Column

Publikasi CEO Mewakili Perusahaan

Oleh Admin
Publikasi CEO Mewakili Perusahaan

CEO bukanlah selebriti atau politikus yang membutuhkan publikasi besar-besaran. Mereka pun tidak memerlukan dukungan publik secara langsung untuk terpilih menjadi CEO. CEO juga tidak perlu memasarkan diri ke masyarakat luas untuk membuat produk atau jasa perusahaannya laris manis. Tetapi, seorang CEO tetap membutuhkan publikasi, karena CEO adalah wakil perusahaan.

Ramelan M.M. – Faculty Member PPM School of Management, PPM Manajemen

Ramelan M.M. – Faculty Member PPM School of Management, PPM Manajemen

Ada banyak pilihan untuk mempublikasikan diri. Cara paling murah adalah dengan menulis di blog. Di blog pemimpin perusahaan dapat menuangkan pemikiran, gagasan, pandangan, pengalaman, baik mengenai dunia kerjanya maupun di luar itu. Dengan menulis blog, CEO berkomuniksi dengan orang-orang yang dipimpinnya, maupun dengan masyarakat luas.

CEO juga dapat menulis artikel di majalah atau surat kabar cetak maupun online. Akan sangat baik, jika CEO memiliki kolom khusus yang diisi secara teratur. Di sini CEO perlu menuangkan pemikirannya secara lebih serius. CEO juga harus menetapkan positioning-nya sebagai ‘ahli’ dalam bidang tetentu. CEO yang memimpin perusahaan kosmetik, layak menulis mengenai kecantikan , kesehatan, dan kosmetik.

CEO perusahaan distribusi, memliki ‘hak’ untuk menulis mengenai pemasaran, supply-chain, distribusi, atau logistik. Apa boleh CEO menulis di luar bidang industrinya? Bisa, tetapi harus tetap dalam bidang profesinya. Tidak ada salahnya pemimpin perusahaan telekomuniksi menulis mengenai kepemimpinan, karena profesinya memang memimpin.

Berikutnya, dan ini yang dampaknya sangat besar, CEO menulis buku. Berbeda dengan menulis artikel atau blog yang bisa dilakukan ‘sambil lalu’, menulis buku memerlukan investasi waktu, dan juga tenaga. Selain halamannya yang banyak, penulisan buku yang bermutu memerlukan riset, paling tidak desk research. Menulis buku memerlukan nafas yang panjang.

Mengapa buku?

Buku berbeda dengan artikel, dapat menjadi media untuk menyampaikan gagasan secara lengkap. Oleh karena itu, beberapa CEO memanfaatkan buku untuk mengkomunikasikan gagasannya kepada karyawannya yang tersebar. Ignatius Jonan, sewaktu menjabat sebagai Direktur Utama PT Kereta Api Indonesia, memanfaatkan buku Jonan dan Evolusi PT Kereta Api Indonesia untuk mengkomunikasikan arah perusahaan yang dipimpinnya kepada seluruh karyawan PT Kereta Api Indonesia yang tersebar di Daop (Daerah Operasi). Untuk karyawannya, Jonan juga membagikan tulisan ‘Inovasi Menyelamatkan PT Kereta Api’ dalam buku Inovasi Perusahaan Indonesia.

Buku juga merupakan sebuah dokumen penting mengenai pemikiran dan praktik manajerial di perusahaan. Dokumen semacam ini sangat bermanfaat ketika seorang CEO melepaskan jabatannya, sehinga penggantinya dapat meneruskan, memperbaiki, atau meningkatkan semua prestasi yang telah ditorehkan. Itulah sebabnya, buku yang baik adalah buku yang ‘jujur’, menceritakan yang sebenarnya. Dengan demikian, penerusnya bisa melanjutkan cita-cita sang CEO dengan benar pula.

Alasan selanjutnya mengapa seorang pemimpin perusahaan harus menulis buku adalah promosi. Tentu promosi untuk diri sendiri maupun perusahaannya. Bagi CEO yang ingin meloncat ke posisi yang lebih tinggi lagi, buku terbukti ampuh menjadi sarananya.

Presiden Jokowi ketika memilih menteri dari kalangan profesional, buku menjadi salah satu referensinya. Itu dinyatakan sendiri oleh Presiden pada saat pelantikan para Menteri. Setidaknya ada tiga Menteri dari kalangan profesional yang popular karena bukunya. Arief Yahya menulis buku Paradox Marketing. Ignasius Jonan, menuangkan gagasannya dalam buku Jonan dan Evolusi Kereta Api Indonesia. Dwi Seotjipto menulis Road To Semen Indonesia.

Tantangannya adalah, CEO merupakan makhluk super sibuk, sehingga hampir mustahil dapat menulis buku sendiri. Tetapi ada beberapa cara yang bisa dilakukan. Pertama, bagi CEO yang sudah menjadi penulis artikel dan blog, dapat mengumpulkan semua tulisannya. Kemudian dipilah-pilah dan dipilih yang sesuai dengan gagasan yang akan ditulis dalam buku.

Selanjutnya meminta bantuan editor untuk mengolahnya menjadi buku yang bagus. Inilah cara yang digunakan oleh Hasnul Suhaimi ketika menjadi CEO XL Axiata dalam menulis buku Everyone Can Lead! Soal memilih editor, CEO harus ekstra hati-hati. Editor selain harus mengetahui cara berbahasa yang baik, juga harus memahami bidang yang ditulis.

Sementara itu, CEO yang bukan penulis artikel atau blog, memiliki tugas yang lebih berat lagi. CEO harus meminta bantuan penulis bayangan (ghost writer). Memilih penulis bayangan harus jauh lebih berhati-hati. Selain mengetahui cara menulis yang baik seperti editor, ghost writer juga harus menyelami materi yang ditulis.

Terkadang, penulis bayangan tidak cukup hanya satu orang, tetapi berbentuk sebuah tim. Tim ini terdiri dari pencari data, penulis, dan editor. Tugas CEO di sini adalah menyediakan bahan (dalam bentuk materi presentasi, teks pidato, data perusahaan dan sebagainya).

Setelah buku selesai ditulis, CEO harus mencari penerbit yang sesuai. Di zaman sekarang, menerbitkan buku kemudian diletakan di toko buku, tidak akan membawa efek apa-apa. Penerbitan buku perlu dibarengi dengan penyelenggaraan peluncuran buku atau bedah buku dan sejenisnya.

Akhirnya, ada dua catatan sebelum CEO memutuskan untuk menulis buku. Pertama, karena buku adalah representasi penulis dan perusahaan yang dipimpinnya, bukunya juga harus bagus baik dari segi isi maupun tampilan. Jangan asal terbit.

Kedua, CEO jangan terlalu banyak menulis buku. Cukup satu atau dua, tetapi bagus. Mengikuti law of diminishing return, semakin banyak buku yang ditulis pembaca semakin jenuh, dan ada kecenderungan mutu bukunya turun. CEO bukanlah penulis novel yang produktivitasnya diukur dari jumlah buku yang terbit.

Oleh: Ramelan M.M. – Faculty Member PPM School of Management | PPM Manajemen


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved