Listed Articles

Adu Jos Antangin vs. Tolak Angin

Oleh Admin
Adu Jos Antangin vs. Tolak Angin

Beberapa tahun lalu, kata-kata Basuki Srimulat untuk iklan Antangin sungguh mengena: ?Wes, ewes-ewes, bablas angine!? Iklan itu tidak hanya diingat banyak orang, tapi juga melambungkan produknya, kaplet obat anti-angin -? sekaligus meningkatkan popularitas Basuki. Bahkan kini, menurut Mulyo Rahardjo, Direktur Pengelola PT Deltomed Laboratories (DL), Antangin yang kini ditambah JRG di belakangnya, merupakan salah satu raksasa di kategori obat masuk angin sekaligus tulang punggung perusahaannya.

Kalau Antangin kuat sebagai obat anti-angin kaplet, lain halnya dengan Tolak Angin dari Sido Muncul (SM) yang mendominasi obat masuk angin (pre flu) cair. Walaupun tidak ada data pasti mengenai besaran pasar dan pertumbuhan obat masuk angin, Retna Widawati, Manajer Produk SM, mengakui, Tolak Angin merupakan salah satu produk SM yang pertumbuhannya paling besar dalam beberapa tahun terakhir. ?Kontribusi Tolak Angin terhadap total pendapatan SM termasuk yang terbesar,? kata Wiwied, panggilan dekat Retna, tanpa bersedia menyebutkan angka pastinya.

Keberadaan Tolak Angin jelas lebih awal ketimbang Antangin. Cikal bakal Tolak Angin adalah ramuan jamu masuk angin yang dibuat oleh Rahmat Sulistio, pendiri SM, pada 1930 — masih dalam bentuk butiran yang harus diseduh sebelum diminum. Sementara itu, Antangin baru muncul pada tahun 1970-an. Itu pun masih bernama Antingin dan belum digarap secara benar. Barulah pada 1997, bersamaan dengan pembaruan manajemen DL, Antangin ditangani secara serius. Dengan perbaikan pada kemasan yang dibuat menjadi lebih modern dan didukung komunikasi pemasaran yang cukup agresif, Antangin cepat diterima pasar. “Reaksi pasar sungguh sangat mengejutkan,” ujar Mulyo bangga.

Sarjana pemasaran dari Universitas Radford di Virginia, Amerika Serikat ini mengungkapkan, ketika DL mengiklankan Antangin, banyak stasiun televisi yang memberikan diskon karena krisis moneter. Waktu itu, DL bisa mendapatkan bonus 50%-70% dari jumlah frekuensi yang dipasang. Akibatnya, dengan biaya yang sama, Antangin bisa mendapat jatah iklan lebih banyak di TV. Akibatnya lagi, iklan Antangin terlihat menonjol.

Mulyo mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat Antangin dapat cepat diterima pasar. Pertama, Antangin adalah satu-satunya obat masuk angin berbentuk kaplet, sehingga lebih praktis dan lebih mudah diterima oleh konsumen karena relatif tidak memiliki rasa atau bau. Kedua, kompetisi obat masuk angin pun tak terlalu ketat, dan praktis hanya DL dan SM yang beriklan. Itu pun, SM lebih fokus memasarkan Tolak Angin cair.

Jadi, baik Tolak Angin maupun Antangin sudah lama berdampingan di pasar. Meskipun target pasarnya sama, spesifikasi masing-masing berbeda. Pernah pada 1998 SM mencoba meluncurkan Tolak Angin berbentuk kaplet. Bahkan, saat itu SM pun cukup gencar mengiklankan Tolak Angin kaplet dengan menggunakan Doyok sebagai endorser. Namun, usaha itu tidak berhasil.

Hal itu tidak membuat SM patah arang. Yang mereka lakukan, memperkokoh dominasi Tolak Angin cair dengan merambah segmen atas. Menurut Wiwied, berdasarkan hasil survei, Tolak Angin cair dapat tumbuh stabil dan mulai dapat diterima kalangan menengah-atas, baik rasa maupun khasiatnya. “Akhirnya, kami memindahkan alokasi bujet dari kaplet kembali ke cair,” ungkapnya.

Per Juli 1999 SM mengubah strategi komunikasinya. SM mengganti bintang-bintang iklannya yang lebih menyasar segmen menengah-bawah seperti Doyok dan Ike Nurjanah, dengan Sophia Latjuba yang, berdasarkan hasil survei yang dilakukan SM, dianggap dapat diterima oleh semua kalangan, baik atas maupun bawah. Selain itu, Sophia juga merupakan sosok wanita Indo yang pasti modern. “Harus diakui, kultur orang Indonesia masih sangat western minded,” katanya. Namun, agar kalangan menengah-bawah yang merupakan pasar terbesar produk ini tidak kaget, iklan pun dibuat sederhana.

Konsep iklan lalu ikut diubah. Jika sebelumnya iklan-iklan Tolak Angin lebih bertema lelucon, diubah dengan mulai menampilkan modernisasi pabrik dan informasi bahwa produk Tolak Angin juga ada di luar negeri. “Diharapkan konsumen semakin yakin akan khasiat dan higienitas produk ini,” ujarnya lagi.

Untuk semakin merangkul kalangan menengah-atas, SM kembali menyempurnakan strategi komunikasi dengan meluncurkan tema ?orang pintar?. Sejak itu, berturut-turut SM menggunakan Rhenald Kasali, Wynne Prakusya dan Setiawan Djody — dengan tetap mempertahankan Sophia — sebagai bintang iklan. SM menganggap figur-figur tersebut merupakan orang pintar di bidang masing-masing.

Berbeda dari SM yang mencoba membongkar karakter produknya, DL tetap mempertahankan konsep awal sebagai produk menengah yang dekat dengan khalayak luas. Sosok Basuki dipertahankan. Alasannya sederhana. “Figur Basuki sangat sesuai dengan target pasar kami,” ungkap Mulyo. Namun, untuk menjangkau segmen nontradisional, DL tetap meluncurkan iklan dengan versi yang lebih modern.

Menurut Darmadi Durianto, pengamat pemasaran yang juga Chief Operational Officer IBiI Consulting, jika dilihat dari strategi komunikasinya, Antangin fokus membidik segmen menengah-bawah, sedangkan Tolak Angin seperti ingin diposisikan lebih tinggi. Karena itu, Darmadi mempertanyakan strategi komunikasi SM. “Pasar terbesar kategori obat masuk angin berada di kalangan menengah-bawah,” ujarnya. Adapun yang dilakukan SM, mencoba menunjukkan bahwa produknya dapat diterima kalangan menengah-atas, yang menurutnya jarang sekali mengonsumsi obat jenis ini. Kalaupun mereka merasakan gejala yang sama dengan masuk angin, mereka langsung ke dokter. “Ilmu kedokteran tidak mengenal istilah masuk angin,” tambahnya. Darmadi menilai strategi komunikasi DL jauh lebih mengena. Terlebih sosok Basuki juga sangat cocok memainkan perannya sebagai endorser produk ini.

Wiwied menampik pendapat Darmadi. Walau tidak memiliki angka pasti, ia mengungkapkan bahwa SM cukup banyak mendapatkan konsumen baru, terutama dari kalangan menengah-atas. “Perubahan komunikasi yang kami lakukan cukup diterima oleh kalangan menengah-atas,” ujarnya.

Selain memperbaiki strategi komunikasi, SM juga memperbaiki jalur distribusi. Jika sebelumnya lebih fokus pada gerai tradisional dan pedagang jamu seduh, kini mereka juga mulai menggarap pasar modern dan apotek secara benar. Selain tetap mengandalkan PT Muncul Mekar — anak perusahaan SM — mereka juga bekerja sama dengan PT Kebayoran Farma untuk menggarap pasar apotek dan toko obat. “Tahun pertama, penjualan kami melonjak sampai 100%,” kata Wiwied.

Tahun 2001, SM mencoba melebarkan pasarnya ke komunitas Cina. “Komunitas Chinesse sebenarnya juga terbiasa dengan jamu. Hanya, jamu yang mereka minum adalah jamu-jamuan dari Cina,” tuturnya. Untuk itu, SM memilih Wynne Prakusya sebagai bintang iklan yang mewakili keluarga Cina yang sudah lama tinggal di Indonesia dan telah terbiasa dengan tradisi Indonesia. Bahkan, karena sangat serius menggarap pasar Cina, SM membuat iklan versi bahasa Mandarin yang ditayangkan pada program-program berbahasa Mandarin, seperti Metro Xin Wen, atau yang kental dengan aroma Mandarin seperti serial Meteor Garden.

SM memang terlihat agresif mengomunikasikan produknya. Data Nielsen Media Research menyebutkan selama 2002 SM menghabiskan Rp 23 miliar untuk berpromosi di berbagai media. Sampai Juni 2003, mereka telah menghabiskan lebih dari Rp 8 miliar untuk hal yang sama. “Kami menganggarkan 12,5%-15% dari total penjualan untuk biaya promosi,” ungkap Wiwied.

Melihat agresivitas SM, DL pun tidak tinggal diam. Meski jumlah yang dikeluarkan tak sebesar SM, DL juga agresif beriklan. Masih menurut data Nielsen Media Research, tahun 2002 DL menghabiskan Rp 13,8 miliar untuk beriklan di berbagai media. Tahun ini, angkanya diperkirakan lebih besar lagi. Sampai Juni 2003, DL telah merogoh kocek Rp 7,28 miliar untuk mempromosikan produknya.

Selain itu, sistem distribusi juga tak lepas dari perhatian DL. Tahun 2001, DL memperbaiki sistem distribusinya. Mulyo menjelaskan, sebelumnya mereka hanya menggunakan multi-agen. Sekarang mereka menggunakan distributor bertaraf nasional, Dos Ni Roha. “Tujuannya, supaya ketersediaan produknya tak hanya lokal tapi juga nasional,” jelasnya.

Setelah merasa cukup berhasil dengan Antangin dalam bentuk kaplet, tahun ini DL mulai mengincar pasar yang lebih luas lagi. Sejak Januari 2003, DL meluncurkan Antangin cair. Sejak April lalu, DL pun mulai mengikutsertakan Antangin cair dalam setiap iklan Antangin. Basuki yang dianggap berhasil mengangkat pamor produk ini tetap dipertahankan sebagai endorser. Untuk menunjukkan peluncuran varian baru produknya, DL menduetkan Basuki dengan Peggy Melatisukma. Dengan peluncuran ini, maka Antangin menyasar persaingan head to head dengan Tolak Angin yang notabene memegang pasar yang kuat di obat masuk angin cair. Harga yang dipatok pun sama, Rp 1.200/sachet.

Kendati demikian, Mulyo menolak jika dikatakan bahwa peluncuran Antangin cair merupakan tantangan langsung DL terhadap SM. “Kami melihat pasar obat masuk angin cair juga memiliki potensi yang besar. Lagi pula, posisi kami pada kategori kaplet sudah cukup aman,” ungkapnya.

Langkah DL dengan meluncurkan Antangin cair ini menurut Darmadi merupakan respons yang sangat baik, karena masih ada celah yang bisa mereka manfaatkan di kategori cair. Lagi pula, strategi komunikasi SM yang lebih fokus pada segmen menengah-atas sama saja dengan mempersempit pasar mereka sendiri. “Segmen yang bisa terbawa dalam propaganda yang dilakukan Tolak Angin tidak terlalu banyak jika dibanding Antangin,” ujarnya.

Kini rasa percaya diri DL semakin besar. Pada ajang Indonesian Customer Satisfaction Award baru-baru ini, Antangin JRG berhasil menyabet penghargaan sebagai produk yang paling memuaskan di kategori obat masuk angin dengan menyingkirkan Tolak Angin. “Penghargaan ini jelas merupakan bukti bahwa Antangin dapat diterima oleh konsumen,” ujar Mulyo.

Namun demikian, DL tidak lantas berpuas diri. Mulyo menyebutkan, DL akan konsisten meningkatkan kepuasan pelanggannya, dari sisi kualitas produk, harga dan pelayanan. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini DL kembali menargetkan pertumbuhan penjualan sebesar 35%.

SM tidak kalah pede. Dengan kelengkapan varian produknya, — cair, serbuk dan kaplet — SM yakin akan tetap berjaya di pasar obat masuk angin. “Komunitas yang menikmati ritual minum jamu masih cukup besar,” kata Wiwied seraya menyebutkan, kontribusi Tolak Angin serbuk menyentuh angka 30% dari total penjualan kategori jamu masuk angin di SM. Ia optimistis, target pertumbuhan sebesar 20% tahun ini bakal tercapai.

Riset: Vika Octavia.

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved