My Article

Agar Pekerja Ekonomi Kreatif Tetap Produktif

Oleh Editor
Agar Pekerja Ekonomi Kreatif Tetap Produktif
Jusuf Irianto, Guru Besar Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Sektor ekonomi kreatif (ekraf) berperan penting bagi perekonomian nasional. Kontribusi sektor ekraf pada tahun 2022 terhadap PDB nasional sangat besar, mencapai Rp1.280 triliun. Sementara kontribusi tenaga kerja (naker) sektor ekraf juga sangat tinggi, yakni sebesar 17,7%.

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf/Baparekraf) menyebut pertumbuhan jumlah naker sektor ekraf lebih cepat pulih dibandingkan rerata pertumbuhan naker sektor lain di masa pascapandemi saat ini.

Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data pertumbuhan ekraf pada tahun 2019 mencapai 3,9%, namun pada 2020 terdampak COVID-19 hingga anjok ke -0,5%. Lantas kembali naik menjadi 2,9% (2021). Pascapandemi pada tahun 2022 kembali melesat tinggi menjadi 9,49%.

Perkembangan pasar kerja mengikuti sektor ekraf yang terus tumbuh. Pertumbuhan naker ekraf pada tahun 2022 sangat mengesankan yakni mencapai 9,49%. Padahal rerata pertumbuhan naker secara nasional hanya mencapai 3,2%.

Sektor ekraf dinilai lebih inklusif dan relatif mudah diakses oleh pelaku baru. Sektor ini berpotensi menyerap naker berjumlah besar. Lapangan usaha baru terbuka luas sehingga atraktif bagi berbagai kalangan terjun menekuni bisnis ekraf dengan menyerap banyak pekerja.

Kemenparekraf mencatat jumlah naker sektor ekraf sebesar 24,3 juta orang. Sementara jumlah naker di sektor pariwisata sekitar 22 juta orang. Kedua sektor ini mampu menyerap total naker mencapai lebih dari 40 juta orang sehingga memposisikannya sebagai sektor strategis.

Perlu Perhatian

Jumlah naker ekraf sangat besar butuh perhatian pemerintah khususnya terkait dengan kondisi kesehatan. Pekerja eskraf mengalami stres kerja lebih tinggi daripada naker sektor lainnya. Beban kerja sangat tinggi mengakibatkan waktu istirahat berkurang dan cenderung tak teratur.

Pola kerja naker ekraf berbeda dengan pekerja kantor atau sektor manufaktur. Pekerja kantoran atau sektor formal lainnya terikat dalam suatu tempat. Sebaliknya, pekerja ekraf bekerja setiap saat pada tempat berbeda baik di dalam maupun luar.

Fleksibilitas pelaksanaan pekerjaan dengan jam kerja lebih panjang menyulut pekerja ekraf rentan dari berbagai ancaman. Jam kerja panjang menguntungkan pemberi kerja (employer), namun beraklibat fatal hingga memicu kematian bagi penerima kerja (employee).

Pekerja ekraf rentan terserang stroke dan penyakit jantung yang sangat membahayakan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) bersama merekomendasikan pemerintah dan pengusaha memperhatikan kondisi dan waktu kerja.

Perhatian perlu diberikan dengan mengurangi risiko serangan penyakit membahayakan bagi semua pekerja. Terkait dampak jam kerja lebih panjang, WHO dan ILO menunjukkan pada 2016 ada 398.000 orang meninggal karena stroke dan 347.000 orang terkena serangan jantung.

Serangan jantung dipicu jam kerja lebih panjang dengan rerata mencapai 55 jam/pekan. Jam kerja panjang sangat berisiko. Pada periode 2016-2000, jumlah kematian akibat penyakit jantung sebesar 42%, dan serangan stroke mencapai 19%.

Pemerintah dan pengusaha perlu menimbang pandangan ahli kesehatan tentang jumlah jam kerja. Bekerja selama 55 jam atau lebih/pekan berisiko lebih tinggi jika dibandingkan dengan bekerja 35-40 jam/pekan.

Tren jam kerja lebih panjang memperoleh momentum tatkala muncul pandemi COVID-19. Pagebluk dua tahun lalu memicu peningkatan waktu jam kerja. Pola kerja teleworking di masa pandemi mengaburkan batasan antara rumah dan pekerjaan.

Akibat kebijakan pembatasan berbagai kegiatan termasuk bisnis, perusahaan mengurangi atau menutup operasi demi efisiensi. Sementara pekerja yang tak terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) bekerja dengan waktu lebih lama.

Regulasi

Dalam kondisi rentan, pemerintah dan pengusaha dituntut membangun komitmen guna melindungi kesehatan dan keselamatan pekerja. Langkah awal membangun komitmen dapat dilakukan melalui penegakan hukum dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.

Pemerintah sebenarnya telah merilis regulasi tentang jam kerja dan perlindungan kesehatan mental bagi pekerja. Regulasi protektif ini tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No.5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).

Dalam Permenaker 5/2018 tersebut dinyatakan Nilai Ambang Batas (NAB) atau Threshold Limit Value (TLV). NAB/TLV merupakan standar faktor bahaya di tempat kerja sebagai ukuran atau kadar rerata tertimbang waktu (time weighted average) yang dapat diterima (accepted) pekerja tanpa mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan. Di dalamya, diatur pula waktu kerja tak melebihi 8 jam/hari atau 40 jam/pekan.

Selain Permenaker 5/2018, pemerintah juga merilis Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyakit Akibat Kerja melalui Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Namun, sangat disayangkan pemberi kerja tampak cenderung mengabaikan ketentuan ini.

Banyak pekerja, termasuk pekerja ekraf, belum memperoleh hak perlindungan sesuai ketentuan. Pekerja mengalami masalah kesehatan mental dan fisik tidak mendapat perawatan memadai, namun justeru dinilai tak mampu mengatur diri sendiri.

Karena itu perhatian pemerintah dan pengusaha terhadap semua pekerja harus berdasar hukum. Penegakan hukum harus menjadi pilar utama dalam memberi perlindungan bagi pekerja dari berbagai masalah yang mengancam kesehatan bahkan jiwanya.

Dengan mengatur jam kerja, pekerja mendapat waktu istirahat cukup. Dalam kondisi lebih sehat, pekerja mampu mencapai produktifitas secara optimal. Sebaliknya, istirahat kurang mengganggu kesehatan sehingga menghambat kreatifitas, inovasi dan produktifitas.

Kesadaran Diri

Bekerja tanpa batas atau jam kerja tak teratur menyulut kelelahan dan gangguan kesehatan baik fisik maupun mental. Sebab itu, secara individu dan didorong oleh kesadaran diri sendiri, pekerja ekraf harus mampu mengatur ritme pekerjaan agar lebih teratur.

Ancaman kesehatan dapat diredam dengan mengandalkan self-awareness agar pekerja ekraf tetap kreatif dan lebih produktif. Pekerja ekraf lebih leluasa mengembangkan ide kreatif dan hasil lebih produktif didukung oleh kondisi kesehatan yang selalu terjaga dengan baik.

Kondisi kesehatan terjaga mengarahkan pekerja ekraf mampu mengatasi tekanan kerja. Kemampuan dalam mengatasi stres merupakan salah satu faktor determinan mencapai kinerja pekerja ekraf lebih tinggi hingga mampu menghasilkan ide lebih kreatif dan karya lebih produktif.

Dengan menyandarkan pada penegakan serta peningkatan kesadaran diri untuk menjaga kondisi kesehatan, kekhawatiran terhadap hilangnya ide kreatif dan karya produktif dapat ditepis. Pekerja kreatif tetap produktif di tengah tuntutan perubahan jaman.

Penulis: Jusuf Irianto, Guru Besar Manajemen SDM di Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved