Entrepreneur

Raja Selang dan Regulator Gas

Oleh Admin
Raja Selang dan Regulator Gas

Dari hanya sebagai pedagang, Sukianto menjelma menjadi raja di bisnis selang dan regulator gas. Kini perusahaannya mulai merambah produk home appliance lainnya. Bagaimana pria yang hanya mengantongi ijazah SMA ini melakoninya?

Jeli membaca peluang. Itulah ungkapan yang paling tepat untuk menggambarkan sosok Sukianto. Kejelian pria kelahiran Medan 18 Januari 1968 ini dalam membaca peluang bisnis telah mengubah jalan hidupnya, dari hanya sebagai karyawan biasa menjadi pengusaha yang sangat sukses.

Tahun 1986, karena keterbatasan biaya, Sukianto tak bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Dengan mengantongi ijazah SMA, ia nekat merantau ke Jakarta untuk membantu pamannya yang memiliki usaha kelontong. “Saya berasal dari keluarga yang kurang mampu. Keinginan melanjutkan sekolah terpaksa harus saya pendam karena keterbatasan biaya,” ujar Sukianto mengenang.

Datang ke Jakarta, Sukianto membawa ambisi yang sangat besar, yaitu memperbaiki perekonomian dia dan keluarganya. Namun, ia pun sangat sadar bahwa ia punya banyak keterbatasan, termasuk minimnya bekal pendidikan.

Akan tetapi, Sukianto tidak mau menyerah pada keadaan. Ia sangat percaya, jika ia mau berusaha dengan mengerahkan seluruh kemampuan terbaiknya, hasilnya akan berbuah manis. Prinsip tersebut juga ia terapkan selama menjadi karyawan di bagian pemasaran PT Gunung Mas. Terbukti ia berhasil menjadi salah seorang karyawan yang melejit prestasinya.

Akhir tahun 1990, suami Sherly S. ini menapaki babak baru dalam perjalanan hidupnya. Bermodal uang tabungannya, ia memberanikan diri pindah kuadran menjadi pengusaha dengan mengibarkan bendera PT Multi Lestari (ML). Yang menarik, bisnis yang dipilihnya berhubungan dengan kebutuhan rumah tangga, khususnya dapur, yaitu menjual selang dan regulator gas. “Ide awal bisnis ini sebenarnya dari adik saya yang bekerja di perusahaan sejenis. Kami melihat bisnis ini cukup menguntungkan dan potensinya sangat besar,” ungkap Sukianto.

Langkah yang dilakukan Sukianto terbilang cukup nekat. Maklum, kala itu kompor gas belum menjadi pilihan masyarakat untuk keperluan memasak. Harga minyak tanah masih jauh di bawah karena mendapat subsidi dari pemerintah.

Namun, fakta tersebut tak membuat Sukianto patah semangat. Dia mengatakan, di luar negeri, gas sudah menjadi pilihan utama sebagai bahan bakar di dapur. “Saya percaya, tren itu juga akan berlaku di Indonesia,” ujar Sukianto meyakinkan dirinya ketika itu.

Sukianto membangun usahanya secara bertahap. “Awalnya kami hanya sebagai pedagang,” tutur ayah dua anak ini. ML mulanya hanya memasarkan produk yang dibeli dari importir. Produk itu kemudian dikemas ulang dan di-branding dengan menggunakan merek Gascomp. ML sendiri fokus dalam hal pemasaran yang saat itu lebih banyak dilakukan dengan pola direct selling dibanding pemasaran melalui peritel.

Gascomp mendapat sambutan pasar yang cukup baik. “Hampir tak ada hambatan berarti yang kami temui kala pertama memasarkan produk ini, karena kami hanya membidik kota besar pada tahap awal,” ujarnya lagi.

Melihat perkembangan yang cukup baik, tahun 1992, ML mulai mengimpor sendiri barang-barang yang dipasarkannya. Dengan pola ini, ML semakin gencar memasarkan produknya, karena bisa mengelola sendiri stok barang yang dimiliki. Perkembangan selanjutnya, ML mulai membuat desain dan inovasi sendiri, walaupun produksinya tetap dilakukan di luar negeri. “Kami mengembangkan usaha ini secara bertahap,” Sukianto menambahkan.

Memasuki era tahun 2000-an, pasar semakin berkembang, sehingga persaingan pun kian tajam. Menyikapi kondisi ini, ML harus lebih efisien. Maka, sejak tahun 2001, ML memindahkan produksi barangnya ke Indonesia. “Kami harus efisien dalam hal biaya karena persaingan mulai ketat,” kata Sukianto seraya menambahkan, biaya produksi di Indonesia bisa ditekan lebih rendah.

Walau proses produksi dilakukan di pabrik milik orang lain, lanjutnya, ML tetap memberlakukan quality control yang ketat. Bagi Sukianto, kualitas merupakan hal yang paling penting dan tidak bisa ditawar. Menurutnya, Gascomp dapat berkembang dan menjadi besar hingga sekarang karena konsisten dalam mempertahankan kualitas produknya.

Tahun 2006, kala pemerintah menggulirkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas menjadi berkah bagi ML. Apalagi ML merupakan salah satu dari tiga perusahaan yang ditunjuk pemerintah sebagai pemasok tabung gas dan perlengkapannya dalam program konversi tersebut. Total hingga saat ini sudah lebih dari 15 juta paket (kompor, selang, regulator dan tabung gas) yang dipasarkan ML lewat jalur konversi tersebut.

Bersamaan dengan itu, ML pun menggelontorkan investasi untuk membangun pabrik di kawasan Jababeka, Bekasi. Tahun 2008, ML membuka pabrik kedua yang masih berlokasi di kawasan yang sama. “Total investasi yang sudah kami benamkan mencapai Rp 65 miliar,” Sukianto mengakui.

Bersamaan dengan beroperasinya pabrik kedua, ML merambah ke beberapa produk home appliance lainnya, seperti kompor gas, rice cooker, exhaust dan tabung gas ukuran 3 kg. Sukianto menyebutkan, ketika membangun pabrik sendiri, ML banyak belajar soal teknologi dari perusahaan asal Italia. Selain itu, ML pun menerapkan sistem manajemen mutu ISO 9001:2008. “Kami ingin semua proses sesuai standar agar bisa menghasilkan produk yang bermutu,” ia menegaskan.

Sekarang posisi ML di bisnis ini sudah cukup mapan dan disegani. Pasalnya, selama ini ML mampu mempertahankan kualitas produknya sehingga terus mendapat kepercayaan baik dari konsumen maupun peritel. “Kami tidak ingin bersaing dalam hal harga. Bagi kami yang paling utama adalah kualitas,” ia menandaskan.

Bukti bahwa ML sangat mengutamakan kualitas adalah kala pemerintah memberlakukan Standar Nasional Industri (SNI) tahun 2004. ML merupakan satu-satunya perusahaan yang melakukan penarikan produk dari pasaran hanya untuk melengkapi kode SNI pada produknya. “Biaya penarikan produk tergolong cukup besar, hingga Rp 6 miliar. Kami hanya ingin menaati aturan yang berlaku,” kata Sukianto lagi.

Menurutnya, untuk sampai pada posisi saat ini bukanlah perkara mudah. Pada awal perjalanannya ML hampir tidak menemukan hambatan yang berarti, tetapi ketika krisis moneter melanda negeri ini tahun 1997-1998, ML terkena imbas yang sangat parah. “Utang kami gagal bayar,” ungkap Sukianto.

Namun, Sukianto masih memiliki optimisme yang sangat tinggi. “Kami memutuskan untuk menjadwal ulang utang ketimbang harus pailit, karena kami masih bisa mencetak laba,” ujarnya. Seluruh utang, baik utang dalam negeri maupun luar negeri dijadwal ulang. “Tiga tahun kemudian kami sudah bisa rebound,” ia menjelaskan.

Menurut Jahja B. Soenarjo, bisnis regulator dan selang gas merupakan bisnis yang sangat menarik. Bisnis ini berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir seiring bergulirnya kebijakan pemerintah tentang konversi minyak tanah ke gas. “Bisnis ini mempunyai potensi yang sangat besar ke depan,” ungkap Chief Operation Officer Dirextion Consulting ini.

Akan tetapi, lanjutnya, persaingan di kategori produk ini juga sangat ketat. “Ada lebih dari 80 merek yang beredar,” ujarnya. Maka, Jahja menyarankan agar Gascomp tetap konsisten menggarap pasar yang sudah ditekuninya selama ini, yaitu segmen menengah. “Gascomp jangan terjebak masuk ke segmen yang lebih bawah, karena bisa merusak pasar yang sudah ada.”

Sukianto sependapat dengan Jahja. Dia mengatakan, beberapa tahun lalu, ML memang pernah mencoba masuk ke segmen yang lebih bawah dengan mengusung merek yang berbeda. Namun kenyataannya, keberadaan merek tersebut malah menjadi beban. “Akhirnya sekarang kami putuskan hanya menggunakan merek Gascomp,” katanya.

Sejak tahun lalu, Sukianto melakukan spin off di perusahaanya. Dia membentuk satu perusahaan baru yaitu PT Gascomp Indonesia (GI) yang ditujukan sebagai badan hukum yang memasarkan produk Gascomp. “Multi Lestari hanya fokus dalam hal produksi, termasuk memproduksi produk orang lain.”

Dia menambahkan, untuk mengutilisasi mesin yang dimiliki, sejak tahun lalu, ML menerima pesanan produksi dari merek lain, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. “Kapasitas terpasang kami cukup besar, harus dimaksimalkan,” kata Sukianto.

Dengan terbentuknya Gascomp, pola distribusi yang digunakan Gascomp mengalami perubahan. Khusus di Pulau Jawa dan beberapa wilayah Sumatera, Gascomp menggunakan pola distribusi langsung dengan mengandalkan kantor cabang yang kini berjumlah 17. Kantor cabang itu tak hanya sebagai gudang dan pusat pemasaran, tetapi juga menjadi pusat layanan produk Gascomp. “Kami ingin lebih dekat dengan konsumen,” ujar Sukianto.

Jahja menambahkan, distribusi memang berperan sangat penting di bisnis ini. Menurutnya, langkah Gascomp untuk meningkatkan distribusinya sangatlah tepat. “Karena produk yang beredar sangat banyak, maka distribusi menjadi sangat penting. Konsumen harus mudah mendapatkan produk Gascomp,” ujarnya.

Menurut Jahja, langkah yang harus dilakukan Gascomp adalah mengedukasi pasar. Dia menyebutkan, saat ini masyarakat belum paham soal karekteristik produk selang dan regulator gas. “Produk ini punya daur hidup agar tetap aman digunakan. Jangan tunggu rusak baru diganti,” kata Jahja, yang menyarankan agar Gascomp lebih gencar lagi mengedukasi, khususnya lewat jalur below the line agar dapat langsung menyentuh target pasar dan konsumen.

Ke depan, Sukianto mengungkapkan, perusahaannya akan tetap konsisten dalam mengembangkan pasar. Masa depan merek Gascomp sangatlah baik. Ini bisa dilihat dari kontribusi penjualan yang mulai berimbang antara produk kompor, selang dan regulator gas. “Kami akan terus berinovasi untuk menghasilkan produk berkualitas dengan harga bersaing,” katanya menegaskan.

Sukianto berencana pula menjadikan Gascomp sebagai merek global. Saat ini ia mulai menjajaki memasarkan Gascomp ke luar negeri. “Kami sedang menjajaki ke beberapa negara Timur Tengah dan Asia Tenggara. Tapi fokus kami tetap di pasar dalam negeri.”


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved