Management

Bayu Krisnamurthi: Tiga Tantangan Besar Bagi Perdagangan Nasional

Oleh Admin
Bayu Krisnamurthi: Tiga Tantangan Besar Bagi Perdagangan Nasional

Neraca perdagangan non-minyak dan gas (migas) mempunyai catatan bagus selama Januari-Juli 2013. Sektor itu mengalami surplus US$ 1,98 miliar pada periode tersebut. Sedangkan, sektor migas justru mengalami defisit US$ 7,63 miliar. Sehingga, kumulatif dua sektor tersebut menghasilkan defisit US$ 5,65 miliar. Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, pun mengatakan, ada tiga hal yang menjadi tantangan besar bagi perdagangan nasional.

bayu wakil menteri perdagangan“Dari Januari-Juli, neraca perdagangan non-migas Indonesia surplus US$ 1,98 miliar. Ini saya pikir sesuatu yang patut kita syukuri di tengah berbagai situasi berat di ekonomi global. Kalau kita lihat untuk Juli terhadap Juni maka kita melihat bahwa ekspor non-migas Indonesia itu masih tumbuh 7,3 persen, dengan nilai US$ 12,8 miliar. Saya kira juga ini sesuatu yang patut kita syukuri. Namun demikian, saat ini, perdagangan Indonesia tengah mengalami tiga tantangan besar,” terang Bayu, di Jakarta, Selasa (3/9/2013).

Dia mengatakan, ketiga tantangan itu adalah penurunan nilai tukar rupiah terhadap US dollar, defisit neraca perdagangan, dan inflasi. Menurut dia, ketiga tantangan itu terkait satu sama lain. “Tiga permasalahan ini adalah permasalahan-permasalahan yang tidak mudah karena terjadi bersamaan, tapi kami justru melihat satu sama lain itu terkait,” imbuh dia.

Bagaimana penurunan nilai tukar berpengaruh terhadap perdagangan?

Kita tahu penurunan nilai tukar rupiah ini lebih banyak faktor ekonomi global, lebih banyak situasi yang terjadi di negara lain. Penurunan nilai tukar tidak hanya berlaku untuk rupiah, tapi juga untuk mata uang yang lain.

Rupiah terdepresiasi sekitar 6,7 persen, dan itu bukan yang paling kuat. Karena rupee India juga terdepresiasi 8,04 persen selama Agustus. Baht Thailand juga sekitar 2,5 persen, dan real Brazil sekitar 3,74 persen. Jadi, depresiasi mata uang terjadi di banyak negara.

Kondisi nilai tukar ini untuk Indonesia memperberat masalah di defisit neraca perdagangan, utamanya melalui defisit migas. Karena impor migas pada Juni-Juli itu naik 24,8 persen. Sebenarnya, itu tidak terlalu sebagai sebuah kejutan karena hampir selalu pada musim ramadan dan lebaran terjadi peningkatan konsumsi migas di dalam negeri baik untuk kegiatan produktif maupun transportasi.

Lalu, bagaimana dengan faktor defisit perdagangan?

Kemudian, defisit juga disebabkan oleh pelemahan ekonomi global. Meski saya sebutkan bahwa ekspor masih naik, masih terjadi pertumbuhan, tapi secara keseluruhan year on year, ekspor turun 6,1 persen selama Januari-Juli. Ini menunjukkan posisi kita yang semakin berat karena kondisi pasar kita yang sedang tidak kondusif.

Di sisi lain faktor musiman, yaitu ramadan dan lebaran itu mendorong impor, terutama untuk impor barang konsumsi. Juli terhadap Juni, impor barang konsumsi naik sebesar 10,7 persen. Ini semua memberikan tekanan kepada defisit neraca perdagangan, sehingga meski saya sebutkan year on year non migas masih surplus US$ 1,98 miliar, tapi pada periode yang sama (Januari-Juli), sektor migas mengalami defisit US$ 7,63 miliar, sehingga secara kumulatif Indonesia mengalami neraca perdagangan yang defisit US$ 5,6 miliar.

Seperti apa inflasi menjadi suatu tantangan bagi perdagangan nasional?

Masalah yang lain adalah inflasi, meski kita harus mencatat dan melihat bahwa inflasi Agustus terhadap Juli yang 1,12 persen itu lebih rendah dibandingkan inlasi Juli terhadap Juni yang mencapai 3,29 persen.

Menurut BPS dan secara historis, sumber dari inflasi adalah musim ramadan-lebaran, plus anak sekolah, plus liburan. Meski kita pun harus betul-betul mawas diri, karena ternyata produksi dan respons pasokan juga mengalami masalah yang tidak ringan, misalnya, sudah diumumkan populasi ternak sapi telah berkurang dua juta ekor, demikian juga luas lahan kedelai berkurang drastis. Ini menunjukkan bahwa kita betul-betul harus memikirkan dengan sungguh-sungguh respons suplai terhadap permintaan yang terjadi, karena bertambahnya kelas menengah.

Lantas, bagaimana solusi dari Kementerian Perdagangan terhadap tiga permasalahan tersebut?

Pertama, untuk nilai tukar, karena ini memang masalah yang terjadi pada skala di luar Indonesia, maka tentu ini menjadi jauh lebih sulit bagi kita untuk mengatasinya sendirian. Tetapi kita melihat ada peluang di dalam depresiasi rupiah, yaitu bahwa langkah-langkah itu juga mendorong, paling tidak dalam jangka pendek, daya saing ekspor kita. Dengan demikian, nilai produk yang kita hasilkan menjadi lebih bersaing dengan produk dari negara lain.

Oleh sebab itu, solusi terhadap nilai tukar ini adalah bagian dari solusi paket kebijakan pemerintah yang telah ditetapkan sekitar minggu lalu, yaitu, pertama, tentu meningkatkan daya saing produk dan ekonomi dengan mendorong investasi, serta meningkatkan dan mempermudah pelayanan.

Investasi ini juga diharapkan bantu current account sehingga pada gilirannya bisa memperkuat nilai tukar. Kemudian kita juga terus membangun kepercayaan terhadap fundamental ekonomi Indonesia yang memang masih baik dibandingkan yang dibayangkan orang. Dan pandangan para investor terhadap Indonesia masih tetap positif. Mereka masih tetap menunjukkan rencana untuk melakukan kegiatan investasi di Indonesia.

Di samping itu, Indonesia juga berperan aktif dalam kerja sama-kerja sama internasional. Pertemuan G20 di St Petersburg, Rusia, itu juga akan membahas perkembangan ekonomi terkini. Kita berharap para pemimpin di pertemuan itu bisa keluar dengan sebuah solusi untuk mengatasi masalah bersama. Bagi Indonesia sendiri, kita tentu harus berusaha menghindari terjadinya permasalahan-permasalahan baru yang tidak perlu, seperti PHK, atau dispute yang tidak terselesaikan dalam sistem produksi. Ini tentu kita sangat berharap bagi semua pihak untuk betul-betul menyadari bahwa permasalahan ini tidak ringan untuk dihadapi oleh siapapun.

Apa strategi Kementerian Perdagangan dalam mengatasi defisit neraca perdagangan?

Untuk mengatasi defisit neraca perdagangan,kita akan terus memanfaatkan momentum peningkatan daya saing dengan kondisi kurs, dengan dukungan yang lain, seperti paket kebijakan fiskal yang sudah dikeluarkan Kementerian Keuangan dengan keringanan pajak, dan lainnya. Kemudian, kita mendayagunakan beberapa kesepatan internasional yang kita peroleh beberapa waktu terakhir ini, misalnya PTA dengan Pakistan yang mudah-mudahan akan bernilai sekitar US$ 150-200 juta untuk tahun ini. Dan tahun depan berpotensi untuk bisa meningkatkan ekspor kita ke kawasan itu dengan nilai US$ 1,5-2 miliar.

Kemudian, situasi yang kita dapatkan dari negosiasi udang dengan AS itu juga memiliki nilai yang cukup tinggi, mungkin sekitar US$ 150-200 juta, dan mungkin lebih dari itu. Kemudian juga penandatanganan kesepakatan Indonesia dengan Eropa untuk ekspor kayu dan produk kayu yang ditandatangani pada tanggal 30 September nanti, terkait dengan sertifikasi legal logging. Potensinya bisa mencapai sekitar US$ 1 miliar.

Kami coba kapitalisasi hal-hal seperti itu untuk dorong ekspor. Kami juga kendalikan impor, antara lain dan mudah-mudahan bisa segera terealisasi kebijakan wajib menggunakan bahan bakar nabati. Mengganti BBM dengan bahan bakar nabati. Ini berpotensi untuk menghemat impor sekitar US$ 2,8-3 miliar. Kemudian, kami juga kendalikan bahan-bahan non produktif dan non kebutuhan pokok dengan pajak barang mewah. Karena ada barang yang terkesan dia mahal tetapi produktif, seperti pesawat terbang dan lokomotif, tetapi yang lain kami coba kendalikan hal-hal yang tidak perlu. Rasanya kurang patut di tengah kemacetan kota Jakarta ada berseliweran Ferrari dan Lamborghini.

Kami pun terus mempromosikan ekspor. Minggu depan, saya sendiri akan memimpin misa dagang ke Brazil dan Peru, untuk menambah berbagai peluang dagang dengan kawasan tersebut.

Bagaimana dengan solusi untuk inflasi?

Alhamdullilah, inflasi bulan ini sudah menunjukkan sinyal menurun. Dan, kami punya solusi jangka pendek, yakni betul-betul menjamin ketersediaan dan kelancaran pasokan, termasuk yang dari impor. Kemudian untuk jangka menengah, mau tidak mau harus ada kerja sama dengan berbagai pihak, seperti kementerian lain maupun dengan dunia usaha untuk memperkuat dan mendorong suplai respons kita terhadap peningkatan permintaan yang betul-betul saat ini sangat kuat, naik dari sudut konsumsi dan bahan industri antara. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved