Perjuangan Usaha Kecil Baru

Perjuangan Usaha Kecil Baru

Minggu lalu, saya terlibat dalam penjurian salah satu program Indonesia Business Links (IBL), yaitu Young Entrepreneurs Start-Up Awards (YES). Ini merupakan program pencarian dan pembinaan para pengusaha baru dari Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Dengan iming-iming hadiah Rp 25 juta rupiah untuk masing-masing lima pemenang utama, para pengusaha muda ini memiliki kesempatan lebih dari cukup untuk dapat mengembangkan bisnisnya.

Proses seleksi yang dimulai sejak Januari 2006 menghasilkan 1.447 profil bisnis pengusaha muda. Jumlah tersebut menunjukkan cukup besarnya minat mereka untuk mengembangkan diri dan diakui secara profesional. Tentu, persaingan menjadi lebih berat saat mereka harus memenuhi persyaratan utama melalui paper screening, dengan menilik apakah usaha tersebut merupakan bisnis dari pemilik berumur 18-32 tahun dan telah berjalan maksimum dua tahun. Dari hasil seleksi, akhirnya hanya lolos 87 profil bisnis. Mereka inilah yang diberi kesempatan mengelaborasi keterangan usaha mereka melalui perencanaan bisnis (business plan). Seperti upaya survival of the fittest, akhirnya hanya 26 pengusaha yang memasukkan perencanaan bisnis, sedangkan 61 usaha lainnya harus menelan kekalahan pahit sebelum berjuang di meja pertandingan utama.

Akhirnya, ke-26 pengusaha muda tersebut melalui tahapan wawancara mendalam di hadapan panel juri dari daerah masing-masing. Jurinya adalah para pengusaha daerah yang cukup berhasil dan merupakan tokoh panutan di tiga kota tersebut. Mereka, antara lain, pemilik C59 (manufaktur kaus dari Bandung), Dagadu (desainer T-shirt Yogya), Bakso Gres (ritel makanan dari Yogya) dan Edam Burger (pengelola waralaba burger dari Jakarta). Apa yang menarik dari para juri ini? Ternyata, sebagian dari mereka adalah alumni Enterprise-50 (program bersama Majalah SWA dan Accenture dari tahun 1999). Alhasil, paling tidak kredibilitas juri tidak diragukan. Mereka inilah yang memilih 8 finalis untuk dinilai kembali oleh panel juri yang terdiri dari para pemimpin perusahaan, yaitu dari Shell, Merryl-Lynch, IFC dan Accenture (saya).

Dari pengalaman menjadi juri bagi 8 finalis, terdapat satu akar yang mereka miliki: sebuah proposisi nilai (value proposition). Walau ketentuan panitia adalah memfokuskan pada business plan yang mereka ajukan, terutama pada keberlanjutan (sustainability) serta dampak sosial-ekonomi dan manajemen keuangan, terdapat satu garis merah bahwa mereka ingin berusaha dapat menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat tempat mereka beroperasi. Para pengusaha yang masuk final memiliki usaha yang cukup beragam dan bisa dikatakan bukan usaha muluk-muluk: pertanian jamur, tambak udang dan kepiting, laundry, gerai voucher telepon seluler, event organizer dan jasa teknologi informasi. Namun dari semua kesederhanaan itu, ketika saya mengajukan pertanyaan “Mengapa Anda terjun di dalam usaha ini?”, sebagian besar mengatakan, ingin memberi kesempatan bagi penduduk lokal untuk juga berusaha. Sebuah misi yang sangat dibutuhkan di saat lapangan kerja semakin sulit bagi rakyat kecil.

Misi tersebut tentu tak lepas dari passion yang mereka miliki. Sebab tanpa rasa mendalam untuk menjalankan usaha itu, usaha mereka akan biasa-biasa saja. Passion sangat penting bagi usaha skala apa pun, dan sebaiknya tidak hanya menjadi perilaku pemilik usaha. Pegawai/pekerja yang memiliki rasa yang sama dengan pemiliknya bakal membuat usaha semakin memiliki kinerja yang lebih tinggi. Karena, dinamika berkarya bukan dari one-man show, melainkan dari partisipasi pegawai. Keuntungan usaha yang baru saja berdiri adalah memulai passion dari awal. Lihat saja, Microsoft atau MacIntosh yang memulai usaha dari garasi dengan hanya 2-3 orang. Namun dengan passion yang mendalam, mereka berkembang dan menjadi salah satu pelaku kontribusi sosial.

Hanya ada satu catatan kecil dari saya. Walau kelihatan cukup berhasil dengan usaha sederhana mereka, selalu ada satu masalah yang mengganjal: terbatasnya akses ke pendanaan. Tanpa agunan yang sesuai dengan nilai pinjaman yang mereka butuhkan, pasti sulit bagi usaha kecil (dan baru beroperasi) mendapatkan suntikan modal. Program YES-IBL ini sebenarnya juga memberi arahan untuk mendapatkan pinjaman dari Standard Chartered Bank, sehingga para pengusaha baru dapat belajar bertanggung jawab atas aliran dana dari mereka. Ini adalah upaya jangka panjang. Untuk jangka pendeknya, tentu hadiah yang mereka peroleh dari penghargaan itu bak durian runtuh. Yang membuat saya berdecak kagum adalah semangat para pengusaha muda ini untuk dapat memanfaatkan dana tersebut.

Sebagai contoh, usaha-usaha dari Yogya. Fanindo Multifarm, usaha di bidang pengembangbiakan jamur untuk dimakan, membayangkan dana tersebut bisa meningkatkan kapasitas produksi empat kali lipat sehingga dapat memenuhi permintaan pasar dan mengembangkan usaha ritel mereka. Adapun CUCIANexpress memperhitungkan dapat membuka dua gerai laundry baru, dengan pembelian mesin cuci dan sepeda motor untuk jasa mengantar.

Contoh-contoh inilah yang menunjukkan keuletan yang dimikili para pengusaha kecil (muda) kita: start simple, be passionate, and still manage to contribute to the social surrounding.

# Tag