Management Editor's Choice

Ibu Walikota pun Turun ke Sungai Memungut Sampah

Ibu Walikota pun Turun ke Sungai Memungut Sampah

Surabaya berhasil menggerakkan warganya untuk terlibat aktif dalam program dan proyek lingkungan hidup. Warga mau ikut bergerak karena melihat pemimpinnya, Wali \kota Tri Rismaharini tak segan-segan turun ke sungai untuk memungut sampah.

Tri Rismaharini, Surabaya, Walikota, Green, Taman Kota, Hutan Kota, penghijauan, kebijakan, leadership

Tri Rismaharini

Walikota Surabbaya Tri Rismaharini menuturkan, Surabaya berusaha mempertahankan 30%-35% Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan 10% RTH privat. Presentase RTH Surabaya hingga tahun 2011 sudah mencapai 20,1% dari total wilayah. Rinciannya, 85,07 hektar taman dan Jalur Hijau Kota, 34,32 ha lapangan olahraga. RTH juga mencakup lahan pemakaman sebesar 157,51 ha dan hutan kota seluas 52,76 ha. “Kami juga menambah hutan kota dari lahan Pemkot yang tidak optimal,” tutur Tri Rismaharini, Walikota Surabaya. Total penyerahan aset untuk RTH tersebut saat ini seluas 108,15 Ha.

Walikota mengaku terus membuat taman-taman kota yang sifatnya produktif. “Hampir semua taman-taman di Surabaya bisa dimanfaatkan oleh warga,” katanya. Misalnya, taman kota dilengkapi dengan Wi-Fi dan juga perpustakaan. Taman-taman tersebut juga memiliki tema. Seperti Taman Lansia, Taman Persahabatan, Taman Ekspresi, Taman Skate & BMX. “Ada juga taman untuk olahraga yang di dalamnya ada fasilitas climbing, fitness. Dan, semuanya gratis,” ujarnya. Bahkan Pemkot membuat taman di sepanjang aliran sungai yang membelah Kota Surabaya.

Areal pemakaman juga difungsikan sebagai taman. Pemkot Surabaya memberlakukan aturan tidak boleh ada kijing di pemakaman. Tujuannya, areal pemakaman bisa digunakan lahan resapan air. “Ada taman yang mengelilingi pemakaman. Jadi, biar yang tinggal di situ kerasan,” ungkapnya berseloroh.

Penambahan areal RTH juga diaplikasikan melalui kebijakan pembuatan jalur hijau. Seperti jalur hijau di Jln. Yos Sudarso, Jln. Soekarno-Hatta, Jln. Raya Darmo, Jln. DR Soetomo, Jln. Margomulyo, dan banyak lagi. Total ada 9 jalur hijau di Kota Surabaya. “Malah ada jalan yang mediannya ditamani pohon Tabebuya Putih. Jadi kalau bulan Oktober, seperti jalanan bersalju karena bunga putihnya rontok,” Tri menambahkan.

Upaya menyelamatkan lingkungan ditambah dengan pembuatan hutan kota. “Kami membuat hutan kota karena Surabaya tidak punya hutan asli, kecuali hutan mangrove,” katanya. Sedikitnya ada 8 hutan yang berhasil dibuat. Hutan kota itu tersebar di Kebun Bibit Wonorejo, Balasklumprik, Pakal, Bundaran Mayjen Sungkono, Prapen Tenggilis dan lainnya. “Pohon di hutan-hutan kota didapat dari warga Surabaya sendiri,” tuturnya.

Pemkot Surabaya membentuk gerakan Sajisapo (Satu Jiwa Satu Pohon). Misalnya, di Hutan Kota Balasklumprik dan Pakal. Sedikitnya 5.000 orang datang membawa minimal satu pohon. “Jadi, Pemkot tidak keluar biaya untuk pohon,” tutur Tri lagi. Untuk lingkungan kawasan pantai, Pemkot Surabaya mengoptimalkan hutan mangrove. Luas hutan yang ada di Pamurbaya itu mencapai 2.500-an ha.

Penyelamatan lingkungan memang bukan perkara mudah. Seringkali fungsi ekonomi lebih menggiurkan ketimbang lingkungan. Untuk menghindari itu, Pemkot Surabaya menggerakkan UKM di sekitar lingkungan konservasi. Seperti masyarakat di kawasan Pamurbaya. Di sana berdiri kelompok tani mangrove. Kelompok tersebut bisa memproduksi sirup mangrove, jenang bogem mangrove, dan bahkan batik mangrove. “Agar mereka bisa sustain. Sehingga warga senang bila diajak menjaga lingkungan,” ia menandaskan.

Upaya penyelamatan lingkungan berkelanjutan juga diterapkan Pemkot dengan membuat urban farming. “Kami bagikan bibit atau rangsangan untuk mengurangi pengeluaran masyarakat kurang mampu,” ujar Tri. Misalnya, bibit padi, lombok, ikan maupun rangsangan modal. Sedikitnya ada 16 kelurahan yang menerapkan urban farming.

Hasil urban farming ini cukup untuk mendongkrak perekonomian warga Surabaya. Seperti kampung budidaya padi dan lombok di Kelurahan Bangkingan dan Kelurahan Made. “Setiap hari cabenya dikirim ke Tangerang dan Palembang 40 ton,” Tri menerangkan. Bahkan, beras dari Kampung Bangkingan bisa 3 kali panen dalam setahun. Dan, seperti pengakuan Tri, semuanya organik. “Kami package berasnya, diberi merek. Sehingga nilai tawarnya tinggi. Beras-beras itu bisa didapat di seluruh mal di Surabaya,” kata Tri.

Untuk penanganan sampah terpadu, Pemkot Surabaya punya berbagai strategi kreatif. Seperti membangun TPS (tempat pembuangan sampah) di seluruh kota, membangun bank sampah, gerakan eco school, campus & office, serta gerakan Merdeka dari Sampah (MDS) yang diikuti 360 RT, Surabaya Green & Clean diikuti 1942 Rukun Tangga.

Upaya Pemkot Surabaya bukan semata seremonial. “Kami kelola sampah sejak dari sumbernya. Warga dilibatkan untuk mengolah sampahnya,” Tri menjelaskan. Kota Surabaya punya 28 ribu kader lingkungan dan 420 fasilitator lingkungan. Kader/fasilitator ini menjadi pionir pengelolaan sampah dan menjadi contoh di kampungnya masing-masing. Tujuannya untuk mereduksi sampah.

Hingga tahun 2011, sudah ada 158 kelurahan yang sudah mereduksi sampahnya. Total, rata-rata reduksi sampah rumah tangga sebesar 147,5 ton/hari. Selain itu, Pemkot Surabaya juga telah membuat100 bank sampah aktif yang tersebar di 28 kecamatan. Dari bank sampah ini, sampah anorganik yang tereduksi mencapai 7,14 ton/minggu. “Sampah plastik tersebut lantas didaur ulang menjadi produk yang dijual hingga ke Jepang. Dan, kami sewakan stan di mal untuk produk daur ulang tersebut,” katanya.

Bahkan, pengolahan sampah berbasis masyarakat ini menghasilkan 10 UKM recycling business di Surabaya. Sementara, untuk kompos dari sampah organik berhasil melahirkan 8 Rumah Kompos. Rata-rata produksinya mencapai 3 meter kibik/hari. Bila di rata-rata, omset dari seluruh bank sampah itu mencapai Rp 250 ribu hingga Rp 67 juta per bulan. Semua dinikmati masyarakat pengelolanya.

“Dengan pengelolaan seperti itu, sampah yang masuk ke TPA berkurang lebih dari 20% dari tahun 2005 hingga 2011,” katanya. Malah data DKP & Dispendukcapil Kota Surabaya 2012 terlihat realisasi sampah ke TPA berbanding terbalik dengan populasi penduduk Kota Surabaya. Tahun 2005 jumlah penduduk 2.740.490 jiwa; realisasi sampah ke TPA 1.819 m3. Jumlah itu terus menurun hingga 2011. Rinciannya, berturut-turut: 2006 (2.784.196 jiwa : 1.641 m3), 2007 (2.829.552 jiwa : 1.480 m3), 2008 (2.903.382 jiwa : 1.259 m3), 2009 (2.938.382 jiwa : 1.229 m3). Tren turunnya realisasi sampah ke TPA berlanjut di tahun 2010 (2.929.528 jiwa : 1.242 m3) dan 2011 (3.024.321 jiwa : 1.150 m3).

Ditanya tentang tips keberhasilan menggerakkan warga dalam penyelamatan lingkungan, Tri menyebut keterlibatan nyata pemimpin memegang kunci. Misalnya, Tri tidak segan untuk turun ke lapangan memunguti sampah. “Tangan saya pernah keseleo gara-gara terpeleset di kali saat memunguti sampah,” katanya. Bila Walikota mau terjun langsung, tentu warga akan ikut tergerak.

Lantas, berapa dana yang digelontorkan untuk semua itu? “Ah, tidak banyak. Malah tidak ada. Kan semua dari warga dan untuk warga sendiri. Pemkot hanya memfasilitasi saja,” ujar Tri. Ke depan, Tri berharap gerakan sadar lingkungan tersebut terus dimiliki warga Surabaya. “Saya yakin, warga sudah solid untuk kelestarian lingkungan. Siapa pun pemimpinnya, saya pikir sikap warga terhadap lingkungan akan meningkat,” jelas Tri. (Sigit A. Nugroho/DAM).


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved