Sajian Utama

Membesarkan Bisnis Digital

Membesarkan Bisnis Digital

Untuk melangkah lebih jauh, para digitalpreneur harus menjalani sejumlah tahap. Uang bukanlah segalanya.

Digital business. Terdengar keren, bukan? Begitu juga digital entrepreneur. Sebuah label yang enak didengar. Namun, sebagaimana lazimnya wirausaha, para digitalpreneur tak selalu menemui jalan mulus untuk berkembang. Terlebih bagi mereka yang masih berada di level startup, yang baru melangkah, tahap demi tahap harus dilewati sebelum sukses direguk. Lalu, bagaimana strategi untuk membesarkan bisnis digital yang tengah dibesut?

SWA mewawancarai sejumlah pelaku dan pemerhati dunia bisnis digital untuk mengupas hal di atas. Berikut adalah jurus-jurus praktisnya, yang memfokuskan pada beberapa aspek, yaitu ide, produk, model bisnis, teamwork dan mentalitas.

Mari kita lihat yang pertama. Berbisnis di ranah digital sejatinya sama saja dengan bisnis lainnya. Apa pun jenis usaha yang akan dijalani digitapreneur seyogianya tidaklah sekadar mengekor kompetitor yang malah menambah sesak. Pikirkan ceruk yang mungkin belum dilakukan pihak lain. Atau, kalaupun mau mengambil jalur me-too atau follower, jangan lupa mengimbuhi dengan nilai tambah pada fitur-fiturnya.

Ambil contoh bila ingin masuk ke jalur portal berita. Detik.com telah berdiri kokoh. Menyainginya, perlu infrastruktur yang kuat, setidaknya dari sisi finansial dan human capital. Tempointeraktif, Viva News dan Kompas.com bisa berdiri bersaingan dengan dukungan ini, tetapi mereka tetap harus bisa menyuguhkan diferensiasi, entah itu tampilan atau fiturnya, termasuk komunitas yang digarapnya. Yang kemudian mengambil ceruk lebih ke sisi entertainment adalah Kapanlagi.com atau Okezone. Atau, Fimela.com yang menampilkan tampilan yang clean, sebagai pembeda dari Perempuan.com yang sama-sama mengambil segmen kaum wanita. Sementara itu, pemain lain memilih menjadi news agregator seperti Gresnews.com atau Bataviase. Langkah ini penting karena bertarung terbuka dengan ide yang sama di dunia digital bisa berujung pada kemandekan jika tak menyuguhkan diferensiasi. Intinya, keluarlah dari red ocean. Contoh ide yang menarik adalah Gantibaju.com. Tak seperti pelaku e-commerce lain, ia membuat dan menjual baju dengan cara memanfaatkan crowdsourcing.

Setiap ide akan mewujud pada produk. Akan tetapi, sebrilian apa pun ide, akan kembali pada sejauh mana produk atau jasa Anda. Pada akhirnya kualitas produk yang akan menentukan diserap-tidaknya oleh pasar. Siapa itu pasar? Pelanggan, sudah pasti. Karena itu, suara pelanggan laik didengar. Seperti laci, aspirasi mereka harus dibuka. Produsen tak bisa memosisikan dengan asumsi pribadi bahwa produk yang mereka tawarkan adalah yang dibutuhkan pelanggan.

Misalnya, Bhinneka.com. Awalnya, situs e-commerce ini dikerjakan dengan sangat sederhana, begitu juga varian produknya, lebih pada katalog displai semata. Setelah menampung aspirasi pengunjung, Hendrik Tio, pendiri sekaligus Direktur Pengelola PT Bhinneka Mentari Dimensi, mendapati bahwa kebutuhan pelanggan semakin kompleks. Tidak sebatas harga, tetapi juga detail spesifikasi produk, informasi stok yang tersedia, keinginan berinteraksi dengan menyampaikan komentar, dan membandingkan produk satu dengan lainnya.

Hendrik mengakomodasi ini semua, termasuk karakter orang Indonesia yang suka tawar- menawar harga. Disediakan kolom bargaining. “Dengan cara seperti itu, kami juga tumbuh karena mengetahui keinginan mereka,” ujarnya.

Ide hebat, produk pun oke, lantas apakah itu selalu menjanjikan uang datang. Ikhwal “show me the money” adalah persoalan klasik di dunia bisnis digital. Bahkan, Twitter yang hebat pun belum menghasilkan uang, sementara Amazon bertahun-tahun merugi sebelum mencetak laba. Apa kuncinya?

Model bisnis. Ini jawabnya. Seorang calon digitalpreneur akan merilis situsnya yang berisi video wawancara dengan orang-orang top. Hebat idenya. Dia pun semangat bercerita tentang gagasannya. Namun, mulutnya langsung bungkam ketika ditanya: dari mana sumber pendapatannya? Apakah orang yang melihat wawancara itu harus membayar? Kalau iklan, siapa yang mau beriklan? Orang-orang itu?

Tantangan terbesar pada digitalpreneur, terutama para startup, dalam pengamatan Natali Ardianto, adalah memusatkan perhatian pada sisi online saja. Artinya, berpikir bahwa dengan situs atau online tools-nya, dia bisa mendatangkan uang. Padahal, “Marketing offline-nya (juga) harus berjalan baik,” tutur Chief Technology Officer PT Warato Indonesia yang juga salah seorang pendiri Urbanesia itu.

Akan tetapi, yang paling mendasar, lanjut Natali, adalah kebanyakan digitalpreneur memusatkan sumber pendapatan pada iklan! Seolah-olah, hanya iklanlah yang menjadi sumber uang bisnisnya, terutama lewat situsnya. “Mungkin 70%-80% jawabannya advertising. Padahal, itu tidak bisa diandalkan,” kata Andi S. Budiman, konsultan yang sebelumnya menjadi eksekutif PT Mitranet (Mojopia.com), menimpali sambil tersenyum. Di sini, orang bisa belajar dari kecerdasan Groupon dalam membuat model bisnis: mengutip margin dari berjualan voucer restoran. Bisnis tak mesti seperti Google, si raja iklan. “Kita harus mencari apa yang menjadi masalah dalam masyarakat, kebutuhan mereka sesungguhnya yang belum terpenuhi,” ujar Natali. Contohnya, dia melanjutkan, direktori sopir atau direktori pembantu rumah tangga. Kepandaian melihat apa yang dibutuhkan masyarakat akan menentukan bangunan model bisnis yang bisa dibuat.

Andi mengamini. Kepada para startup yang datang untuk berkonsultasi, dia selalu menyarankan agar menyiapkan model bisnisnya terlebih dulu sebelum meluncurkan bisnis digitalnya. Hingga hari ini, ia melihat, jangankan bicara model bisnis, bahkan banyak yang tidak tahu produk dan jasanya itu untuk siapa.

Meski demikian, model bisnis yang bagus akan kurang “greng” jika tak punya kemampuan memasarkan. Di sinilah diperlukan kerja sama yang baik dalam perusahaan bisnis digital. Ini aspek teamwork. Maka: buatlah killer team. Bikinlah tim yang bisa menggerakkan bisnis. Dan, ini lazimnya akan kembali kepada para pendiri. Upayakan, para pendiri adalah gabungan antara the thinker, the seller. Misalnya, seperti kata Natali, co-founder pertama orang TI, co-founder kedua harus orang bisnis (banyak yang pemasaran atau penjualan). Karena, jika semua orang teknik, tidak ada yang memikirkan aspek penjualan.

Untuk urusan pemasaran itu sendiri, Daniel Haryanto dari Prasetiya Mulya Business School melihat bahwa keberhasilan digitalpreneur akan ditentukan sejauh mana kemampuan mereka mengolah strategi dengan fokus dan banyak berinovasi. Salah satunya dengan menggunakan jejaring media sosial untuk menyebar info, viral marketing dan word of mouth. Sarannya: pandai-pandailah menggunakan tools yang ada dalam hal membangun relasi dengan pelanggan sesuai dengan segmen yang disasar.

Anggaplah produk, model bisnis, dan kemampuan memasarkan sudah oke punya, laba pun sudah diraih. Lalu, bagaimana dengan membesarkan bisnis? Haruskah mendatangkan investor?

Disadari atau tidak, ada semacam kecenderungan di kalangan para digitalpreneur untuk segera meluncurkan bisnisnya, untuk kemudian 2-3 tahun kemudian mencari angel investor. Bahkan, ada yang dari awal sudah ingin menjual bisnisnya. Kebanyakan mereka memang bercermin pada nasib pemain sejenis di mancanegara yang diguyur uang oleh investor. Terlebih di dalam negeri pun sudah ada presedennya, seperti Koprol diakuisisi Yahoo atau Urbanesia yang diinjeksi East Venture.

“Investor itu sebenarnya kan cari keuntungan, kalau bisnisnya dinilai bisa menghasilkan revenue, pastinya akan diakuisisi,” kata Natali. Ia menyarankan para digitalpreneur, terlebih mereka yang startup, tidak perlu tergesa-gesa mencari investor. Jika terburu-buru mencari investor, menurutnya, itu justru menunjukkan perusahaannya tengah bermasalah, atau kekurangan dana. Dia yakin, bila bisnisnya bagus, investor akan datang dengan sendirinya.

Fakta memang menyatakan demikian. Investor masa kini tak seperti zaman dotcom bubble satu dekade lampau. Sekarang mereka lebih kritis melihat potensi sebuah bisnis digital, terutama model bisnisnya. Namun, kalaupun ada investor yang datang, sang digitalpreneur juga mesti bertanya: apa memang saya butuh investor? Adakah sumber pendanaan lain? Bank, misalnya. Investor pastinya memiliki kehendak tertentu – minimal menempatkan orang – sehingga situasi akan lebih kompleks bagi digitalpreneur karena ada aspek kontrol pihak luar.

Beberapa waktu lalu, investor dari Afrika Selatan, Naspers, berencana membeli sebuah bisnis digital buatan anak Indonesia. Harga yang ditawar cukup bagus, ditambah agio saham. Akan tetapi, sang digitalpreneur justru yang kebingungan. Dia tak tahu mau diapakan uang miliaran rupiah itu.

Dana memang penting. Untuk berkembang, investor bisa diperlukan, bisa juga tidak dibutuhkan, tergantung situasinya. Namun, kasus ini, merujuk pendapat Daniel Haryanto, menunjukkan betapa pentingnya visi seorang digitalpreneur. Dia harus tahu mau diapakan dan dikemanakan bisnisnya sehingga bisa menakar sejauh mana kebutuhannya akan financial capital.

Ambil misal Tokobagus.com. Arnold Sebastian dan Remco Hendrik Lupker membesut Tokobagus.com pada 2003. Namun, situs ini tidak langsung dikibarkan karena menunggu pasar e-commerce menggeliat. Baru pada 2005, setelah e-commerce mulai hidup, situs di mana perusahaan dan perorangan dapat menjual dan membeli produk atau jasa ini diluncurkan. Kini, seiring dengan membesarnya bisnis, para pendiri melihat pentingnya Jakarta sebagai pusat operasi. Kantornya yang semula di Denpasar, Bali, pada Januari 2011 dipindahkan ke Jakarta. “Kami mempertimbangkan akses yang lebih mudah jika di Jakarta,” kata Arnold. Di Ibu Kota, Tokobagus.com akan lebih mudah mengadakan koordinasi dengan mitra bisnis yang kian membesar. Inilah visi.

Visi seorang digitalpreneur sangat menentukan. Uang bukanlah segalanya. Uang justru bisa jadi sumber masalah bila diasumsikan bahwa dengan uang, kejayaan bisa diraih. Untuk berkembang, selain diperlukan uang, juga kemampuan pengelolaan manusia, serta pengetahuan dan tekonologi yang berkembang pesat. Di sinilah sudah selayaknya para digitalpreneur memiliki mentor yang bisa membimbingnya. Tentunya, mentor yang benar. Dengan bimbingan yang tepat, bisnis akan bisa berkembang lebih pesat lagi.

Pokoknya, seperti disarankan Hendrik Tio, bisnis digital sejatinya seperti bisnis lain: perlu proses. Jangan pernah berpikir segera sukses. Bintang-bintang top kelas dunia, semacam Google, Facebook dan Twitter pun perlu proses yang harus dijalani. Proses yang di dalamnya berisikan: ketekunan dan kejelian membaca arah pasar. Mentalitas laiknya seorang entrepreneur.(*)

Reportase: Ario Fajar, Herning Banirestu dan Rias Andriati

Riset: Dian Solihati

Langkah sebagai Digitalpreneur

Berangkatlah dari ide brillian, temukan ceruk dan diferensiasi.

Buatlah produk yang dibutuhkan pelanggan, bukan asumsi pribadi.

Mau uang? Miliki bisnis model yang hebat!

Bangun killer team.

Bangun keseimbangan: pendiri adalah gabungan the thinker, the seller.

Jangan lupa: mentor! Mentor bisa membantu mengarahkan jalan.

Perlu investor? Lihat lagi visi awal.

Mental, mental, mental. Digitalpreneur tetaplah seseorang dengan mentalitas entrepreneur.

Lima “I” bagi Investor

Apa yang dipertimbangkan investor ketika akan masuk digital bisnis?

Kevin Sanjoto, investor yang mengucurkan uang untuk Golfnesia.com, menjelaskan bahwa yang menjadi pertimbangan investor untuk mau menyuntik modal adalah prinsip 5 “I”, yakni: Idea, Innovation, Integration, Implementation dan Improvement.

Idea berarti memiliki konsep yang menarik dan memiliki peluang yang kuat. Innovation adalah kemampuan melakukan terobosan ide menjadi sebuah kesempatan bisnis. Integration adalah kemampuan melakukan integrasi ide tersebut dalam bentuk web, platform atau aplikasi. Singkatnya, ada transformasi ide ke wujud nyata. Implementation menyangkut kesanggupan pebisnis melakukan implementasi dalam arti luas, di mana tidak terbatas dalam sistem dan platform, tetapi juga pemasaran. Terakhir, improvement, kemampuan dan kegigihan untuk melakukan perbaikan dari beberapa prinsip di atas. “Dengan memegang prinsip tersebut, saya yakin investor akan mudah semringah,” kata Kevin.(*)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved