Listed Articles

Ini 5 Alasan INDEF Ragukan RAPBN 2013

Oleh Admin
Ini 5 Alasan INDEF Ragukan RAPBN 2013

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) meragukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2013 bisa menyelesaikan masalah pengangguran, kemiskinan hingga kemerosotan industri. Ada lima alasan yang menjadi dasar lembaga ini menyimpulkan hal itu.

Pertama, ekonomi yang lebih besar pasak daripada tiang. Maksudnya, peningkatan belanja negara lebih tinggi ketimbang peningkatan pendapatan. “Bila dilihat dalam lima tahun terakhir, tahun 2007-2013, rata-rata pendapatan negara hanya meningkat sebesar 10,92 persen, sementara rata-rata belanja negara hampir 15 persen,” sebut Enny Sri Hartati, Direktur Eksekutif INDEF, dalam sebuah diskusi yang bertajuk “RAPBN 2013: Warisan Buruk untuk Pemerintah yang Akan Datang,” di Jakarta, Selasa (16/10/2012).

Kian membengkaknya subsidi bahan bakar minyak (BBM) menjadi alasan yang kedua. Tahun depan, Pemerintah mematok anggaran subsidi BBM sebesar Rp 193,8 triliun. Ada kenaikan Rp 56,4 triliun dari APBN-Perubahan tahun ini. Dengan begitu, anggaran subsidi mempunyai porsi sebanyak 11,7 persen dari total belanja negara.

Ia pun berpendapat, dengan besarnya anggaran subsidi BBM maka alokasi anggaran untuk investasi tidak mendapat porsi yang proporsional. Seharusnya, lanjut dia, Pemerintah berusaha menggenjot pemakaian sumber energi lainnya sebagai bahan bakar. “Besarnya konsumsi karena menggantungkan konsumsi kepada BBM (saja),” sebutnya.

Alasan ketiga adalah kian menumpuknya utang Pemerintah. Per akhir Juni lalu, posisi outstanding utang Pemerintah telah mencapai Rp 1.938,6 triliun. Sementara tahun depan, Pemerintah menetapkan adanya defisit anggaran Rp 150,2 triliun. Defisit ini ditutupi melalui utang baru.

Menurut Enny, utang tersebut tidak digunakan secara maksimal. Penyerapan utang luar negeri setiap tahun hanya sekitar 71,2 persen. Pada tahun ini, masih ada Rp 157,9 triliun utang luar negeri yang belum terserap. Utang pun digunakan untuk hal yang sia-sia yakni untuk membayar subsidi dan biaya birokrasi. Oleh sebab itu, ia menegaskan, “Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan utang belum dilakukan secara efektif dan efisien.”

Dana transfer daerah yang tidak efisien menjadi alasan yang keempat. Peningkatan dana ini tidak diikuti dengan membaiknya kesejahteraan masyarakat daerah. Dana ini malah banyak tersedot untuk belanja pegawai. Enny memaparkan, belanja pegawai di seluruh provinsi hingga tingkat kabupaten dan kota mempunyai porsi 42,3 persen dalam APBNP 2012.

Terakhir, INDEF pun menyoroti masalah infrastruktur yang mandeg. Ini ditunjukkan oleh kondisi infrastruktur Indonesia yang berada di peringkat ke-78 menurut laporan World Economic Forum. Capaian itu lebih buruk ketimbang Singapura (peringkat ke-2), Malaysia (32), dan Thailand (46). Terhadap hal ini, pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Muliadi Widjaja, pun berpandangan bahwa APBN seharusnya bisa meningkatkan kondisi infrastruktur. Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi pun menjadi berkualitas. “APBN itu harus mampu untuk memperluas lapangan kerja yang formal dan menumbuhkan infrastruktur fisik,” tegas Muliadi. (Ester Meryana)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved