiden Williams-Sonoma Inc., dalam wawancaranya dengan Investor’s Business Daily, Agustus 2021. Williams-Sonoma adalah perusahaan ritel bergengsi di bisnis peralatan rumah tangga dan furnitur kelas wahid.

Ucapan Alber bukan sekadar kata-kata. Nyatanya, dia memulai perjalanan kariernya dari bawah: sebagai senior buyer untuk Pottery Barn pada tahun 1995. Pottery Barn adalah toko perabotan rumah tangga yang tergabung dalam keluarga besar Williams-Sonoma, dengan jaringan yang terbentang mulai dari Amerika Serikat, Kanada, Meksiko, hingga Australia.

Namun, Tuhan memiliki rencana lain untuk perempuan yang menghirup napas pertama kali pada 7 September 1968 ini. Pada Mei 2010, takdir menahbiskannya sebagai CEO Williams-Sonoma. Dia menjadi pemimpin keempat dalam lintasan sejarah perusahaan yang bermula pada tahun 1956, yang dinamai sesuai dengan nama sang pendiri, Chuck Williams, serta lokasi toko pertamanya di Sonoma, California, AS.

Dan siapa nyana, perempuan yang tak pernah bermimpi menjadi pemuncak korporasi itu kini menjadi primadona di Wall Street. Selama 14 tahun memegang tampuk kepemimpinan Williams-Sonoma, dia mengukir sejarah sebagai salah satu wanita pemimpin dengan masa jabatan terpanjang di lingkaran elite CEO Fortune 500.

Tentu, tak ada prestasi yang lahir tanpa alasan. Seperti halnya sebuah karya seni yang dipahat dengan keahlian, Alber telah mengukir Williams-Sonoma sebagai salah satu titan ritel di AS. Dia berhasil mempersembahkan pertumbuhan pendapatan sebesar US$ 5 miliar.

Dan, sepanjang dekade terakhir yang penuh tantangan serta perubahan, dia mampu membawa Williams Sonoma memberikan pengembalian total rata-rata hampir 14% kepada pemegang sahamnya. Laba bersih Williams-Sonoma selama sembilan bulan di tahun 2023 mencapai US$ 5,47 miliar.

Jadi, apa rahasia Alber?

“Kunci sukses saya adalah selalu menganggap diri sendiri sebagai pemilik di posisi yang saya pegang, seolah-olah itu adalah tugas permanen,” katanya penuh keyakinan. Dia percaya, dengan pendekatan ini, promosi tak hanya sebuah kebetulan, melainkan buah manis dari dedikasi dan kecemerlangan dalam menyelesaikan setiap tugas yang dipercayakan.

Alber menjelaskan bahwa “berperilaku seperti pemilik” merupakan inti dari filosofi kepemimpinannya, yang telah menuntunnya sepanjang kariernya dan memainkan peran vital dalam perjalanan suksesnya menuju puncak singgasana.

“Dalam setiap pekerjaan, terselip peluang untuk memimpin dengan memeluk tanggung jawab seorang pemilik. Saya sempat berpikir untuk memulai bisnis sendiri dan menjadi pengusaha. Namun, ketika bergabung dengan Williams-Sonoma, saya merasa bersemangat karena diberi kesempatan untuk melakukan hal itu dan bertanggung jawab dalam mengembangkan bisnis,” katanya panjang lebar.

Dia berterus terang sangat mengagumi Williams-Sonoma, dan rasa cintanya tidak main-main. Banyak CEO Fortune 500 mungkin merasa sama tentang perusahaan mereka, tapi perempuan yang satu ini memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap perusahaan ritel furnitur premium ini. “Ini (Williams-Sonoma) adalah jantung saya,” ungkapnya.

Dia bahkan mengibaratkan kesetiaannya pada perusahaan yang dipimpinnya bagaikan janji suci sebuah pernikahan. Ketika ditanya tentang peluang menjadi CEO di perusahaan lain, dengan tangkas dan canda dia menolak, mengeluarkan pernyataan jenaka, “Saya tidak mencari suami baru juga,” ujarnya, disambut derai tawa hadirin pada pertemuan Most Powerful Women Fortune, Oktober 2023.

Dengan totalitas seperti itu, Alber tidak pernah berpuas diri hanya dengan duduk manis menanti datangnya perubahan. Perempuan berambut panjang ini senantiasa bergerak lincah, selalu berusaha menggali serta menemukan sumur-sumur pertumbuhan baru. “Anda tak dapat hanya berdiam diri, menunggu arus tren makro berubah arah,” ujarnya. “Kita harus mengambil langkah proaktif, selalu berburu kesempatan pertumbuhan lainnya.”

Berpegang pada hal itu, dia meluaskan cakrawala penawaran produk perusahaan dengan melahirkan serangkaian lini baru, seperti Pottery Barn Kids dan Pottery Barn Teen. Dan, tak lama setelahnya, dengan langkah yang penuh inovasi, dia pun memperkenalkan merek-merek segar seperti West Elm serta Mark and Graham, menandai babak baru dalam perjalanan Williams-Sonoma.

Pottery Barn Kids menjadi contoh gemilang. Pada tahun 1999, ketika Alber tengah mengandung buah hatinya yang pertama, dia merasa kecewa dengan keterbatasan pasar furnitur dan dekorasi anak-anak. “Pilihan yang ada hanya Winnie the Pooh dan Laura Ashley,” ungkapnya.

Dari sana, dia beserta beberapa rekan merintis konsep Pottery Barn Kids, sebuah merek perabotan gaya hidup anak-anak pertama yang memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk mengekspresikan identitas mereka. Salah satu karya mereka adalah tempat tidur trundle (ranjang susun) yang ditawarkan seharga US$ 1.795, yang menjadi simbol inovasi. Kini, Pottery Barn Kids dan turunannya, Pottery Barn Teen, yang menapak populer di tahun 2000-an, telah berkontribusi sebesar 13% dari total penjualan Williams Sonoma pada tahun 2022.

“Itulah proyek pertama yang saya arungi dari awal hingga akhir, mulai dari benih konsep hingga saat ia mekar sempurna,” kata Alber dengan nada penuh nostalgia. Perjalanan ini mengasah keterampilannya dalam era e-commerce, merentang dari seni pemasaran produk melalui katalog hingga kecakapan mengirimkannya langsung ke tangan konsumen.

Di saat banyak merek legendaris terhuyung dalam menyesuaikan diri dengan era digital, Williams-Sonoma justru menari lincah di atas gelombang tersebut. Pada tahun 2022, 66% dari total penjualan mereka merupakan hasil dari ranah online.

Mengungkap rahasia suksesnya, selain filosofi “berperilaku seperti pemilik”, Alber menyebut dua diferensiator yang menjadi kunci yang membedakan perusahaannya dari para rival. Apa saja?

Yang utama, desain internal. “Desain internal kami memberi kami keleluasaan untuk memenuhi kebutuhan spesifik pelanggan di berbagai alam estetika dan rentang harga,” kata Alber. “Pelanggan memahami bahwa apa yang mereka peroleh dari kami adalah sintesis dari kualitas dan nilai terbaik.”

Menurutnya, pelanggan datang karena tertarik oleh desain dan kualitas yang ditawarkan. “Mungkin bagi mereka perlu menyisihkan tabungan atau menunggu lebih lama, tetapi harapan yang kami semai adalah bahwa produk seperti sofa ini akan menemani mereka sepanjang hayat, bisa dipindahkan ke rumah yang baru, dan diwariskan kepada orang lain dalam kondisi yang masih prima,” tuturnya, menguraikan visi yang telah dirajutnya.

Hal itu diakui Seth Basham, analis di Wedbush. “Merek unik yang dimiliki perusahaan mereka dirancang dengan kecanggihan dan diproduksi dengan nuansa yang berbeda dari apa yang beredar di pasar online seperti Amazon.com.” katanya. “Jika Anda memiliki produk yang berkualitas tinggi, Anda berada dalam posisi untuk menjual dengan harga dan margin yang memuaskan hati.”

Selanjutnya, diferensiator kedua adalah strategi saluran “digital-first”. Strategi ini memungkinkan perusahaan menghadirkan layanan pelanggan secara online dalam skala luas, sekaligus mendorong proporsi penjualan e-commerce-nya melampaui ambang 70%.

“Namun, kami juga terpapar keberkahan dari toko-toko (offline) kami, yang bertransformasi menjadi pusat-pusat desain, di mana setiap sudutnya merayakan pengalaman pelanggan (customer experience) yang mengesankan.”

Meski menekankan pendekatan “digital-first”, Alber tampaknya merupakan seorang CEO yang berjalan dengan langkah lebih berhati-hati dalam transformasi digital, jika dibandingkan beberapa koleganya. Di tengah banyaknya pemimpin perusahaan yang terburu-buru menyelami dunia digital dan mengharapkan itu menjadi sumber utama pertumbuhan, Alber tetap setia pada jalur offline sehingga mengembangkan strategi multichannel.

“Saya percaya berkunjung ke toko itu sendiri adalah sebuah pengalaman. Aroma, interaksi dengan orang-orang, ketersediaan bantuan, ditambah beberapa ahli terpercaya yang dapat membantu Anda mendekorasi rumah,” ungkapnya penuh keyakinan.

Namun, laiknya pemimpin top, Alber pun tidak terlepas dari serangkaian tantangan berat. Hadirnya inflasi, suku bunga yang meroket, serta ketidakpastian ekonomi global telah memaksa pelanggan setia Williams-Sonoma mengencangkan ikat pinggang dalam berbelanja.

Hal itu merupakan ujian yang harus dihadapi Alber, termasuk saat mengarungi badai Covid-19. Namun, dia berhasil melewatinya. Keputusannya tetap membayar karyawan selama masa penutupan akibat Covid-19 telah membangun kepercayaan yang dalam dari pegawainya.

Ketangkasan Alber terbukti sangat berharga bagi Williams-Sonoma dalam menavigasi kesulitan selama pandemi. Hasilnya sungguh menggembirakan. Di tengah banyak pengecer perabotan dan barang rumah tangga lain yang bergulat dengan berbagai masalah ‒mulai dari kebangkrutan Bed Bath & Beyond hingga rintangan yang dihadapi pengecer perbaikan rumah seperti Lowe’s dan Home Depot‒ Williams-Sonoma tetap tumbuh. Tahun 2022, laba bersihnya sebesar US$ 8,2 miliar, sementara laba bersih 2021 mencapai US$ 6,8 miliar.

Tidak banyak pesaing di segmen perabotan dan gaya hidup rumah mewah yang mampu menyamai kinerja Williams-Sonoma. “Mereka adalah penguasa tak tertandingi di kategorinya,” Jonathan Matuszewski, seorang analis dari Jefferies, perusahaan investment banking, memuji.

Sejak Alber mengemban tanggung jawab sebagai CEO, pendapatan tahunan Williams-Sonoma melonjak lebih dari dua kali lipat. Namun, ambisinya tidak berhenti di situ.

Dengan tekad besar, dia bertujuan menggandakan angka tersebut sekali lagi. Salah satu strategi yang diandalkannya adalah melalui divisi B2B, yang berawal dari pemberian hadiah korporat saat liburan dan kini telah berkembang menjadi penyedia perabotan untuk kantor, hotel, dan stadion.

Angka pertumbuhan pun terbang 27%, mencapai hampir US$ 1 miliar pada tahun fiskal 2022. Dia juga mempertimbangkan ekspansi global melalui model waralaba, seperti di India, yang baru saja meresmikan toko Pottery Barn yang kedua.

Selanjutnya, Alber berencana mengeksplorasi dunia kecerdasan buatan (AI). Dia melihat teknologi ini sebagai sarana untuk memperkaya layanan pelanggan.

“Mendekorasi rumah bisa terasa menakutkan. Meski memiliki pemahaman estetika, menata furnitur tetap menjadi sebuah tantangan,” katanya. Dia terpikir untuk bisa menyatukan seluruh desainer terkemuka dan semua ruangan terindah yang pernah diciptakan, yang kelak bisa membantu pelanggan mendekorasi rumahnya menggunakan produk-produk yang dijual Williams-Sonoma.

Yang menarik, kendati selalu menatap ke depan, Alber mengaku tetap berkomitmen pada perannya sebagai CEO Williams-Sonoma, alih-alih mengejar peluang lain. Dia mengungkapkan, sejak bergabung 29 tahun silam, tidak pernah sekalipun mengikuti wawancara untuk pekerjaan lain. Baginya, kesetiaan dan keteguhan sangatlah penting.

“Banyak orang memilih untuk hengkang saat menghadapi kesulitan,” ujarnya. “Namun, jika Anda berada di perusahaan dengan produk luar biasa dan peluang yang besar, bertahan melalui masa sulit bisa menjadi sebuah keputusan yang sangat bernilai.” (*)

Teguh S. Pambudi

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved