Column

“Kill Your Darling”

“Kill Your Darling”
Ilustrasi (Foto istockphoto.com).

Bunuh kesayangan-kesayangan Anda. Kemalasan, impian muluk-muluk, kebiasaan menunda-nunda.” ‒ Bangambiki Habiyarimana.

Melawan kemalasan untuk bangun pagi hari adalah suatu perjuangan tersendiri. Seolah ada kekuatan, “Sebentar lagi aahh. Belum telat ini ke kantor.” Sama halnya, untuk mengurangi porsi makan enak, juga bukan perkara mudah. Tahu ukuran badan sudah berlebih, dan jelas itu tak sehat, masih saja nafsu menggoyang lidah tak terkendali.

Ada beberapa orang, yang rada tergolong Don Juan, memiliki kebiasaan untuk menebar pesona dan mengembangkan jejaring asmara ke segala jurusan. Sudah banyak korban yang akhirnya ia telantarkan dan menderita karenanya. Namun, ia terus saja gaspol untuk berulah playboy. Tiada rasa salah dan dosa.

Ada pasangan suami-istri yang mempersiapkan diri untuk pindah ke rumah baru. Lebih bagus lokasinya, dan lebih indah plus lebih nyaman sebagai rumah tinggal. Persoalannya, mereka berdua berbeda keras soal barang-barang rumah tangga mana yang harus dipertahankan serta dibawa ke rumah baru dan mana yang perlu dilepas (diberikan ke orang lain atau dijual atau dibuang sebagai sampah).

Mereka masing-masing memiliki “the darling things list” yang amat mereka sayangi dan ingin mereka pertahankan. Padahal, “Seni dari revisi adalah membunuh kesayangan-kesayangan Anda,” kata Jimmy Blakemore. Padahal, kalau semua dipertahankan dan dibawa ke rumah baru, tak akan tertampung semuanya. Belum lagi kalau mereka berniat untuk menambah perkakas dan mebel baru.

Ini adalah soal penentuan prioritas masing-masing, sang suami dan istri. “Tiada seorang pun memiliki kehidupan yang selalu seimbang dan efektif. Perlu pandai memilih prioritas dalam keseharian kehidupan,” demikian kata Elisabeth Hasselbeck.

Seorang ibu yang memiliki beberapa anak, tanpa disadari, punya anak tersayangnya, the golden boy. Apa pun kehendak sang anak, tak pernah ia tolak. Padahal, sang suami dan anak-anak yang lain sudah mengingatkan, “kill your darling”. Bukan membunuh sang anak. Hanya supaya menghentikan kebiasaan memanjakan.

Sedari kecil, kebiasaan buruk itu berlanjut hingga dewasa. Dan pada ujungnya, dibandingkan dengan anak-anaknya yang lain, the golden boy itu tiada henti menyusahkan kedua orang tua dan saudara-saudaranya. Hingga ia harus dipenjara di usia paruh baya karena kejahatannya dalam berbisnis.

Seorang eksekutif papan atas, seharusnya sudah pensiun di usia 60 tahun, sesuai aturan. Dengan beberapa pertimbangan, ia diizinkan terus hingga usia 63 tahun. Namun, pada saat berusia 63 tahun, ia tak rela melepaskan jabatannya yang memang prestisius, dengan penghasilan besar dan penuh privilege. Ia nampak khawatir mengalami post power syndrome. Benar kata John Steinbeck, “Sejatinya kekuasaan tidaklah selalu korup. Tapi ketakutanlah inti korup sebenarnya; ketakutan akan kehilangan kekuasaan.”

Benar pula kata pepatah, “Peperangan terbesar selalu adalah peperangan melawan diri sendiri.” Peperangan menundukkan ego bukanlah hal semudah membalikkan tangan. Oscar Wilde malah menyatakan, “Saya mampu menolak apa pun, kecuali godaan.”

Begitulah, kill your darling yang esensinya memadamkan, atau sekurang-kurangnya, meredakan hasrat kemanusiaan yang berlebih, merupakan suatu tantangan besar. Kalau kita berhasil melakukannya, itulah sukses besar kita dalam menjalani keseharian kehidupan. Pasti ada buah manis yang akan kita nikmati sebagai balasannya.

Namun sebaliknya, bila kita gagal, hanya masalah waktu kita akan menjalani konsekuensi, kehilangan, dan derita akibat kegagalan itu. Untuk itu, nasihat arif Richard Sibbes ini layak kita renungkan dengan seksama, “Dalam menghadapi segala godaan, tolong jangan pertimbangkan apa yang mereka tawarkan, tapi pikirkan, apa milik kita yang hilang.”

Pongki Pamungkas

Penulis


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved