CEO Interview Editor's Choice

Rajawali Nusantara Indonesia Serius Masuk ke Bisnis Ritel

Rajawali Nusantara Indonesia Serius Masuk ke Bisnis Ritel

Sadar akan kekuatan sumber dayanya di bisnis distribusi dan eksistensinya selama ini sebagai produsen consumer goods, PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) masuk lebih jauh ke bisnis ritel dengan membuat jaringan toko modern bernama Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali. Hal ini dilakukan dengan mengolaborasikan RNI sebagai produsen gula, teh, dan akan memproduksi minyak goreng, dengan anak perusahaannya yang bergerak di bidang distribusi dan trading, PT Rajawali Nusindo dan kemudian masuk lebih jauh dengan membuat jaringan toko modern dengan sistem kemitraan.

Ismed Hasan Putro, Direktur Utama RNI, menyatakan bahwa pihaknya mau memberikan added value terhadap kondisi yang ada agar untung yang lebih banyak bisa diraih dibanding hanya menjual dengan cara curah atau partai besar. Lebih jelas mengenai alasan RNI masuk ke bisnis ritel dan rencana pengembangannya, berikut wawancara Denoan Rinaldi dengan Ismed Hasan Putro, pada 6 Maret 2013.

Ismed Hasan Putro, PT Rajawali Nusantara Indonesia, CEO, Interview

Ismed Hasan Putro

Bisa diceritakan mengenai bisnis ritel RNI, Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali?

Warung RNI didirikan 15 Januari 2013 di Bali. Didirikan di Bali karena Bali merupakan daerah internasional. Kami ingin membangun image di area wisatawan mancanegara dan wistawan lokal. Jadi, secara otomatis, dengan hadir di daerah itu maka terjadi percepatan sosialisasi dan promosi karena Bali merupakan daerah yang dikunjungi banyak wisatawan. Bali merupakan tempat promosi yang efektif untuk memperkenalkan Rajawali Mart.

Mengapa nekat membuat Rajawali Mart? Apa yang mendorong RNI masuk bisnis ritel?

Pertama, bisnis ritel ini bukan yang baru bagi RNI. Selama 30 tahun lebih, RNI sudah memiliki Rajawali Nusindo, anak perusahaan RNI yang bergerak di bidang distribusi dan trading di 48 provinsi, kota, dan kabupaten. Rajawali Nusindo ini mendistribusikan produk-produk consumer goods, alat kesehatan, dan obat-obatan dari perusahaan obat internasional yang belum memiliki jaringan distribusi. Selain itu, kami juga mendistribusikan produk-produk Unilever dan Philips yang sudah dilakukan puluhan tahun. Selama ini, jangkauan bisnis kami hanya sebatas distribusi (menjadi distributor) ke outlet. Saya tidak mau hanya sebegitu saja bisnis RNI. Saya mau memberikan added value terhadap kondisi yang ada. Itu landasan saya mengapa RNI saya bawa masuk ke bisnis ritel.

Kedua, RNI juga memproduksi gula, teh, dan akan memproduksi minyak goreng. Selama ini, produk-produk RNI ini hanya dijual melalui pedagang besar. Implikasinya, added value bagi RNI sangat tipis karena yang mendapat keuntungan besar adalah para pedagang besar. Bagi saya hal itu merugikan. Sebagai orang swasta, saya tidak berpikir seperti itu, mengambil jalan pintas dengan mengirimkan gula dalam jumlah puluhan atau ratusan ribu ton kepada “samurai” atau pedagang besar yang menguasai pasar gula. Itu merugikan. Tidak ada nilai tambahnya bagi RNI. Ketika saya masuk, semua bisnis RNI saya ubah. Saya membuat RNI langsung masuk, bukan hanya, ke produksi gulanya, tapi juga masuk ke trading gula hingga ke tingkat ritel. Hal itu dilakukan (dan didukung) karena RNI sudah memiliki jaringan di 48 provinsi, kota, dan kabupaten. RNI juga sudah memiliki jaringan outlet modern, yaitu modern mart yang sudah menjadi langganan kami seperti Giant, Hero, Indomart, Alfamart. Oleh karena itu, kami hanya tinggal menambah item produk yang didistribusikan. Kalau sebelumnya saya menjual gula ke pedagang besar dengan merek mereka, kali ini saya menjual gula dengan kemasan dan merek sendiri, yaitu Raja Gula. Saya sudah mulai menggunakan merek sendiri. Ketika bicara tentang mart atau Warung Rajawali, saya berani masuk ke bisnis ritel karena RNI memiliki infrastruktur SDM, jaringan di 48 provinsi-kota-kabupaten, dan pengalaman, di samping infrastruktur kantor cabang serta armada sebagai perusahaan distribusi. Jadi, setelah kami memiliki pengalaman sebagai distributor, maka kami maju selangkah lagi dengan masuk ke bisnis ritel.

