Profile Company Editor's Choice Corporate Action

Chairal Tanjung, Eksekutor Bisnis CT

Chairal Tanjung, Eksekutor Bisnis CT

Tak berlebihan kalau menyebut Trans Studio Bandung sebagai kawasan paling bersinar di Parisj van Java. Menempati areal seluas 10 hektare di Jl. Gatot Subroto, Bandung, di kawasan ini hadir wahana bermain indoor Trans Studio Theme Park, Trans Studio Mall, The Trans Luxury Hotel dan Ibis Hotel. Kawasan terpadu di jantung kota Bandung ini menjadi kedigdayaan Trans Corp yang sukses menghadirkan konsep one stop living and entertainment.

Penggagas dan konseptor kawasan terpadu Trans Studio Bandung, siapa lagi kalau bukan CEO Trans Corp Chairul Tanjung atau akrab disapa CT. Namun, siapa sosok sang eksekutor kawasan yang menjadi ikon baru Kota Kembang ini? Chairal Tanjung! Namanya mirip, bedanya yang satu pakai “u” (Chairul), yang satunya lagi pakai “a” (Chairal). Keduanya memang kakak beradik.

Chairal, kelahiran Jakarta 16 Mei 1966, mampu menerjemahkan konsep yang digulirkan CT dengan brilian. Lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara, dan S-1 & S-2 Ekonomi dari Universitas Indonesia ini kini tercatat sebagai komisaris beberapa unit usaha CT Corp, seperti PT Asuransi Umum Mega, PT Asuransi Jiwa Megalife, PT Mega Tengah Keuangan, PT Auto Mega Keuangan, dan PT Trans Studio, serta sebagai Komut PT Para Bandung Propertindo.

Chairul Tanjung

CEO Trans Corp, Chairul Tanjung

Sebelum bergabung dengan perusahaan yang dibesut CT pada 1992 sebagai Manajer Keuangan, Chairal sempat merentas karier sebagai Auditor di Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Ayah tiga anak ini pada 2000 didapuk menjadi Direktur CT Corp.

Berikut perbincangan SWA dengan Chairal di sela-sela peresmian Hotel Trans Luxury.

Apa saja yang sudah Anda lakukan di kawasan Trans Studio Bandung ini?

Pak Chairul yang punya visi, saya hanya berusaha menerjemahkan visi itu. Sepanjang perjalanan membangun kawasan ini, beliau ikut memantau dan mengoreksi. Beliau yang membuat konsep desain. Kebetulan kami punya style yang hampir sama. Jadi agak mudah. Kami berdua mempelajari detail konsepnya kemudian kami mencari konsultan, pemasok, bahan baku, dan benchmark ke beberapa hotel. Kami ambil esensinya, kemudian kami kolaborasikan.

Seperti apa konsepnya?

Pastinya sesuatu yang baru. Saya kira tidak ada satu hotel di Indonesia yang style-nya seperti di Trans Luxury. Perpaduan glamor, luxury, dan kadang-kadang striking (mencolok). Awalnya mungkin orang melihat kok seperti ini tapi ketika tinggal lebih lama, it’s beautiful! Warna yang kami pilih kombinasinya tidak ada di tempat lain. Karpetnya berwarna-warni agak menyala, lampu-lampunya kami pakai kombinasi yang berbeda dari kombinasi bahan metal, gelas tiup dan kristal. Orang selalu menganggap bahwa kalau mau glamor menggunakan kristal. Kami memakai kristal sangat sedikit tapi mewah kan? Kalau dari sisi harga, bahan baku yang kami pilih tidak lebih murah dari kristal. Balon tiup ini dikerjakan orang satu per satu, kami beli di luar negeri. Hampir semua bahan baku impor kecuali kayu. Ukiran kayunya dari Jepara, hampir semuanya hasil karya anak Indonesia, termasuk furniturnya.

Hotel Trans Luxury juga menyediakan president suite seharga Rp 25 juta per malam, mahal sekali ya?

Kalau bicara di Jakarta malah ada president suite seharga Rp 40 juta per malam. Di Bandung juga bukan kami satu-satunya, ada hotel lain yang punya president suite dengan opening price Rp 25 juta. Pasarnya jelas ada karena itu kami sediakan. Kalau dibilang hotel kami mahal, coba lebih dicermati. Kami menghadirkan konsep theme park indoor, pusat perbelanjaan, dan hotel dalam satu kawasan yang terintegrasi. Konsep kami one stop service. Mau ke Trans Studio, pusat perbelanjaan, tidak perlu ongkos untuk semua keperluan pengunjung, at the end menjadi tidak mahal. Kalau harga yang ditawarkan Luxury terlampau mahal, kami punya Ibis dengan harga kamar mulai Rp 400 ribu. Kami paham Indonesia multiekonomi, stratanya banyak, jadi kami tidak hanya memikirkan satu sisi.

Dengan hotel supermewah, bagaimana strategi pemasarannya?

Kami beriklan di televisi yang dampaknya lumayan bagus. Kami happy dengan occupancy hotel ini yang bisa mencapai sekitar 90%. Sementara untuk Trans Studio, kami memberikan tiket khusus bagi pelajar sehingga lebih murah.

Kabarnya di Trans Studio per hari bisa sampai 15 ribu pengunjung?

Kapasitas Trans Studio Bandung memang sampai 15 ribu. Kami belum sampai segitu. Suka ngarang, mancing-mancing terus. Sudah ah jangan ngomong duit nanti kami dianggap sombong dan jadi sungkan. Saya gak mau ngomong investasi, revenue, atau prospek.

Berapa besar komposisi pengunjung lokal dan ekspat yang menginap di Trans Luxury?

Mayoritas turis lokal yang datang. Orang Indonesia ini ternyata kaya-kaya.

Kapan break even point? Investasi hotel saja sampai Rp 1 triliun, kalau totalnya kami dengar sampai Rp 2 triliun ya?

Investasinya lebih dari itu! Balik modal standar propertilah. Tanya sama ahli properti deh kira-kira habis berapa dengan kondisi kawasan terpadu seperti ini.

Memiliki keahlian di bidang akunting. Bagaimana Anda ikut membangun semua bisnis Pak Chairul seperti Para Bandung Propertindo? Menyinergikan satu sama lain?

Sebenarnya membangun hotel, mal, kantor, ini mimpi Pak Chairul sejak 1994. Maketnya sudah ada sejak 1994. Kakak saya itu seorang visioner. Dulu, tidak ada satu orang pun percaya kami akan sukses membangun tempat mewah di sini. Mengapa di sini? Kenapa gak di Dago atau di daerah utara yang lokasinya lebih bagus, misalnya? Di sini (Jl. Gatot Subroto – Red.) kumuh, banyak preman. Tapi kami bisa mengubah citra daerah ini, dari kumuh menjadi lebih baik suasananya. Kalau Anda lihat dulu, ketika mal ini berdiri, sampai radius berapa kilometer lokasi kumuh. Tapi sekarang sudah banyak showroom mobil, bank, perkantoran. Banyak orang yang bicara, Pak Chairul membuat properti menjadi sesuatu yang hebat tapi dia tidak menikmati. Harusnya tanah lebih luas lagi sehingga bisa jual real estate-nya. Tapi kami fokus.

Kabarnya akan membangun kawasan seperti ini di Jakarta?

Ya, tapi real estate yang akan kami buat seperti Bintaro. Kami mau buat konsep yang sama seperti ini tapi dengan skala yang lebih kompleks, lebih bermacam-macam variasinya, lebih besar, yang kami perkirakan bisa menarik banyak pengunjung, bukan hanya domestik tapi internasional. Kami ingin membuat masyarakat Indonesia lebih bangga. Masak kita kalah dengan Genting?

Luas lokasi di Jakarta kami dengar 10 kali lipat dari area kawasan terpadu Trans Studio Bandung?

Wah, masih rahasia. Nanti belum apa-apa naik duluan harga di situ.

Kabarnya mau akuisisi Ancol juga ya?

Ancol itu teman kami. Kami kira they doing oke. Kami gak mungkin akuisisi mereka. Sebagian punya Pemda DKI. Mungkin kami akan 100% Trans Corp seperti di Bandung. Di Makassar, kami kerja sama dengan Grup Kalla. Kita lihat saja perkembangannya.

Ngomong-ngomong, bagaimana Anda melihat sosok Chairul Tanjung sebagai seorang kakak dan sebagai pengusaha?

Saya ingat benar bagaimana dulu dia berjuang untuk hidupnya dan keluarga kami. Berangkat pagi pulang malam sekali. Dia selalu berhasil memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dia orang yang luar biasa, dia pekerja keras, dia sayang adik-adiknya, sayang Ibu Bapak, berusaha untuk mandiri dan menolong siapa saja yang bisa ditolong. Pak Chairul dan Pak Chairil (kakak sulung – Red.) sempat dibesarkan Nenek, sedangkan saya dan adik-adik bersama Ayah Ibu. Saya anak nomor empat tapi karena yang ketiga perempuan meninggal dunia, ya sekarang jadi nomor tiga. Saya termasuk yang sekolahnya dibantu Pak Chairul. Kebetulan saya berhasil masuk STAN, jadi sekolah gratis dan kami memang dididik harus survive. Sambil kuliah, saya ada penghasilan juga.

Anda sempat berkarier di tempat lain kemudian memilih bergabung dengan Pak Chairul, mengapa?

Lulus dari STAN, saya bekerja di BPKP. Usai bekerja, sore saya bantu-bantu Pak Chairul di pabrik sepatu. Sampai suatu waktu dia bilang, sudah kerja di sini saja. Pikirkan yang matang, sebelum memutuskan. Mau join full atau bagaimana? Karena saat itu Pak Chairul sedang butuh orang, saya berpikir sederhana, dia itu andalan keluarga, kalau gak join kok sepertinya ini suatu kewajiban. Kalau tidak join kok rasanya tidak adil juga hanya memikirkan diri sendiri. Ini kewajiban saya untuk mendukung keluarga juga. Saya kemudian mengundurkan diri dari tempat saya kerja. Fully incharge di perusahaan Pak Chairul.

Tanggung jawab Anda apa saja ketika itu?

Saya ikut sejak Pak Chairul mengembangkan bisnis sepatu sampai Grup Para berkembang hingga terbentuk Trans Corp. Kami mengembangkan finance company, real estate dan Bandung Supermal. Yang mengembangkan dari awal memang Pak Chairul. Saya eksekutor saja. Jiwa perusahaan ini sebenarnya jiwanya Pak Chairul, padahal dia lulusan kedokteran gigi.

Apa saja pembelajaran bisnis yang Anda peroleh?

Bagi saya, semua data itu harus tercatat. Sementara Pak Chairul percaya kalau bisnis itu harus internalize. Data itu bukan dicatat tapi ada di hati dan di kepala. Saya dididik oleh dia langsung dan itu luar biasa. Mengubah dari orang yang tadinya sangat mengandalkan komputer, tiba-tiba harus memorize everything. Sekolah di STAN membuat saya banyak belajar manajemen, yang menganut American style. Ada pembagian tugas, tanggung jawab dan sebagainya. Tapi oleh Pak Chairul saya dilatih dan dibimbing untuk memahami dan mencampuri semua hal.

Saya dituntut untuk berpikir bagaimana angka penjualan naik. Kenapa penjualannya tidak sampai? Kenapa mesinnya rusak? Saya jawab itu bukan urusan saya. Mesin urusannya manajer pabrik. Menurut dia tidak bisa begitu. Jadi kalau you bikin bujet, you buat anggaran, estimasi income sekian, you harus tahu meng-achive-nya, apa pun masalah yang ada. Orang keuangan tidak sekadar mengestimasi bujet berapa. Dia seorang guru yang luar biasa. Orang mungkin ada yang menangis dan mengeluh dengan sikapnya yang tegas. Sering kali saya ngerundel sendiri. Tapi sebenarnya dia mendidik. Sakit memang sakit. Saya tidak tahu karyawan lain mendapatkan hal yang sama atau tidak. Tapi seorang Chairul Tanjung melihat dari sisi yang berbeda.

Henni T. Soelaeman dan Siti Ruslina


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved