Management

Ekonomi RI Dibayangi Perlambatan Global

Ekonomi RI Dibayangi Perlambatan Global

Situasi ekonomi global masih diliputi ketidakpastian. Raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat belum pulih sepenuhnya dari krisis. China bahkan lebih parah. Ekonomi di Negeri Tirai Bambu itu telah melambat. Eropa juga masih belum menentu situasi ekonominya. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengatakan, perlambatan ekonomi dunia jelas akan memengaruhi laju perekonomian di Tanah Air. Bank Sentral memerkirakan ekonomi Indonesia pada tahun ini hanya akan tumbuh 5,4-5,8%. “Optimisme pemerintah masih tinggi ke depan. Namun, risiko dan tantangan masih menghadang,” katanya dalam acara Peluncuran Buku dan Diskusi Laporan Perekonomian Indonesia 2014 di Jakarta, Rabu (29/4).

Dia melansir data World Economic Outlook yang memerkirakan ekonomi di banyak negara di dunia akan melambat pada tahun ini. Yang paling parah adalah ekonomi Tiongkok yang diperkirakan hanya tumbuh 6,8% pada tahun 2015 dan 6,3% pada tahun 2016. Padahal, tahun 2013, ekonomi China tumbuh 7,7%. Tahun lalu, ekonomi mereka melambat menjadi 7,4%. Pada tahun ini, pemerintah China menargetkan ekonomi domestiknya tumbuh 7,5%. Tak hanya Tiongkok, ekonomi Rusia juga direvisi dari 0,5-1,5% menjadi minus 1,1%. “Hanya, India yang diprediksi bisa tumbuh 7,5% naik dari perkiraan sebelumnya yang hanya 6,4% di 2015 dan 6,5% di 2016,” katanya.

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (Foto: IST)

Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo (Foto: IST)

Agus mengatakan pemerintah dan stakeholder terkait perlu mencermati beberapa risiko dan tantangan yang masih mengancam, seperti kondisi ekonomi global yang masih belum menentu. Terutama, kebijakan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat. Keputusan penghentian stimulus bunga rendah bisa berdampak pada gejolak di sistem keuangan. Arus modal keluar (capital outflow) bisa memicu krisis di pasar keuangan. Sebagai perbandingan, kepemilikan asing di pasar saham dan surat utang di India hanya 7%, Thailand 8%, dan Korea 17%. Guncangan global bisa merambat lewat pasar keuangan karena tingginya kepemilikan asing di portofolio saham dan obligasi di Indonesia.

“Itulah pentingnya Indonesia terus menumbuhkembangkan pasar obligasi. Nilai pembiayaan dari obligasi korporasi baru 2% dari Produk Domestik Bruto. Bandingkan dengan Malaysia yang mencapai 57% dan Singapura 15%,” ujarnya.

Untuk itulah pentingnya menjaga konsistensi kebijakan ekonomi makro dari sisi fiskal dan moneter. Dengan begitu, kepercayaan investor akan semakin tebal terhadap perekonomian RI. Kredibilitas otoritas terkait akan semakin terjaga. Stabilitas ekonomi makro juga harus dibarengi dengan reformasi struktural untuk menyelesaikan hambatan di sektor riil untuk mendorong masuknya investasi baru. “Implementasi kebijakan juga harus tepat waktu. Harapannya, fundamental ekonomi Indonesia akan semakin kuat ke depan,” ujarnya.

Hal lain yang juga harus diwaspadai adalah masih tingginya utang luar negeri korporasi yang tidak dilakukan lindung nilai (hedging). Gejolak nilai tukar rupiah akan memengaruhi keberlangsungan bisnis. Utang luar negeri hingga akhir Desember 2014, menurut Agus, mencapai US$ 162 miliar dan 47% diantaranya belum dilakukan lindung nilai.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved