Profile

Rini M. Widjaja: Tidak Ada Generasi Kedua di Prodia

Rini M. Widjaja: Tidak Ada Generasi Kedua di Prodia

Ir. Rini Mariani Widjaja adalah anak satu-satunya Andi Widjaja, pendiri Prodia, yang kini juga komisaris perusahan tersebut. Ia lulusan Arsitektur, Universitas Tarumanegara, Jakarta. Kini posisinya sebagai Direktur Keuangan PT Catur Bangun Mandiri, perusahaan kontraktor bangunan. Mengawali kariernya tahun 1991, Rini memulainya sebagai arsitek, dari staf biasa. Dalam kondisi sulit 1998, perusahaan nyaris tutup, banyak karyawan di rumahkan, gaji dipotong separuh, namun Rini tetap bertahan bekerja di perusahaan tersebut.

Rini Mariani, Prodia

Rini Mariani, Prodia

Padahal saat itu ayahnya punya perusahaan sendiri. Beruntung perusahaannya mendapat proyek pembangunan gereja, yang bisa menyelamatkan kondisi terpuruk saat itu. Karena karyawan tinggal sedikit, banyak karyawan sudah keluar, Rini ditawari manajemen memegang posisi di keuangan. Tahun 2000 perusaaannya mulai banyak mendapat proyek, tahun 2002 ia menempati posisi sebagai Direktur Keuangan.

Latar belakang arsiteknya ini juga berguna setiap Prodia membangun gedung baru. Termasuk markas Prodia yang baru. Rini selalu diminta menjadi “konsultan” Prodia dalam memberi arahan ke kontraktor yang mengerjakan, mulai dair material yang dipilih, bentuk bangunan, memberi pandangan saat tender.

Artinya ia menjalani posisinya sebagai profesional di perusahaan yang berkantor di Kebayoran Lama ini. Ibu dari dua anak yang sudah remaja ini penyuka traveling. Kelahiran Bandung, 29 September 1964 ini menuturkan perjalanan Prodia dengan Herning Banirestu:

Bagaimana perasaan Ibu, anak pendiri jaringan Prodia yang besar. Anak satu-satunya, namun harus berjuang sendiri mencari pekerjaan?

Menurut saya itu lebih baik dengan tidak ada satu pun anak pendiri di perusahaan Prodia. Yang saya tahu, saat Prodia berdiri, saya sudah kelas 3 atau 4 SD. Saya jadi melihat bagaimana Prodia dibangun. Perusahaan itu dibangun bersama teman-teman ayah yang sama-sama suka main tenis. Prodia awalnya dibangun oleh empat orang, lalu kini pemiliknya ada enam orang, semua dibangun dari nol. Artinya dengan kini menjadi besar jaringannya, perusahaan dibangun dari nol, toleransi antar pemilik sangatlah besar dalam mengelola bisnis ini. Beda sekali perusahaan yang dibangun oleh satu keluarga.

Di Prodia tidak ada keterkaitan keluarga satu dengan yang lain, cukup beragam latar belakangnya. Saya cukup salut dengan para pendiri, dengan toleransi yang besar, mereka bersama-sama memajukan Prodia. Namun saya pikir belum tentu anak-anak pendiri jika masuk dalam manajemen memiliki toleransi besar. Anak-anak tidak masuk ke Prodia di posisi perusahaan yang sudah besar tentu ada alasannya. Terutama kami ini jarang ketemu, dibesarkan dengan latar belakang berbeda. Kami besarnya di tempat berbeda. Walau saya dan pak Ferry misalnya satu universitas saja jarang ketemu.

Menurut saya lebih baik seperti ini. Kami besar di lingkungan berbeda, saya yakin kompaknya tidak akan sekuat anak-anak pendiri. Ini menjadi kebijaksaan para pendiri, bahwa lebih baik anak-anak tidak masuk dalam manajemen Prodia. Buat saya pun itu hal terbaik. Tiap tahun kami diundang pada rapat akbar bulan Januari, mereka memaparkan kinerja para direksi selama setahun bagaimana. Kami lihat bagaimana manajemen dan pendiri kompak serta kuat dalam pertemuan akbar satu tahun sekali itu. Di luar itu kami juga diundang. Anak-anak mulai hadir dalam pertemuan pertemuan, kala itu saya sudah bekerja 5 tahunan di tempatnya sekarang.

Bisa dirinci anak-anak pendiri Prodia berapa?

Orang tua saya anaknya satu. Pak Gunawan anaknya dua (keluarga Ferry). Pak Handono anaknya satu. Pak Nugroho juga satu anaknya. Pak Ikhsan anaknya tiga. Dengan pemilik lainnya (total pendiri ada 6) jumlah anak pendirinya ada 11 orang. Ada 5-6 orang anak yang rutin ikut rapat akbar. Mereka mengerti seperti apa Prodia.

Anak-anak punya background pendidikan cukup baik. Apa yang disumbangkan anak-anak demi kemajuan Prodia?

Kadang-kadang dalam meeting akbar, mereka memaparkan data-data. Kami anak-anaknya turut menanyakan dan memberi saran. Setahu saya para direksi menampung pemikiran kami. Para direksi ini sudah bekerja 20-an tahun, sudah menjiwai perusahaan itu, berarti mereka lebih tahu bagaimana perusahaan. Kami tidak memaksakan pemikiran untuk diambil manajemen yang semuanya dipegang profesional.

Seperti apa sebenarnya anak-anak pendiri diharapkan Prodia ke depan?

Kami ingin Prodia terus maju, profesional. Tetap dengan keputusan sekarang dengan tanpa anak-anak di dalam manajemen. Para profesional ini tidak gampang menjadi direksi di Prodia, mereka sudah membuktikan kinerja, lamanya kerja mereka di sana, kredibilitasnya. Saringannya cukup ketat. Saya sangat optimis Prodia lebih besar dari sekarang.

Dengan masuk ke Prodia, kami yakin, anak-anak yang baru lulus ini dikhawatirkan akan membuat tidak nyaman di perusahaan. Pasti ada sungkannya, padahal kami belum tahu apa-apa, kami harus dididik dulu. Karena anak pemegang saham, jika tidak sesuai apa yang kami lakukan dengan manajemen, justru akan mengganggu sistem, karena pasti ada kondisi harus menjaga perasaan kami. Saya pikir lebih bagus sekarang.

Para pendiri menekan ego ya?

Iya para pendiri ada toleransi sangat besar. Para direksi sudah berjuang dan berusaha sebaik-baiknya. Terutama sekarang sudah ada 4.000 orang yang bergantung di Prodia.

Lalu bagaimana anak-anak pendiri Prodia merespons kondisi ini?

Sejak kami sering ketemu di acara meeting akbar, sudah ada pembicaraan kami para anak ingin membuat suatu bisnis bersama. Kami belum tahu apa yang akan kami bangun. Kami ingin mencontoh kekompakan orang tua kami, tapi dengan perusahaan berbeda. Seperti toleransi besar dan tidak boleh egois.

Itu yang saya pikir ingin kami contoh dalam perusahaan baru yang ingin kami bangun di luar Prodia. Kami lihat para pendiri dengan orang berbeda, bisa bersatu terus hingga tua. Apalagi makin besar, jika tidak ada toleransi besar, tidak akan terus bersama. Hingga saat ini di Prodia tidak pernah terjadi walau sudah 40 tahun berdiri. Semua kompak. Ini harus kami contoh oleh generasi berikutnya.

Dengan perusahaan sendiri yang berbeda, para anak ini berharap, para pendiri bisa membantu menyumbang pemikirannya. Tapi rencana ini masih dalam pembicaraan, bentuk perusahaannya belum tahu.

Lalu anak-anak pendiri Prodia lainnya seperti apa?

Putra Pak Ikhsan mengelola perusahaan keluarga yang lain yaitu perusahaan developer di Semarang. Saya ini agak spesifik tidak cocok masuk ke Prodia, ha…ha…ha…karena sangat spesifik. Namun tetap membantu memberi konsultansi gedung baru cabang Prodia. Agar konsumen nyaman melakukan tes kesehatan di Prodia. Gedung-gedung Prodia ada karakternya. Saya merasa memiliki Prodia dengan memberikan talenta saya sebagai arsitek dengan menjadi “konsultan” kala membangun gedung baru.

Bagaimana Anda melihat perusahaan ini, tidakkah merasa di bawah bayang-bayang kebesaran Ayah? Tidak jadi bahan pertanyaan orang, lho kok ayah punya perusahaan besar, anak satu-satunya harus berjuang sendiri?

Saya justru bangga, bisa berkarya dan berkarier dengan baik hasil dari usaha sendiri. Saya melamar sendiri ke perusahaan ini. Tidak ada koneksi dengan ayah. Bukankah lebih baik? Saya tidak perlu dibicarakan, saya anak Pak Andi, yang pendiri Prodia, ndompleng orang tua dengan masuk manajemen perusahaan.

Saya akui banyak orang yang menyindir, kenapa saya harus susah payah. Saya justru dengan senang hati menjawab pertanyaan orang soal begitu, dengan berjuang berkarir sendiri selama 21 tahun di sini. Ayah sebagai salah satu pendiri, dia sangat bangga dengan perusahaannya. Saya tidak ada kepikiran untuk masuk di manajemen. Saya juga tidak dibekali untuk masuk ke Prodia. Saya dibebaskan oleh ayah masuk jurusan manapun kala sekolah, makanya saya masuk Arsitektur.

Saya diajarkan bagaimana saya harus bertanggung jawab pada pilihan. Harus berani menghadapi apapun tantangan hidup di depan kita. Harus lebih kuat. Apapun yang kita lakukan selalu ada tantangan, bagaimana kita menghadapinya walau nanti menghadapi kegagalan, justru itu agar kami lebih kuat. Itu nilai-nilai dari Ayah.

Bagaimana perasaan para anak?

Saya justru ada kebanggaan, dengan tidak ndompleng orang tua terus. Dengan punya pekerjaan dan usaha sendiri justru tidak merepotkan Prodia yang sudah besar. Kala mencari pekerjaan saya tidak pernah minta ayah membantu dengan koneksi. Banyak yang bilang, ini orang tua kok keterlaluan anak tunggal harus cari sendiri. Buat saya berterima kasih, saya tidak ada beban. Kalau dititipin, misalnya ke koneksi ayah, ada beban saya ke pemilik perusahaan juga ayah saya dengan koneksi itu.

Kami punya perusahaan, tapi lebih memilih menyerahkan ke profesional. Mungkin saya nanti akan mencontoh, kala punya perusahaan sendiri bagaimana Prodia mengelola perusahaan. Perusahaan makin besar, banyak ego yang harus ditoleransi. Kalau anak-anak masuk, jika antar anak berkonflik, akan ada saling bela antar bapak. Ini justru akan jadi tidak enak. Dengan diserahkan ke profesional semua bisa berjalan dengan baik. Pergantian direksi di Prodia seleksinya cukup ketat.

Untuk saat ini anak-anak belum diberi saham. Mungkin kalau sudah IPO, mungkin lho…kami akan diberi saham. Pertimbangan ini saya yakin ini untuk kelangsungan Prodia ke depan.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved