Column

Fenomena Kesalahan Penilaian Kinerja

Oleh Admin
Fenomena Kesalahan Penilaian Kinerja

Memasuki akhir tahun, pelaku bisnis biasanya disibukkan dengan tiga aktivitas utama. Menggenjot mesin organisasinya lebih kuat untuk mencapai target; Menyusun perencanaan bisnis untuk tahun depan; Mengukur capaian perusahaan di akhir tahun. Aktivitas yang terakhir disebut menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya, karena selain kepentingan perusahaan untuk dapat mengevaluasi pencapaiannya, juga karena aktivitas ini merupakan sesuatu yang sensitif bagi karyawan perusahaan.

Achmad Fahrozi M.M. – Konsultan, Jasa Pengembangan Organisasi | PPM Manajemen
Achmad Fahrozi M.M., Konsultan, PPM Manajemen

Jangan heran, karyawan mulai harap-harap cemas jelang libur natal dan tahun baru. “Kira-kira tahun ini ada bonus gak ya?” pertanyaan seperti ini biasanya muncul di benak atau dalam obrolan ringan sesama rekan kerja. Bahkan tidak sedikit karyawan yang tanpa malu bertanya langsung kepada bagian keuangan tentang pencapaian perusahaan, dengan harapan dapat kabar ‘surga’ perihal bonus.

Pada dasarnya, pengukuran atau penilaian kinerja bagi organisasi setidaknya memiliki tiga tujuan. Yakni, performance review, di mana perusahaan dapat membandingkan antara target dan realisasi sehingga dapat diketahui capaian selama satu tahun. Pada akhirnya dapat diketahui juga perubahan pada nilai perusahaan.

Lalu potential review, dimana perusahaan dapat melihat potensi SDM yang dimilikinya di masa mendatang. Potential review menjawab pertanyaan, karyawan mana yang layak dipromosikan dan dikembangkan. Dan, yang terakhir adalah reward review, di mana perusahaan dapat memberikan apresiasi dan motivasi bagi karyawan secara objektif melalui penilaian kinerja agar dapat berkontribusi lebih baik lagi ke depannya. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti bonus, insentif, kenaikan gaji dan lainnya. Inilah yang sering ditunggu-tunggu karyawan.

Mengingat betapa pentingnya penilaian kinerja, maka perusahaan harus memastikan bahwa sistem penilaian kinerjanya andal. Penilaian kinerja harus praktis, terukur dan objektif mengukur dengan tepat siapa saja karyawan yang masuk kategori Excellent, Good, Average dan Poor. Dengan demikian perusahaan lebih tepat sasaran dalam memberikan reward dan punishment bagi karyawannya.

Dalam membangun sistem penilaian karya yang objektif memang bergantung dari beberapa hal, sebut saja metode penilaian yang digunakan, sumber data dan informasi penilaian, kepraktisan penilaian dan proses penilaian oleh penilai itu sendiri. Salah satu yang sering jadi keluhan karyawan dalam penilaian kinerja adalah proses penilaian yang dilakukan oleh penilai. Biasanya penilai bisa dari atasan, atasan dari atasan, rekan kerja ataupun pelanggannya langsung.

Karyawan merasa bahwa dirinya dinilai tidak cukup adil oleh penilai. Dampaknya adalah selain menurunnya motivasi karyawan, juga berdampak pada merenggangnya hubungan karyawan dengan penilai, khususnya dengan atasan. Untuk jangka panjang ini akan merugikan perusahaan, karena bisa berdampak pada terciptanya lingkungan kerja yang tidak harmonis yang berujung pada keluarnya karyawan potensial.

Kondisi tersebut bisa saja terjadi karena adanya fenomena kesalahan penilai (rater errors) yang menghambat proses penilaian kinerja menjadi lebih objektif (Noe, et al., 2012), yaitu :

Hallo Effect

Fenomena ini muncul di mana penilai memberikan nilai yang tinggi pada semua aspek kinerja karena impresi positif yang mampu ditampilkan karyawan. Impresi yang diberikan bisa bersumber dari berbagai macam seperti: perilaku sehari-hari yang ditampilkan, hasil kerja yang ditunjukkan, cara berpakaian dan lain-lain.

Horns Effect

Fenomena ini berkebalikan dengan hallo effect, di mana penilai memberikan nilai yang rendah pada semua aspek kinerja karena impresi negatif yang ditampilkan karyawan.

Central Tendency

Fenomena ini muncul di mana penilai cenderung memberikan nilai tengah atau rata-rata pada seluruh karyawan. Biasanya ini terjadi pada penilai yang suka bermain aman atau tidak memahami kinerja bawahan sesungguhnya. Penilai menghindari konflik yang mungkin terjadi jika memberikan nilai buruk. Penilai juga tidak memahami kerja bawahan sebenarnya sehingga tidak mampu memberikan nilai baik.

Strictness & Leniency

Fenomena ini muncul di mana penilai memiliki kecenderungan untuk selalu menilai rendah atau selalu menilai tinggi pada seluruh karyawan. Ada atasan yang cenderung pelit nilai dan ada yang royal nilai. Ada atasan yang selalu cenderung memberikan nilai kepada seluruh anggota timnya minimal 90, padahal kinerjanya jauh dari kata baik. Namun, ada atasan yang memberikan nilai kepada timnya paling tinggi 85 padahal kinerjanya bagus.

Similar to Me

Fenomena ini terjadi di mana penilai memiliki kecenderungan untuk memberikan nilai bagus pada karyawan yang memiliki kesamaan dengan dirinya baik kesamaan suku, gender, agama, ras, latar belakang pendidikan, pandangan hidup, pandangan politik dan lainnya.

Contrast

Fenomena ini terjadi di mana penilai memberikan penilaian dengan membandingkan terhadap sesuatu yang ekstrim. Fenomena ini biasanya terjadi karena penilai sudah memiliki satu kondisi ideal atau satu profil karyawan tertentu yang dianggap kinerjanya paling ideal. Tanpa melihat standar kinerja yang ditetapkan bagi karyawan, penilai langsung memberikan penilaian timnya dengan membandingkannya terhadap hal-hal di atas.

Dalam upaya menghindari fenomena di atas, maka diperlukan beberapa solusi yang dapat dilakukan, yaitu pertama bisa dengan memberikan pelatihan kepada penilai. Penilai perlu diberikan pengetahuan dan keterampilan dalam memberikan penilaian yang tepat. Jelaskan fenomena yang dapat menghambat proses penilaian kinerja.

Berikan kesempatan kepada penilai untuk mengevaluasi diri (self assessment) fenomena mana yang sering muncul ketika akan memberikan penilaian. Apa tanda-tandanya jika fenomena tersebut muncul, kemudian bersama dapat mendiskusikan cara untuk menghilangkannya. Semakin baik jika dilakukan dengan simulasi.

Perlu juga memberikan penjelasan kepada penilai bahwa peran penilaian kinerja sangat penting dan menentukan masa depan karyawan. Karena berdampak pada perilaku dan motivasi karyawan. Jika karyawan kinerjanya bagus, namun dinilai buruk, dia akan demotivasi. Sebaliknya jika karyawan kinerjanya buruk, namun dinilai baik, dia tidak akan termotivasi.

Kemudian yang kedua adalah menentukan ukuran kinerja yang terukur. Umumnya dalam perusahaan ada dua ukuran kinerja, yaitu Key Performance Indicator (KPI) dan Key Behavioral Indicator (KBI). Buatlah dua ukuran di atas menjadi lebih terukur. KPI dibuat kuantitatif ketimbang kualitatif. Bagi perusahaan yang sudah mengadopsi Balanced Score Card (BSC) mungkin sudah dapat dipastikan bahwa ukuran kinerjanya sudah kuantitatif. Namun, bukan berarti tanpa BSC kita tidak bisa membuat ukuran yang kuantitatif.

Dari pengalaman penulis memberikan jasa konsultansi, masih ditemukan ukuran KPI yang bersifat kualitatif. Padahal pengukuran KPI secara kuantitatif lebih mudah dilakukan asalkan perusahaan berkemauan untuk membangun sumber data penilaian kinerja.

Untuk KBI, memang sejauh ini masih bersifat kualitatif. Namun, sebaiknya ukuran penilaian KBI dibuat spesifik mungkin untuk menggambarkan perilaku yang akan dinilai. Buatlah indikator-indikator perilaku yang dapat diobservasi (observable behavior). Sebagai contoh, lebih baik menggunakan indikator perilaku ‘karyawan yang bersangkutan menyelesaikan laporan penjualan H-1 dari waktu yang ditetapkan’ ketimbang menggunakan indikator ‘karyawan yang bersangkutan sangat rajin’.

Penilai akan lebih mudah mengobservasi indikator perilaku yang pertama, karena menggambarkan perilaku yang lebih spesifik dan terukur. Sementara ‘sangat rajin’ akan multitafsir dan membingungkan penilai.

Lalu yang ketiga, berikan umpan balik hasil penilaian kinerja kepada karyawan. Berikan kesempatan yang cukup bagi karyawan untuk berkomunikasi dua arah kepada penilai. Karyawan diperbolehkan bertanya dan berdiskusi perihal hasil kerjanya. Penilai tidak perlu khawatir akan pertanyaan macam-macam yang akan timbul dari karyawan. Ketika penilai memiliki bukti-bukti yang cukup dalam mendukung penilaiannya, pada akhirnya karyawan akan menerima. Oleh karena itu, penting bagi penilai untuk memiliki bukti-bukti atau data-data pendukung penilaiannya.

Ruang keterbukaan bagi penilai dan karyawan menjadi penting selain untuk mengukuhkan prestasi (positif reinforcement) bagi karyawan yang sudah berprestasi baik, juga sebagai sarana untuk mengidentifikasi area pengembangan (area of improvement) bagi karyawan yang kinerjanya masih belum sesuai harapan perusahaan.

Pada akhirnya, penilaian kinerja merupakan sebuah proses penting yang harus dilakukan dengan baik. Semakin optimal penilaian kinerja maka semakin optimal pula kemajuan organisasi. Bagaimana dengan gaya Anda ? Selamat berefleksi!

Oleh : Achmad Fahrozi M.M. – Konsultan, Jasa Pengembangan Organisasi | PPM Manajemen


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved