Profile Company Editor's Choice Corporate Action

Bir Lokal Premium Besutan Budhisurya Bersaudara

Bir Lokal Premium Besutan Budhisurya Bersaudara

Pengamatan jeli terhadap pasar bir di Indonesia akhirnya menarik minat empat bersaudara — Reeza Budhisurya, Bona Budhisurya, Yudha Budhisurya dan Rama Budhisurya — untuk terjun di bisnis tersebut. Awal 2011, mereka meluncurkan Stark Beer, bir premium berbahan dasar gandum.

Bona Budhisurya & Yudha Budhisurya

Bona yang menduduki kursi Presiden Direktur PT Lovina Beach Brewery yang menaungi Stark Beer memaparkan, ketertarikan mereka didasari fakta bahwa kebanyakan bir premium yang berbahan dasar gandum merupakan produk impor sehingga harganya menjadi cukup mahal. Mereka juga melihat, bir lokal yang ada kebanyakan memproduksi jenis lager dan pilsener. Karena itulah, tekad mereka mantap untuk meluncurkan Stark Beer. “Kami ingin membuat produk bir di Indonesia dan membuat sesuatu yang lain dari bir lokal yang sudah ada,” ungkapnya.

Keempat bersaudara itu pun serius dengan niatnya. Ini ditunjukkan dengan perburuan izin pendirian pabrik bir yang tak mudah. Pasalnya, pemerintah sudah menutup pintu bagi pendirian pabrik produsen minuman beralkohol yang baru. Bukan pengusaha namanya kalau menyerah sebelum memulai. Setelah dua tahun berburu, akhirnya mereka menemukan pabrik arak Bali tradisional di Singaraja, Bali, yang memiliki izin resmi lengkap. Bona pun bernegosiasi dengan pemiliknya. Akhirnya, dicapailah kesepakatan untuk mengonversi perizinan tersebut ke perizinan produksi bir karena sama-sama mengandung alkohol 5%. Sebagai imbalannya, pemilik lama mendapatkan royalti penjualan.

Setelah izin didapat, mereka segera menetapkan lokasi pabrik, yakni di Singaraja, Bali, karena lokasi pabrik sebelumnya memang di sana. Keseriusan Bona juga ditunjukkan dengan terbang ke Australia. Di sana, anak kedua dari empat bersaudara ini mengambil kursus singkat intensif produksi bir di brewing consultant, Costanzo Brewing. “Saya belajar ke Australia, ambil core di sana. Bagaimana cara membuatnya, detailnya, equipment-nya,” ujarnya. Karena Bona adalah sarjana teknik mesin lukusan Franklin University, Ohio, AS, mudah saja dia memahami pelajarannya.

Langkah selanjutnya, mereka membawa teknologi pembuatan bir dari negeri moyangnya bir, Jerman. Konsultan dari Australia disewa untuk memasang berbagai peralatan itu, plus melatih pegawainya agar menghasilkan bir kualitas satu. Berbagai kesulitan itu ditempuh lantaran mereka memilih menyasar segmen premium. “Kami tidak ingin menyaingi mereka yang rata-rata mass market. Kami lebih bisa dikatakan boutique beer. Jadi, kami lebih mementingkan kualitas daripada harga,” Bona memaparkan. Akibatnya, harga produk memang lebih mahal karena penggunaan bahan baku berkualitas dan proses produksi yang lebih canggih.

“Kami memakai malt gandum yang diimpor langsung dari Australia,” ujar Bona. Ia juga menekankan, bir produksinya tidak menggunakan tambahan jagung ataupun bahan pengawet. Hasilnya, Stark memiliki rasa yang lebih baik serta tidak menyebabkan pusing.

Bona juga mengatakan, Stark sangat mementingkan kualitas air yang digunakan. Dijelaskannya, 95% kandungan bir adalah air, maka air yang digunakan berpengaruh langsung terhadap kualitas bir. “Karena itu, kami mengambil air langsung dari sumber mata air yang biasanya orang di situ bisa langsung meminum airnya tanpa perlu diolah terlebih dulu,” katanya. Air yang digunakan untuk produk Stark Beer, imbuhnya, melalui tiga kali proses penyaringan agar mendapat kualitas yang baik. Selain itu, Bona dan Yudha mencampurkan selera lokal (Indonesia) pada produk mereka, yakni rasa yang agak manis. Ini berbeda dengan kebanyakan bir yang terasa pahit di lidah.

Setelah melalui berbagai tantangan itu, pada 2011 Lovina Beach Brewery pun resmi merilis Stark Beer dengan dua varian produk perintis mereka, wheat beer dan dark wheat beer.

Stark Beer

~~

Untuk urusan promosi, mereka lebih menekankan pada pola pengenalan langsung kepada konsumen. “Kami menekankan pendekatan personal atau engagement yang lebih direct. Kami harus mengarahkan karena ini produk baru yang belum pernah dirasakan,” ujar Yudha, anak ketiga yang menjabat Direktur Pemasaran. Pengenalan ditempuh melalui berbagai event musik ataupun tempat-tempat hiburan seperti bar dan kafe. Mereka juga menyasar ritel modern seperti Carrefour, 7-Eleven dan Circle K.

Budhisurya bersaudara sudah tak asing dengan dunia hiburan dan kafe. Sebab, melalui holding perusahaan mereka, Opco Indonesia, sejak tahun 2000 mereka telah membesut Embassy Club, Score Cafe, Domain, Urbanite Asia, Portico, Yellowfin, dll.

Adapun untuk urusan distribusi, menurut Yudha, hingga kini Stark sudah terdistribusi ke hampir seluruh kota besar di Indonesia, antara lain Jakarta, Bandung, Balikpapan, Manado, Makassar, Pekanbaru, serta kota-kota di Bali, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Stark masih berusaha memperluas distribusinya ke beberapa kota lain seperti Medan dan Batam.

Saat ini, produksi Stark sekitar 3 ribu case per bulan, tiap case berisi 24 botol. Bona memaparkan, kapasitas penuh pabrik mereka saat ini bisa mencapai 5 ribu case per bulan.

Lovina Beach Brewery berencana mendirikan Beer House dengan nama Stark untuk memasarkan produknya. Beer House akan dibuka pertengahan atau akhir bulan Februari tahun ini di Plaza Indonesia. Awal tahun ini, mereka juga akan meluncurkan varian ketiga, bir rendah karbohidrat.

Yoris Sebastian Nisiho, pengamat dan praktisi pemasaran kreatif, mengungkapkan, peluang untuk pasar bir premium lokal masih terbuka lebar. Ini tak terlepas dari meningkatnya pertumbuhan masyarakat kelas menengah di Indonesia. “Peluang masih banyak, karena adanya stronger middle class. Dan, di Indonesia ini, gelombang konsumen 3.000 yang memiliki penghasilan di atas US$ 3.000/bulan sudah semakin growing. Bagi mereka, untuk membeli bir yang benar-benar kelas premium dari luar negeri itu masih cukup kemahalan, sehingga cocok sekali dengan mengeluarkan bir premium lokal,” ungkap Yoris.

Yoris menambahkan, jenis wheat beer memang sering diposisikan sebagai bir tipe premium. Melihat Stark sudah masuk di pasar ritel modern seperti Circle K, ia pun yakin bahwa yang dibidik adalah pasar menengah-atas. “Yang terpenting adalah menjual di tempat-tempat yang cocok, tidak perlu terlalu jorjoran. Small, tetapi memperkuat posisinya. Konsistensi juga sangat penting, tidak usah terlalu memikirkan number terlebih dulu,” demikian sarannya.

Konsistensi, Yoris menandaskan, sangat penting bagi produk pendatang baru, termasuk bir, untuk menciptakan loyalitas konsumennya. “Jadi, di mana pun konsumen beli, di Bali ataupun di Jakarta, barangnya sama, aspek lainnya juga sama. Konsistensi terus dijalankan sambil terus melakukan perbaikan sesuai dengan kebutuhan pasar.”

Budhisurya bersaudara pun nampaknya belum akan cepat berpuas diri dengan pencapaian yang mereka genggam. “Demand pasar terus melonjak. Karena itu, kami berencana meningkatkan kapasitas produksi mesinnya hingga 9 ribu case per bulan,” ujar Bona optimistis.

Optimisme Budhisurya bersaudara memang beralasan. Lihatlah, penjualan dua raksasa bir nasional — PT Multi Bintang Tbk. (produsen Bir Bintang) dan PT Delta Djakarta (produsen Bir Anker) — terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2010, penjualan Bir Bintang mencapai Rp 1.790 miliar, tahun berikutnya (2011) meningkat menjadi Rp 1.853 miliar, dan; sampai kuartal III/2012 tercatat mencapai Rp 1.567 miliar. Sementara penjualan Bir Anker pada 2010 sebesar Rp 548 miliar; tahun berikutnya (2011) meningkat ke angka Rp 564 miliar, dan; sampai kuartal III/2012 melonjak menjadi Rp 1.231 miliar.(*)

Eddy Dwinanto Iskandar dan Tri Wahyuni

Riset: Adinda Khalil


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved