Column

Jebakan Kepercayaan

Jebakan Kepercayaan

Alkisah, hiduplah seorang raja yang sangat dicintai rakyatnya. Ke mana pun raja ini pergi, rakyat selalu berduyun-duyun untuk bisa bertemu dan berbincang langsung dengannya.

Raja ini memang dikenal sangat adil dan bijaksana. Ia bisa memutuskan perkara yang sepelik apa pun dengan sebaik-baiknya. Ini membuatnya begitu dipercaya dan diidolakan segenap lapisan masyarakat.

Seiring dengan semakin meningkatnya kepercayaan rakyat kepada raja, sampai-sampai muncul sebuah keyakinan bahwa raja ini sangat saleh, sangat terjaga, dan tidak mungkin melakukan hal-hal yang buruk, apalagi jahat.

Kepercayaan dan approval rating yang begitu tinggi ini membuat raja bangga dan berbesar hati. Namun, suatu ketika sebuah pikiran menggelayuti hatinya, “Aku merasa terlalu serius menyikapi hidup ini. Semua pekerjaan telah aku lakukan dengan sebaik-baiknya. Kini saatnya untuk sedikit bersenang-senang dan menikmati hidup.”

Yang menarik, ketika berpikir demikian, berbagai kesempatan tiba-tiba muncul di depan mata. Ia teringat akan peluang bisnis illegal yang pernah ditawarkan kepadanya tapi waktu itu ditolaknya mentah-mentah. Ia juga diam-diam menaruh perhatian pada seorang wanita cantik yang sayangnya sudah bersuami. Kini ia terpikir untuk mengirimkan suami wanita itu ke medan perang dengan harapan agar lelaki ini terbunuh sehingga ia bisa mengawini istrinya.

Berbagai hal tersebut begitu menggairahkan dan mendominasi pikirannya. “Tak apalah sekali-sekali aku mencoba hal-hal seperti ini. Hidup terlalu sebentar untuk dijalani dengan terlalu serius,” kata sang raja dalam hati.

* * *

Ada satu anggapan yang salah mengenai kepercayaan (trust), yaitu menganggap kepercayaan sebagai sesuatu yang bersifat permanen. Jadi, kalau saat ini orang percaya kepada kita, kepercayaan tersebut akan terus bertahan di masa yang akan datang.

Orang yang memiliki pandangan seperti ini lupa bahwa kepercayaan adalah sesuatu yang sangat rentan dan tidak stabil, kadang naik dan kadang pula turun. Namun, yang perlu diingat, kepercayaan itu bukan sesuatu yang sama sekali berada di luar kendali kita.

Agenda terbesar kita dalam hidup adalah memelihara dan meningkatkan kepercayaan. Setiap hari bahkan setiap waktu adalah pertaruhannya. Kita harus memastikan bahwa kita selalu melakukan kebaikan dalam setiap tindakan kita.

Ketika melakukan kebaikan, kepercayaan orang kepada kita akan meningkat. Sebaliknya, ketika kita melakukan ketidakbaikan sekecil apa pun, kepercayaan akan menurun.

Stephen Covey, penulis buku legendaris The 7 Habits of Highly Effective People, membuat analogi yang sangat menarik mengenai hal ini. Ia mengibaratkan hubungan antarmanusia itu seperti rekening di bank: kita memberikan setoran, juga melakukan tarikan. Dan, setiap interaksi yang kita lakukan adalah kesempatan untuk menyetor atau menarik.

Kita menyetor dengan melakukan berbagai kebaikan, sebaliknya kita menarik dengan melakukan ketidakbaikan. Ketika setoran kita banyak, kita akan menjadi nasabah prioritas. Orang akan percaya kepada kita. Dan, ketika kepercayaan tinggi, orang akan membela kita, memaklumi bahkan memaafkan ketika kita melakukan kesalahan.

Namun, di sinilah terletak sesuatu yang saya sebut dengan “Jebakan Kepercayaan”. Ketika kepercayaan orang begitu tinggi, kita seakan-akan berada dalam sebuah zona yang aman dan nyaman.

Zona ini sedemikian amannya sehingga membuat kita merasa seakan-akan berada dalam sebuah benteng yang kokoh di mana kita bisa berlindung dengan aman tanpa dapat diamati siapa pun. Ini sering membuat kita terlena dan mengurangi kewaspadaan kita. Kita berada dalam sebuah fatamorgana seakan-akan situasi ini akan berjalan untuk selama-lamanya.

Kita lupa bahwa kepercayaan itu hanyalah bersifat sementara. Kita juga lupa bahwa kepercayaan itu haruslah diupayakan terus-menerus tanpa mengenal lelah. Kita hanya merasa puas akan tingginya kepercayaan yang kita dapatkan dan lupa bahwa tanpa adanya tindakan kebaikan berikutnya, kepercayaan itu akan segera menurun.

Kepercayaan yang tinggi sesungguhnya juga memiliki potensi yang sangat berbahaya: mendorong kita untuk melakukan sesuatu yang buruk karena kita merasa berada di tempat yang aman. Pikiran seperti ini sering menggelayuti mereka yang memiliki approval rating yang tinggi:

“Apa pun yang aku lakukan, orang tetap akan memercayaiku. Itulah ‘fasilitas’ terbesar yang aku miliki saat ini. Jadi, mengapa aku tidak memanfaatkan fasilitas ini untuk kepentingan dan kenikmatanku sendiri? Bukankah apa pun yang aku lakukan, yang baik ataupun yang buruk, orang tetap akan menganggapku baik? Jadi, mengapa aku tidak mengambil keuntungan saja dari hal ini?”

Di sinilah terjadi perubahan yang radikal terhadap kepercayaan, dari sesuatu yang bersifat spiritual menjadi sesuatu yang bersifat material. Sebelumnya, kepercayaan adalah cara hidup dan cara berperilaku; sekarang, kepercayaan telah menjelma menjadi sebuah “fasilitas” untuk memperoleh keuntungan yang bisa dikapitalisasi menjadi sesuatu yang memberikan kenikmatan duniawi. Ketika kepercayaan berubah wujud semacam itu, manusia akan terjebak untuk memanfaatkan kepercayaan demi ambisi pribadi dan menjadi manusia yang sangat rendah, bahkan serendah-rendahnya.

Padahal, kepercayaan adalah hukum besi yang tak dapat dilawan. Saya jadi teringat sebuah ajaran dalam agama yang mengatakan, “Ketika kamu melakukan kebaikan, sesungguhnya itu adalah untukmu sendiri. Begitu juga ketika melakukan kejahatan, sesungguhnya itu adalah untukmu sendiri.”

Ajaran tersebut terasa begitu cocok dengan hukum besi kepercayaan ini. Setiap perbuatan baikmu, sekecil apa pun, akan meningkatkan kepercayaan orang kepadamu. Setiap perbuatan burukmu, sekecil apa pun, akan menurunkan kepercayaan orang kepadamu. (*)

Arvan Pradiansyah

Motivator Nasional – Leadership & Happiness


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved