Profile

Suka-Duka Peter Mulyadi Jualan Sepeda

Oleh Admin
Suka-Duka Peter Mulyadi Jualan Sepeda

Animo masyarakat mengendarai sepeda belakangan ini kian besar. Berbagai komunitas sepeda terbentuk. Tak jarang ditemukan, ada masyarakat yang menggunakan sepeda sebagai alat transportasi untuk bekerja. Dengan begitu, peluang bisnis sepeda memang semakin besar.

Namun demikian, Peter Mulyadi, GM Promotion PT Dispoly Indonesia, produsen sepeda merek Polygon, mengaku peluang memang besar, tapi persaingan kian ketat. Produsen sepeda nasional harus berjibaku dengan sepeda impor. “Daya beli masyarakat Indonesia tinggi,” terang Peter kepada SWA Online, di sela-sela acara Indonesia Middle-Class Brand Forum & Awarding Ceremony, di Jakarta, Rabu (27/2/2013) malam.

Peter Mulyadi, GM Promotion PT Dispoly Indonesia

Peter telah malang-melintang di bisnis sepeda dari tahun 1999. Di tahun itu, ia sudah bekerja menjual sepeda Polygon. Meski berprofesi sebagai penjualan pada awalnya, Peter juga diharuskan mengetahui seluk-beluk sepeda bahkan cara membuatnya. “Saya bekerja di Polygon dari tahun 1999. Awalnya, saya salesman biasa,” terang dia.

Lantas bagaimana suka-duka Peter berjualan sepeda? Berikut petikan wawancara SWA Online dengan Peter.

Bagaimana pengalaman awal Anda menjual Polygon?

Untuk mengembangkan merek Polygon awal memang berat karena kan saat itu, tahun 1999, krisis moneter terjadi. Lalu, harga sepeda waktu itu ada di kisaran Rp 300 ribu, sedangkan kami harus menjual sepeda seharga Rp 1 juta ke atas saat itu.

Memang dari awal segmentasi Polygon sebagai produk premium?

Memang kami menyasar dari awal sebagai produk premium. Jadi, kami tidak menyasar masyarakat kelas bawah. Karena, kami lebih mementingkan kualitas daripada kuantitas.

Lantas, seperti apa upaya Polygon bisa memenangkan hati konsumen?

Seiring waktu bergulir, kami mematangkan distribusi di Indonesia, seperti apa jalur-jalurnya. Karena, menurut saya, distribusi itu nomor satu. Jangan promosi dulu, distribusi dulu. Setelah distribusi matang, baru kami berpromosi.

Awal promosi Polygon itu tahun 2001-2002, kami berpromosi lewat televisi dengan iklan yang agak nyeleneh waktu itu, yakni menikah dengan menggunakan sepeda. Itu iklan kami yang pertama dan cukup mengena. Karena pada saaat itu yang bermain sepeda belum banyak. Dengan iklan itu, brainstorming dapat, awareness-nya juga dapat di masyarakat.

Kemudian kami mulai perkuat promosi melalui event-event yang diadakan, seperti bersepeda bersama, lalu kami engage dengan atlet, kami endorse.Jadi, kami memperkuat pondasi di industri sepeda di Indonesia secara bertahap.

Bagaimana perjalanan karier Anda di Polygon?

Dari sales, saya berputar di pemasaran saja sebenarnya. Saya pindah ke Jakarta tahun 2005 karena diminta untuk memegang promosi. Waktu itu, saya menjabat sebagai Manajer Promosi. Menjadi GM Promosi baru tahun 2012.

Seperti apa suka-duka menjual dan mempromosikan sepeda?

Suka -duka banyak. Yang pertama, kami kan memulai dari perusahaan yang tidak besar. Sehingga segala sesuatu harus dilakukan sendiri. Dan, dari awal waktu pertama kali masuk, saya belajar merakit sepeda. Kami memang harus tahu produk. Tidak serta merta langsung jadi eksekutif. Karena barang yang kami jual memang specialty groups. Jadi, barangnya bukan barang consumer goods yang dibutuhkan masyarakat sehari-hari. Ini barang yang tidak bisa habis.

Selain itu, kami harus benar-benar mengerti jalur distribusi. Dan karena toko sepeda, kami diajarkan distribusi tradisional, yang turun temurun. Kedua, dari sisi konsumen sendiri kan unik, di mana konsumen sepeda biasanya bermain di komunitas. Jadi, kami harus duduk bersama mereka, harus mendalami mereka seperti apa. Jadi, mainnya pertemanan. Kami harus kenal mereka, harus tahu hatinya mereka seperti apa, baru selling nomor dua. Suka-dukanya ada di sana, yakni bagaimana menyelami psikologis orang, dan bagaimana berteman dengan orang.

Kesulitan atau tidak menjalani dunia pemasaran dan penjualan, sementara latar belakang pendidikan dari dunia yang berbeda?

Saya memang lulusan arsitek dari Universitas Kristen Petra, Surabaya. Satu hal yang saya senang belajar arsitek adalah karena saya belajar semua hal. Di arsitek itu, kami diharuskan membaca semua hal dan belajar semua hal, dan mencari alternatif. Itu bekal pemikiran yang bisa diterapkan di ilmu mana saja, apalagi di pemasaran.

Seperti apa tantangan bisnis sepeda ke depannya?

Tantangannya adalah kompetisi akan semakin ketat dengan dibukanya perdagangan bebas. Sepeda merek asing akan semakin banyak. Apalagi orang Indonesia sukanya barang impor. Itu akan jadi tantangan terbesar bagi kita. Perangnya di sini (di pikiran) bukan di kantong. Kita bisa menguasai ini (pikiran), selesai.

Dan saya melihat ada peluang di kelas menengah. Kita pernah ikut serta dalam kampanye 100% Cinta Indonesia, dan menemukan peminat yang nasionalis itu lebih tinggi di kalangan kelas menengah. Kalau misalnya masyarakat segmen paling atas itu sudah impor minded. Mereka beli barang hanya untuk menunjukkan jati diri mereka, bahwa saya mampu membeli ini. Yang lebih dipentingkan adalah gengsinya. Itu merupakan tantangan terbesar kita.

Malah sepeda kami di luar itu lebih laku, seperti di Eropa. Karena konsumen di sana betul-betul melihat nilai barang tersebut. Bagus, murah, terjangkau, kalkulatornya jalan. Fungsinya dapat. Kalau orang sini nggak beli fungsi, tapi beli gengsi.

Tantangan kedua adalah peraturan pemerintah. Mulai dari tahun lalu, kami agak berat karena ada peraturan pemerintah yang cukup memberatkan industri sepeda. Bea masuk impor komponen sepeda itu 15 persen tinggi sekali, naik. Sedangkan bea impor sepeda jadi cuma 5 persen. Lalu, komponen sepeda dikategorikan barang high risk. Itu makanya banyak tertahan di bea cukai.

Bagi kami, itu berat, karena sepeda sudah merupakan produk fashion, sehingga timing bagi kita sangat penting. Kalau timing tidak pas, kami nggak bisa menjual barang. Jadi, sudah dipersulit dengan kebijakan itu, lalu timing tidak tepat. Sampai sekarang kami masih kesulitan terhadap kebijakan pemerintah ini. Karena porsi komponen impor di produk kami rata-rata 50-70 persen. Kami mengimpor karena di dalam negeri belum ada yang membuatnya.

Apa hobby Anda?

Saya hobby membaca. Itu nomor satu. Kedua, saya suka berenang. Ya, bersepeda lumayanlah, tapi nggak hobby-hobby banget. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved