Sela

Work & Love

Work & Love

Untuk kesekian kali hati saya sedikit terguncang. Sudah sekian tahun saya merasa kepaten obor (tak lagi memegang obor pertemanan) dengan seorang teman. Padahal, hakikat pertemanan adalah membangun pertalian batin yang semestinya menjadi perekat makna berteman itu sendiri. Membaca tulisan Imelda yang penuh makna itu, saya tergoda untuk mengutip ucapan Kiergegard: “I feel a longing to say nothing more except Amen” (“Saya merasa ingin sekali untuk tidak berkata-kata lagi, selain –mmengucapkan– Amin”).

Penang adalah negara bagian Malaysia yang kokoh bertahan dengan budaya Inggris Raya. Makmur, cantik alamnya dengan beragam budaya, membuat Penang berpotensi sebagai melting pot, lahan budaya dan kawasan industri masa depan. “Penang is my second home,” ungkapnya. Perasaan yang juga dirasakannya di sebuah kota kecil di Cebu, Filipina. “I earn my living in Penang. Here I live, and may God bless my wish to die in my own home land,” tuturnya bernada sendu. “And may God open me the way to see your beautiful Cebu,” sambung saya. “Please, do come. Enjoy our mighty Mountains of Chocolates that you can’t find it elsewhere in the whole world,” tuturnya seraya melepas senyum.(*)

Imelda mengaku bukan seorang pekerja keras. “I don’t work hard, I work smart. And I simply love to work,” ujarnya. “And as a true Philippina, you no doubt love to sing,” kata saya. “Kerja memang sebuah irama lagu. Dan, lagu sejatinya adalah untaian kerja,” ujarnya seraya merujuk buku The Prophet karya Kahlil Gibran. Saya belum berkesempatan membacanya dalam edisi bahasa inggris. Namun, saya masih cukup ingat beberapa ungkapan penyair Lebanon ini yang dialihbahasakan oleh Sri Kusdyantinah terbitan Pustaka Jaya, Jakarta. “To read Gibran is to read love and life combined,” ucapnya. Ia lalu membaca dengan suara indah beberapa bait dari The Prophet.

Yes, Hans, to work is to love. And the Greek said that the one who loves work is always young,” ucapnya seraya melepas tawa. Ia lalu membaca bait-bait On Work. Dalam versi terjemahan Sri Kusdyantinah saya dapat menemukan berikut ini: Kerja adalah cinta yang mengejawantah/Bilamana kau menggerutu ketika memeras anggur/Gerutu itu meracuni air anggur/Dan walaupun kau menyanyi dengan suara bidadari/Namun hatimu tiada menyukainya/Maka tertutuplah telinga manusia dari segala/ Bunyi-bunyian siang dan suara malam hari. Imelda menghela napas lega. “Kerja adalah cinta, kerja juga ibarat perangkat lagu,” tambahnya dengan suara berirama.

Olah cinta dalam kerja dan olah kerja dalam lagu memang sebuah harmoni kehidupan. “You play piano, guitar, or whatever” tanya Imelda. “Saya senang dengan seruling, a home-made bamboo flute,” jawab saya. Imelda lalu mengutip bait yang “memerankan” seruling. Lewat Kusdyantinah, Gibran berkata, “Bila bekerja, engkau ibarat sepucuk seruling. Lewat jantungnya bisikan sang waktu menjadi lagu.”Di malam yang makin larut, ada dua hati yang terasa didekatkan oleh satunya minat: saling rela mendengar dan mendengarkan, dan berbagi rasa mensyukuri harmoni kerja dan kehidupan. Alangkah indahnya persahabatan.

PS: Di bulan Valentin dua tahun lalu, Imelda da Silva wafat karena kanker rahim di sebuah rumah sakit di Manila. May she rest in peace.

(HB Supiyo (Alm), meninggal pada tanggal 28 Februari 2017. Penulis adalah mantan Redaktur Majalah SWA. Tulisan ini pernah dimuat di Majalah SWA edisi 04/2016)

# Tag


    © 2023-2024 SWA Media Inc.

    All Right Reserved