Saya masuk ke bisnis ritel tidak dengan cara membeli bangunan tertentu untuk dijadikan minimart, tapi saya menyewa ruko selama 5-7 tahun. Dengan pola seperti ini investasinya tidak terlalu besar. Itu yang menjadi alasan saya berani masuk ke bisnis ritel, di samping karena SDM saya yang sangat memadai. Saya memiliki orang-orang yang pernah bekerja di Hero, Giant, Indomart. Orang-orang ini yang saya satukan dalam sebuah tim untuk membangun Rajawali Mart. Dalam waktu 1,5 bulan, berdirilah Rajawali Mart di Bali oleh 5 orang anggota tim.

Konsep bisnis ritel apa yang dikembangkan RNI?

Konsep Rajawali Mart yaitu akan tumbuh secara inklusif, bersama masyarakat, pedagang, UKM, dan warung-warung serta kedai yang ada di sekitar Rajawali Mart berada. Oleh karena itu, setiap outlet Rajawali Mart diwajibkan membangun kemitraan dan membina pedagang kecil, UKM, warung, kedai, dan yang lainnya agar mitra-mitra itu dapat dibantu melalui program kemitraan RNI dan BUMN lainnya. Bantuan bagi mitra itu berbentuk produk. Produk yang diberikan ke mitra yaitu gula, teh, kopi, garam, beras untuk dijual kembali dengan margin yang kami tentukan sendiri dan masa pembayaran selama dua minggu. Jadi, setelah mitra menerima produk, kami akan menagihnya dua minggu kemudian. Bisa juga mitra membayar lebih cepat dari dua minggu. Nilai rata-rata bantuan produk bagi warung atau toko yang akan kami dukung yaitu antara Rp 5 juta – Rp 20 juta per warungnya. Produk yang diberikan merupakan produk-produk BUMN, misalnya kopi dari PTPN 9 dan 12, air mineral dari Perhutani. Jadi, nantinya sebenarnya kami akan lebih ekspansif, bukan menunggu konsumen yang datang. Tapi kami bersinergi dengan warung, toko sembako, kedai, atau toko sembako yang ada untuk medukung kebutuhan mereka terhadap produk gula, teh, kopi, garam, minyak goreng, atau semacamnya. Jadi, produk-produk itu yang kami tawarkan kepada mitra binaan kami yang ada di sekitar Rajawali Mart atau Warung Rajawali berada.

Berarti program kemitraan ini bisa dikatakan sebagai strategi RNI untuk bersaing di tengah penuhnya sektor bisnis ritel ini?

Tidak begitu. Saya tidak menganggap sebagai pesaing. Saya menganggap pemain lain memiliki rezekinya sendiri. Saya juga membangun rezeki saya sendiri. Karena rezeki sudah diatur masing-masing oleh Tuhan. Jadi, kami tidak perlu khawatir rugi dengan adanya mart-mart yang sudah ada karena saya punya pasar, mekanisme, strategi, dan inovasi sendiri.

Berapa nilai investasi untuk buka bisnis ritel ini?

Untuk membuka satu outlet, rata-rata membutuhkan dana sekitar Rp 500 juta – Rp 1 miliar, bergantung pada besaran outlet-nya. Saat ini sudah ada 15 outlet di Bali. Yang sudah ada dan sedang disiapkan di Jakarta, ada 13 outlet. Jadi nantinya di tiap kota akan ada 10 – 15 outlet yang dimiliki RNI. Konsep nantinya, outlet yang kami miliki nantinya bisa dijual kembali kepada karyawan atau pihak-pihak yang berminat untuk franchise.

Kapan rencana franchise akan diwujudkan?

Pada Mei atau Juni rencana ini akan diwujudkan. Sudah banyak yang meminta, misalnya koperasi karyawan BUMN. Sudah sekitar 200 pihak yang minat terhadap Rajawali Mart. Kami juga akan buka di stasiun-stasiun kereta api. Kami sudah ada sinergi dengan PT KAI, Angkasa Pura I dan II, Hotel Indonesia, Aerowisata. Jadi, dalam lingkup BUMN yang memiliki akses pasar ke konsumen langsung, kami akan bekerja sama untuk membuka Rajawali Mart atau Warung Rajawali.

Target tahun 2013?

Target tahun ini akan dibuka sebanyak 500 outlet dengan komposisi 150 outlet dimiliki RNI dan selebihnya dimiliki oleh koperasi karyawan BUMN atau para pensiunan BUMN yang berminat memiliki bisnis mart. Sudah kami buat daftar yang berminat terhadap Rajawali Mart. Bahkan di lingkungan RNI sendiri sudah ada sekitar 100 orang yang berminat untuk memiliki Rajawali Mart. Jumlah ini masih tergolong kecil dibanding jumlah total karyawan RNI yang mencapai 15 ribuan karyawan. Artinya, untuk mengejar target sebanyak 500 outlet tahun ini, bisa direalisasikan.

Ismed Hasan Putro, PT Rajawali Nusantara Indonesia, CEO, Interview

Ismed Hasan Putro

Mengapa gunakan brand Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali?

Di beberapa daerah banyak mart yang sudah melakukan moratorium. Sementara, jika kami menggunakan nama “Waroeng”, kami diizinkan untuk berdiri. Di beberapa daerah, kami tidak mendapat izin untuk mart. Tapi kami diizinkan untuk konsep warung. Tidak ada konsep khusus terkait nama “warung”. Hanya nama saja. Itu alasan pertama.

Alasan kedua, di Waroeng Rajawali memang terdapat galeri khusus untuk produk BUMN. Tidak begitu di Rajawali Mart di mana tidak ada space khusus untuk adanya galeri produk BUMN. Intinya, pembedaan Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali merupakan bagian dari strategi untuk menyiasati moratorium franchise ritel. Bedanya juga, di Rajawali Mart tidak ada produk bahan-bahan pokok seperti garam, beras, minyak goreng, dan semacamnya. Untuk nilai investasi di Waroeng Rajawali sama saja dengan Rajawali Mart, berkisar antara Rp 500 juta – Rp 1 miliar per outlet.

Komposisi jumlah antara Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali akan sama. Kami akan buka Rajawali Mart sebanyak 150 outlet dan Waroeng Rajawali 150 outlet. Kemudian untuk publik, saya sudah minta izin ke Kementerian Perdagangan, sebanyak 2500 outlet untuk Rajawali Mart dan 2500 outlet untuk Waroeng Rajawali. Namun di beberapa daerah, sebelum keluar izin dari Kementerian Perdagangan, izin dari Pemda sudah keluar.

Bagaimana kinerja bisnisnya saat ini?

Masih belum terlihat. Baru Januari diluncurkan. Jadi untuk tahun ini saya masih mau mengejar target jumlah outlet, bukan target margin laba.

Berapa target revenue yang akan dihasilkan dari ritel ini?

Saya belum bisa memberi gambaran mengenai target revenue karena saat ini saya masih investasi untuk membuka sebanyak mungkin mart yang saya targetkan minimal 150 outlet untuk tahun ini. Lalu kami juga membuka peluang untuk franchise yang ditargetkan tahun ini bisa membuka minimal 350 outlet. Namun jangka panjangnya, 150 outlet yang dimiliki sendiri RNI, mungkin akan dialihkan untuk menjadi franchise. Jadi, tidak terlalu penting bagi RNI untuk memiliki outlet itu. Yang penting bagi RNI adalah terdapat outlet yang bisa menyalurkan langsung produknya kepada konsumen. Yang penting kami (RNI) mengelola langsung. Tapi tidak harus memiliki.

Ini adalah bagian dari komitmen RNI untuk menjadi lokomotif bagi produk-produk BUMN agar bisa dikenal konsumen secara langsung. Selain itu, Rajawali Mart dan Waroeng Rajawali merupakan terobosan dan inovasi bagi BUMN untuk masuk langsung ke persaingan di tingkat ritel, di mana selama ini BUMN alergi untuk masuk ke area ini karena tingkat persaingan yang tinggi dengan SDM yang tidak mumpuni. Namun kami tidak alergi dan kami mumpuni. Kami memiliki Rajawali Nusindo, anak perusahaan RNI yang memang bergerak di bidang trading dan distribusi. Jadi kami tidak butuh investasi baru. Kami sudah memiliki mobil, gudang, kantor, karyawan, pengalaman sendiri. Apalagi yang kurang?

Katanya RNI mau buat minyak goreng?

Ya, kami sedang menyiapkan feasibility study-nya. Mei atau Juni mau groundbreaking untuk pabrik minyak goreng di Palimanan, Jawa Barat. Kami juga akan membuka kawasan industri seluas 25 hektare (ha) pada tahap pertama, yang akan kami kembangkan menjadi 100 ha di Gempol, Jawa Barat. Di kawasan industri itu, pada tahap pertama, kami siapkan untuk industri packaging yang nantinya untuk mendukung kebutuhan RNI. Industri packaging ini merupakan bagian penguasaan hulu-hilir untuk mencukupi kebutuhan produk-produk RNI. Misalnya untuk produk gula, perusahaan obat Phapros, dan lainnya.

Di Jati Tujuh, kami juga tengah membangun rumah pemotongan hewan karena RNI juga beternak sapi. Jadi, nanti di tiap outlet Rajawali Mart akan ada produk daging sapi yang kami produksi.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved