CEO Interview

CEO Telkom MDI: Fokus Danai Startup Berkualitas

CEO Telkom MDI: Fokus Danai Startup Berkualitas

Pertama kali bersentuhan dengan Group Telkom, Nicko Widjaja menjadi Direktur Program Telkom Indigo Incubator sejak 2015. Selama kurang lebih satu tahun, Nicko membantu berbagai proyek untuk memperbarui rancangan kurikulum, mengubah seluruh program, menggabungkan dan memperkuat berbagai prakarsa inovatif perusahaan di bawah satu payung.

Sukses di Indigo, Nicko diberi tantangan lebih besar lagi menjadi pemimpin di Telkom MDI (Metra Digital Inovasi). Perusahaan modal ventura yang menjadi bagian dari perusahaan Telkom Indonesia ini didirikan pada awal Januari 2016, dengan jaringan bisnis yang dimiliki, Telkom MDI sudah beroperasi di Singapura dan Silicon Valley.

Bagi Nicko, Telkom MDI bukan sekadar perusahaan modal ventura pada umumnya yang hanya mengejar gain. Lebih dari itu, Telkom MDI adalah suatu sinergi sehat (synergy fit) antara startup yang dikelola agar terjadi sebuah nilai tambah (value added) bagi Telkom Group. Karena itu, bukan kuantitas startup yang akan dikejar, tapi kualitas yang akan menjadi prioritas.

Nicko Widjaja CEO Telkom MDI

Nicko Widjaja CEO Telkom MDI

Bersama jurnalis SWA Online Syukron Ali, pria berkaca mata yang kini sudah menginjak usia 42tahun itu berbagi banyak hal seputar dunia startup dan modal ventura yang sudah tekuni lebih dari 12 tahun. Berikut petikannya:

Apakah itu Telkom MDI?

Telkom MDI (Metra Digital Inovasi) adalah perusahaan modal ventura bagian dari Grup Telkom Indonesia. Didirikan pada akhir bulan tahun 2015, dengan jaringan bisnis yang dimiliki, Telkom MDI sudah beroperasi di Singapura dan Silicon Valley.

Bagi kami di MDI, perjalanan pembinaan startup di dalam cakrawala Telkom menjadi lengkap. Kami memiliki end-to-end financing cycle yang tidak dimiliki oleh pemain lainnya. Yaitu “from ideation to commerce”, di mana Indigo membina startup di tahap awal (seed, acceleration), dan MDI di tahap pertumbuhan ke skala ekonomi yang lebih besar (growth stage and scaling up).

Apa bedanya Telkom MDI dengan perusahaan modal ventura lainnnya?

MDI lebih tepat jika disebut sebagai corporate innovation initiative ketimbang sebuah ‘modal ventura’. Sebab, modal ventura tujuan utamanya untuk mencari profit yang didapatkan dari menjual share di satu perusahaan (gain). Sedangkan MDI mencari synergy fit yang dapat meningkatkan nilai tambah (value added) bagi Telkom Group.

Bedanya lagi bagi startup yang di-invest oleh MDI, mereka tidak hanya kami bantu untuk go-to-market, tetapi juga kami bantu sediakan berbagai fasilitas lain seperti jaringan, cloud, customer base dan sebagainya.

Sejak kapan Anda menjadi CEO Telkom Mdi?

Tepatnya sejak bulan Desember 2015, saya langsung menempati posisi CEO Telkom MDI. Sebelum itu saya bergabung di Indigo Incubator milik Telkom sejak tahun awal tahun 2015.

Sebelum menjadi CEO Telkom MDI, apa saja pengalaman Anda sebelumnya?

Setelah selesai kuliah Manajemen Pemasaran di Oregon State University di Amerika Serikat dan mengambil gelar MBA untuk Pengelolaan Strategis (Strategic Management) dari Dominican University of California, saya kembali ke Indonesia dan mulai bekerja di PT Indofood tahun 2002-2006 sebagai Associate Director Central Marketing.

Kemudian, tahun 2009, saya membawa waralaba Mindcode ke Indonesia dan menjadi Country Director hingga tahun 2011. Mulai bulan April 2010 hingga April 2015, saya menjadi Adjunct Professor di UPH Business School dimana saya bertanggung jawab untuk merancang dan mengarahkan kurikulum.

Sembari memberikan kuliah, pada bulan Januari 2011 hingga Februari 2014, saya menjadi CEO dan Co-Founder untuk Systec Group, sebuah Modal Ventura dengan portfolio seperti TrustedMoneySolution, Touchpoints, Tinker Games, Talkmen, Karnivall, Hobo Games, serta Pastaholics.

Mulai Januari 2012 hingga saat ini, saya masih menjadi mntor dan salah satu anggota jajaran direksi untuk beberapa perusahaan seperti Nexgigs.com, Wikasa.com, Karnivall.com, dan Livepicly.com. Lalu, pada bulan Agustus 2014 hingga Desember 2014 saya membantu Fenox VC sebagai Venture Partner.

Sedangkan karier saya di Telkom dimulai pada bulan Januari 2015 ketika saya menjabat sebagai Program Director untuk Telkom Indigo Incubator dan sejak bulan Desember 2015 sebagai CEO untuk Telkom MDI.

Satu tahun bersama Telkom, apa kesan Anda?

Selama satu tahun berinteraksi bersama Telkom khususnya Indigo, saya melihat Indigo Incubator sebagai sebuah “view point” untuk kami semua, baik di Telkom maupun MDI.

Lewat Indigo, Telkom senantiasa memperhatikan laju pertumbuhan industri startup yang terjadi di Indonesia. Kebanyakan dari startup di Indonesia berada dalam proses tahap awal, untuk itu Indigo Incubator hadir memberikan seed/starting point sebelum startup tersebut berubah menjadi sesuatu yang lebih besar.

Saya juga sempat mengambil mata kuliah Budaya dan Antropologi Terapan (Cultural and Applied Anthropology). Berbekal pengetahuan dan keahlian saya dalam metodologi etnografi, saya dapat melihat orang-orang dan fenomena budaya dari sudut pandang unik. Maka dari itu, saya memusatkan kegemaran saya pada pengembangan startups, bekerja secara terpadu bersama mereka untuk mencari dan mengembangkan beragam pemikiran baru, serta mengembangkan kemitraan strategis dengan bisnis utama lainnya.

Apa saja startup yang sudah didanai oleh Telkom MDI?

Telkom MDI ditetapkan sebagai perusahaan mandiri dengan proses pendanaan yang ditentukan sendiri. MDI bertujuan untuk memaksimalkan nilai portofolio VC dalam Grup Telkom. Memberdayakan pertumbuhan kewirausahaan digital, serta membantu membangun ekosistem startup di kawasan Asia Tenggara.

Hingga saat ini, Telkom MDI telah mendanai dan terus membina beberapa portofolio, di antaranya adalah Ematic Solutions dari Singapura, Goers, Apaja, PowerCube, Kakatu, dan Jarvis Store.

Berapa nominal investasinya? Nominal investasinya senilai dengan startup di atas series A.

Apakah startup yang ada saat ini hanya sebuah tren atau memang kebutuhan jangka panjang?

Jika kita diperhatikan fenomena internet ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Ini sebuah fenomena global. Lihat Alibaba di China yang sudah menjadi salah satu perusahaan terbesar di dunia. Di India sudah terdapat lebih dari 130 startup yang nilainya diatas US$ 1 triliun. Asia Tenggara dengan Grab dari Malaysia, VNG dari Vietnam dan Ganera dari Singapura yang nilai valuasi nya lebih dari US$ 1 triliun.

Pattern yang sudah terjadi di India dan China tentunya akan terulang di belahan dunia lain. Jika saya tanya kepada beberapa VC di Amerika Serikat, umumnya mereka setuju mengatakan bahwa saat ini merupakan era milik Asia Tenggara. Indonesia sebagai negara yang terbesar dalam skala ekonomi di antara negara tetangga, tentu menjadi sasaran menarik bagi pemain regional maupun internasional.

Yang menarik adalah fenomena yang terjadi di Indonesia ini bukanlah “by design”. Tetapi memang terjadi dengan sendirinya secara perlahan sejak tahun 2009.

Bagaimana ekosistem dan infrastrukturnya di Indonesia? Apakah sudah mendukung?

Ekosistem pendanaan belakangan ini menjadi sangat menarik sejak 2015. Lihat saja banyak konglomerasi yang sudah ikut ke dalam industri ini. Ketika saya pertama kali berkecimpung di dunia VC/startup tahun 2010, pendanaan pada umumnya hanya di level angel investor saja (perorangan). Yang menjadi menarik adalah para konglomerat yang terjun ke dalam industri ini juga membantu pertumbuhan para startup yang ditanami modal dengan go-to-market strategy yang lebih solid ketimbang hanya memberikan pendanaan secara pasif.

Dengan ini, maka infrastruktur pun menjadi berubah. Yang dulunya sering dikatakan menjadi kendala (payment, logistik, dsb.), kini menjadi semacam opportunity bagi pihak swasta untuk memenuhinya, seiring dengan jumlah permintaan (demand) yang menanjak.

Apa Bedanya Pendanaan dari Modal Ventura dan Perbankan?

Modal Ventura (MV) bukanlah peminjam dana seperti bank atau perusahaan penyedia modal lainnya. MV sangat spesifik kepada tahapan pendanaan, dan mencari keuntungan dari melepaskan saham di tahapan berikutnya. It’s pure business. Bukan lembaga sosial maupun lembaga peminjaman modal. Ketika VC melakukan investasi, mereka tahu sekali resiko yang dihadapi.

Mencari pendanaan di VC boleh dikatakan 1,000X lebih sulit dibandingkan dengan institusi lain karena banyaknya faktor yang dipertimbangkan ketika memutuskan untuk meng-invest di sebuah usaha startup.

Setelah masuk Silicon Valley, apa target Anda untuk Telkom MDI?

Di Silicon Valley, strategi kami dua arah yaitu: membawa startup yang memiliki proprietary technology yang dapat membawa synergy value untuk Telkom dan membawa startup untuk eksplorasi market dan best practice yang nantinya dapat digunakan untuk pengembangan mereka.

Tidak ada target berapa startup yang harus kami bawa pulang. Yang kami lihat di sini bukan kuantitas, tetapi kualitas. Yang terpenting adalah membawa startup lokal ke Amerika Serikat untuk mendapatkan eksposur terhadap pendanaan tahap lanjutan (Series B, C, dst.) dari institusi yang lebih besar di sana.

Anda juga mendirikan Systec dan Thinking Room, bagaimana kondisinya sekarang?

Kalau Thinking Room, kebetulan saya mendirikannya bersama dengan adik saya, Eric Widjaja. Di tangan Eric, Thinking Room berkembang pesat, dan saya sendiri ternyata tidak berbakat menjalankannya. Systec adalah salah satu perusahaan yang bergerak di bidang ventura sebelum nama ventura menjadi jargon yg umum seperti sekarang. Saya yakin setiap perusahaan menemukan jalannya masing-masing setelah sekian kurun tahun berdiri. Saya kebetulan juga jarang keep in touch dengan kolega dari perusahaan tersebut.

Apa prinsip Anda dalam menjalankan bisnis?

Ini mungkin klise, tetapi dalam menjalankan suatu bisnis saya sangat fokus, bahkan menjadi sebuah obsesi. “It’s more than just a job.”

Setelah Anda selesai di Telkom MDI, apa target selanjutnya untuk mendukung industri startup?

Saya memulai karier di M&A dan corporate development, dan keduanya converge ke dalam high tech startup investment. Rasanya setelah selesai nanti, saya akan terus berkecimpung di tech startup seperti sekarang. (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved