Management Strategy

Tiga Syarat Penerapan Ekonomi Hijau

Tiga Syarat Penerapan Ekonomi Hijau

Penerapan Ekonomi Hijau di Indonesia telah masuk ke pembahasan di tingkat kebijakan serta penerapan di tingkat masyarakat, juga seiring dengan dengan akan berakhirnya masa kerja satuan tugas (satgas) persiapan kelembagaan Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) yang diperpanjang hingga Juni 2013. Oleh karena itu, penerapan ekonomi hjau di Indonesia memerlukan tiga syarat utama, yaitu partisipasi masyarakat terdampak dan masyarakat adat, adanya kelembagaan khusus, dan penataan pertanahan (land governance) termasuk peraturan terkait.

(Kiri ke kanan) Sipet Hermanto, Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah; Sarwono Kusumaatmadja, Ketua Dewan Pembina Yayasan Leuser International; Mubariq Ahmad, Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+; Wimar Witeolar dalam Seminar Nasional Karpet Merah untuk Ekonomi Hijau, Rabu (20/2), di Jakarta

Hal tersebut mengemuka dalam Seminar Nasional “Karpet Merah untuk Ekonomi Hijau” yang dimoderatori oleh Wimar Witoelar dan diselenggarakan di Jakarta, pada Rabu (20/2), oleh Yayasan Perspektif Baru dan Kemitraan. Terkait hal kelembagaan, Mubariq Ahmad, yang tergabung dalam Kelompok Kerja Strategi Nasional REDD+, mengatakan adopsi dan implementasi REDD+ merupakan langkah yang sangat strategis bagi pemerintah Indonesia untuk menuju Ekonomi Hijau.

“Sebagai entry point strategis, REDD+ perlu mendapat dukungan penataan land governance sebagai basis dari semua kegiatan Ekonomi Hijau, antara lain tata guna lahan, tata batas hutan, moratorium, dan perbaikan sistem perizinan pemanfaatan lahan,” katanya.

Mengenai penataan pertanahan, Rifqi Assegaf, Asisten Deputi 6 Bidang Hukum UKP4, mengatakan bahwa pembentukan tim atau badan atau lembaga khusus untuk menangani konflik tanah dan hutan merupakan sebuah langkah yang harus diambil pemerintah di mana tim atau badan khusus tersebut beranggotakan berbagai pemangku kepantingan (stakeholders) di pemerintahan dan masyarakat.

“Ini penting karena penyelesaian konflik tersebut melibatkan berbagai sektor di pemerintahan. Selain itu, penyelesaian konflik juga membutuhkan peran dan dukungan berbagai sektor, misalnya anggaran, perubahan aset, perubahan tata wilaya, dan lain-lain,” jelasnya yang menambahkan bahwa landasan hukum untuk membentuk tim atau badan khusus tersebut sudah ada, misalnya Ketetapan MPR No.V Tahun 2003, dan Inpres No.2/2003.

Selain itu, Martua Sirait, anggota Dewan Kehutanan Nasional, menambahkan keterlibatan masyarakat adat di sekitar dan di dalam hutan menjadi salah satu kunci Ekonomi Hijau. “Oleh karena itu penguasaan hutan perlu diperjelas,” katanya. Martua Sirait melanjutkan, saat ini telah terjadi ketimpangan penguasaan hutan di kawasan hutan Indonesia. Hanya 0,25 juta hektar kawasan hutan yang boleh dikelola masyarakat. Sementara, 35,8 juta hektar diperuntukan bagi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Hak Pengusaha Hutan (HPH). “Jadi, yang harus dilakukan adalah kepastian tenurial dengan pengukuhan kawasan hutan, perluasan wilayah kelola rakyat, dan penyelesaian konflik,” tegasnya.

Sarwono Kusumaatmadja mengatakan, Indonesia perlu menindak-lanjuti rintisan, melakukan inovasi, serta memperlihatkan teladan untuk melekatkan nilai-nilai ekonomi yang sepantasnya bagi sumberdaya alam kita utamanya hutan, dan perlu memastikan terjadinya sebaran manfaat serta kegiatan ekonomi secara lebih adil dan inklusif, sekaligus menjadikan “Ekonomi Hijau” menjadi karakter ekonomi Indonesia sesuai dengan karakter sumber daya alamnya. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved