Editor's Choice

Astrid Vasile, dari Patah Hati Jadi Pengusaha Properti

Astrid Vasile, dari Patah Hati Jadi Pengusaha Properti

Astrid Vasile adalah salah satu perempuan yang tahu bagaimana mengubah perasaan frustasi, patah hati, menjadi pemberdayaan diri. Pasca bercerai dengan seorang Presiden Direktur, dia nekat memulai kehidupan barunya di Australia tanpa modal, tanpa keahlian, namun akhirnya mampu menjadi pengusaha sukses.

Astrid VasileBerangkat dari keinginan yang kuat untuk melihat seluruh penjuru dunia, pada tahun 1984 Astrid bekerja sebagai pramugrari Garuda Indonesia. Selama lima tahun dia melanglang buana bersama Garuda sampai akhirnya dia jatuh cinta dan menikah dengan salah satu penumpang.

Setelah menikah, dia diminta untuk mengelola perusahaan persewaan pesawat milik suaminya, National Air Charter. “Orang-orang bilang jelas saja saya bisa jadi direktur karena gelar saya IPD alias istri presiden direktur,” kenang Astrid.

Tak ingin diremehkan seperti itu, perempuan kelahiran 25 Oktober 1961 ini kemudian memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Institut Bisnis Manajemen Jayakarta, mengambil program MBA. “Akhirnya setelah empat tahun sekolah gelar saya bukan IPD lagi melainkan MBA.”

Posisinya sebagai direktur perusahaan persewaan pesawat hanya bertahan selama tiga tahun. Pada 1992, pernikahannya gagal. “Perusahaan itu saya tinggalkan dan saya mendirikan sekolah penerbangan,” jelasnya.

Merasa patah hati dan kesal dengan mantan suami, Astrid memutuskan untuk mencari peruntungan di luar negeri. “Saya merasa sudah tidak bisa mengatur kehidupan saya lagi di Jakarta, saya patah hati, label janda di Indonesia juga tidak bagus, ya sudah saya terbang ke New Zeland di tahun 1994.”

Di sana Astrid tidak bisa mempertahankan kehidupannya seperti di Jakarta, setelah sekolah penerbangan ditutup, uangnya sudah habis.

“Anak saya satu, masih bayi dan saya tidak dikasih uang sepeserpun dari mantan suami saya yang presiden direktur itu. Saya harus bekerja keras, awalnya sangat tidak menyenangkan.”

Mulai dari bekerja sebagai tukang ketik, beres-beres arsip, sampai bersih-bersih kantor seperti cleaning service.

Kemudian di tahun 1998 dia memtuskan untuk pindah ke Australia, tepatnya di Perth. Setelah 7 tahun kerja serabutan, dia akhirnya bertemu pria asal Italia dan menikah.

“Saya melihat dia pekerja keras, masih muda. Pekerjaannya membangun rumah untuk dijual. Membeli tanah kemudian dia bangun. Karena pegawai mahal, maka semua dia kerjakan sendiri, saya kasihan dan membantu mencari klien,” ucapnya.

Hidup serba kekurangan membuat Astrid tergerak untuk menjadi pengusaha. “Suami saya selalu rugi, saya harus bergerak. Apalagi saya juga harus membantu keluarga saya di Indonesia.”

Kemudian dia berpikir apa yang menyebabkan usaha suaminya tidak pernah untung. Ternyata karena harus membayar tinggi ke Registered Builder. Biaya Registed Builder di sana mencapai Rp 5 miliar. Padahal jual rumah paling untung Rp 1 miliar.

“Di Indonesia tidak ada Registered Builder, di sana semua bangunan yang dari tanah harus ada Registered Builder-nya. Saya kemudian bertekad untuk menjadi Registered Builder, walaupun sekolahnya susah, harus menghitung-hitung, sedangkan saya lulusan sosial.

Selama empat tahun, dia bekerja sambil kuliah. Selama empat tahun itu sang suami membantu memasak, mengurus anak, dan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga.

Setelah lulus tahun 2004, Astrid mendirikan perusahaan baru yakni Ashridge Holding Pty Ltd. yang bergerak di bidang property developer, residental dan commercial project.

“Dari yang awalnya saya hanya membangun satu atau dua rumah, jadi puluhan, hingga kini ratusan rumah.”

Di Australia, bangunan diawasi langsung oleh Building Commission. Developer harus bertanggung jawab selama tujuh tahun. Bangunan tidak boleh retak, tidak boleh bocor, dll. “Di sana setelah serah kunci kami tidak bisa langsung lepas tanggung jawab. Kalau ada kesalahan, kami yang ditangkap, perusahaan ditutup, lisensi dicabut.”

Setelah berhasil mengerjakan ratusan proyek, kendala yang dihadapi Astrid adalah klian yang tidak membayar. Berdasarkan aturan di sana, setiap ada perselisihan antara builder dan klien, yang menjadi penengah adalah ajudicator.

Kemudian dia memutuskan untuk sekolah ajudicator, tepatnya sekitar tiga tahun lalu. Setelah lulus dia bergabung dengan Institute of Arbitrator and Mediators Australia. “Sebetulnya saya bisa dan berhak menengahi jika ada perselisihan antara klien dan builder, tapi kan awalnya saya sekolah ini untuk menghindari klien yang tidak membayar. Mungkin suatu saat kalau saya tidak jadi builder lagi, saja bisa beralih profesi sebagai ajudikacator.”

Karena sudah mengerti tentang aturan hukumnya, Astrid kini mengerti bagaimana membuat perjanjian dengan klien pembeli rumah agar pihaknya tidak dirugikan jika terjadi perselisihan.

Setelah bisnisnya semakin berkembang, pada tahun 2009 Astrid dinobatkan menjadi 2009 “Business Partner Of The Year” oleh Western Australian Housing Association. Mereka mencari semua bisnis partner yang bisa mengembangkan dari nol sampai berhasil. Mereka melihat Astrid, perempuan yang dari tukang bersih-bersih bisa menjadi Registed Builder.

“Kalau orang yang biasa-biasa seperti saya bisa diapresiasi, banyak perempuan-perempuan Indonesia yang lebih hebat dari saya yang tinggal di Australia. Saya kemudian mengajak mereka untuk melakukan apapun untuk membanggakan Indonesia. Kemudian kami membuat Australian-Indonesian Business Network, organisasi wadah perempuan Indonesia untuk lebih aktif di perekonomian.”

Menurut Astrid, pengorbanan terbesarnya adalah saat dia haris melepas kewarga negaraan Indonesia.”Anak saya meminta saya untuk melepas kewarga negaraan saya. Dia bilang: kalau ibu tidak menjadi warga negara Australia, saya tidak bisa bekerja di Royal Australian Air Force, karena saya pegang rahasia negara. Saya akhirnya memtuskan untuk pindah kewarganegaraan dan satu-satunya anak saya kini menjadi Aero Space Engineer di Royal Australian Air Force.” (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved