Entrepreneur

Rahasia Bisnis Pendidikan Cucu Ki Hajar Dewantoro

Rahasia Bisnis Pendidikan Cucu Ki Hajar Dewantoro

Darah Pahlawan Pendidikan Ki Hajar Dewantoro mengalir pada sang cucu, Antarina SF. Amir. Lewat sekolah internasional Highscope, ia meneruskan perjuangan sang kakek untuk memajukan pendidikan di Indonesia.

Antarina SF. Amir, CEO Highscope Indonesia

“Saya kuliah di jurusan akutansi dan tidak pernah berpikir akan menjadi pendidik seperti kakek. Pertama kali saya dibukakan mata ketika mengambil S2 di Amerika,” ujar lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI), Clarion University of Penssylvania, Master of Business Administration dan Master of Science di University of Pittsburg, Pennsylvania, AS ini.

Saat itu, matanya dibukakan tentang adanya dua paradigma sistem pendidikan. Profesor yang mengajar bilang, sistem pendidikan tradisional mengajarkan gambar bunga harus selalu merah dan daun berwarna hijau. Sang profesor kemudian membacakan sebuah puisi karya Harry Chaplin berjudul Flowers are Red, yang berkisah seorang anak yang depresi karena tak boleh menggambar bunga dengan warna yang lain. Akhirnya hidupnya pun terbentuk statis. Sistem pendidikan seperti itu tidak mendorong kreativitas, ambition, curiousity, sense of adventure, dan sebagainya.

Lain halnya dengan paradigma baru pendidikan, yaitu konstruktivis. Membentuk pengetahuan sendiri, dengan cara belajar investigative dan inquiry (tanya jawab). Anak yang berbakat bukan hanya karena taat pada guru, tetapi yang kreatif dan produktif, serta bisa mengambil keputusan sendiri dan percaya diri. Ada keseimbangan antara pengetahuan kognitif, sosial dan emosional. Anak tidak merasa terforsir, melainkan terstimulasi dan termotivasi.

“Dari situ akan lahir bunga yang tak hanya merah, tapi boleh berwarna-warni. Saya ingin menjadi orang yang membantu melahirkan bunga berwarna-warni itu.”

Sejak saat itu ide membuat sekolah pun selalu menari-nari di otak perempuan yang bernama lengkap Ratna Dewi Antarina ini. Ide tersebut akhirnya ia wujudkan pada tahun 1996 ketika ia mendirikan sekolah internasional Highscope. Modal awal kurang dari Rp 500 juta, merupakan modal awal perjuangan Antarina membenahi kualitas sumber daya manusia (SDM) di negeri ini.

Ada empat level program pendidikan yang ditawarkan. Early Childhood Educational Program (ECEP) untuk anak-anak usia 18 bulan – 5 tahun, Elementary (setingkat SD) mulai TK B (anak usia 5 tahun) – kelas 5, Middle School (setingkat SMP) mulai kelas 6 – 8, dan High School (setingkat SMA) mulai kelas 9 – 12. Metode pengajarannya tergantung kepada masing-masing siswa (metode student centered). Jadi si anak boleh memilih pelajaran sesuai dengan kelas dan ketertarikannya.

Menurut Antarina, membenahi SDM di negeri ini hanya bisa dilakukan melalui pendidikan sejak dini. “Kalau orang berpikir untuk membenahi SDM dari tingkat universitas, itu salah besar. Karakter dan skill harus dibentuk sejak dini, dari pra sekolah sampai SMA. Di bangku kuliah harusnya belajar bagaimana mengambil keputusan, sayangnya di Indonesia saya yang juga dosen masih berkutat untuk mengajari cara belajar, lulus SMA belum bisa membaca laporan keuangan,” ujar perempuan yang juga tercatat sebagai dosen UI ini.

Meski Antarina cucu dari Ki hajar Dewantoro, namun apa yang ditawarkannya lewat Highscope ternyata tak langsung diterima masyarakat. Bahkan murid awal Highscope hanya 8 siswa. Antarina tak pernah putus asa. Ia terus mengedukasi orang tua murid, bahkan sekarang menjadi salah satu strategi marketingnya yaitu community base. Dari mulut ke mulut ia kelola supaya terus menyebar, sambil meningkatkan kemampuan para pengajar dalam mengedukasi.

“Pernah saya sampai jam 01.30 WIB harus menghadapi orang tua. Dia bertanya mau dibawa kemana anak saya? Dia hanya berpikir akademis, padahal karakter dan skill kan baru 10-20 tahun kemudian bukti nyatanya. Alhamdulillah anak-anak yang kemarin di pra sekolah, kini sudah masuk ke universitas dan terlihat hasilnya. Saya katakan, kalau Anda percaya silahkan datang, kalau tidak silahkan pergi. Orang-orang yang meninggalkan saya akan menyesal di kemudian hari,” paparnya.

Dengan berbekal perjuangan yang pantang menyerah itu, pelan namun pasti akhirnya Highscope mampu menjadi salah satu sekolah internasional yang besar di negeri ini. Saat ini Highscope memiliki 10 unit sekolah yang tersebar di Jakarta, Bandung, Medan dan Bali. Dalam waktu dekat, akan dibuka juga cabang di Surabaya, Riau dan Palembang. Tercatat 2.500 siswa terdaftar bersekolah di Highscope Indonesia, ditangani 500 tenaga pengajar.

Bisnis pendidikan ini pun berkembang besar dengan keuntungan lebih dari Rp 10 miliar per tahun. Dana yang didapatkan, diputarnya terus memperkuat kualitas SDM dan fasilitas, sehingga tak tanggung-tanggung Highscope merogoh kocek Rp 2 miliar per tahun guna membiayai penelitian dan pengembangan pendidikan.

“Obsesi saya ke depan ingin melakukan kerja sama internasional. Sekarang sudah ada teman-teman dari HighScope Cina dan Amerika Latin belajar ke kami. Bentuk kerja samanya masih saya pikirkan. Saya juga akan bicara ke Highscope AS, namun begitu kami ini sudah mandiri, cuma nama Highscope nya saja dari sana, tapi produk-produk pengembangan usahanya sudah kami kembangkan sendiri dari Indonesia. Kami bukan sekedar seperti franchise yang tinggal ambil lalu jual,” ujar ibu dari tiga anak ini.

Obsesinya yang lain yakni mengembangkan Corporate Social Responsbility (CSR) Highscope. “Bentuk CSR nya adalah mengembangkan program entrepreneur untuk anak-anak SMA. Mulai tahun depan kami akan mengadakan virtual enterprise dimana anak-anak entrepreneur SMA ini akan trading dengan virtual enterprise di Amerika, Australia, Eropa dan lainnya. Selain itu, saya juga akan membuat program sekolah asuh. Kalau beasiswa cuma segelintir, jadi saya ingin membina sekolah. Jadi banyak sekali ide yang ada di otak saya, seperti mau meledak.” (EVA)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved