Management

Produksi Feronikel Antam Bertambah 40 Ribu Ton Per Tahun

Produksi Feronikel Antam Bertambah 40 Ribu Ton Per Tahun

PT Antam Tbk (Persero) meyakini produksi feronikel perseroan akan tumbuh 40-50 ribu ton setiap tahunnya pada lima tahun ke depan. Hal itu sejalan dengan upaya perseroan untuk terus meningkatkan investasi guna menaikkan kapasitas pabrik feronikel. Tahun ini, kapasitas produksi pabrik feronikel Antam masih 18 ribu ton, namun pada tahun depan meningkat menjadi 27 ribu ton.

Vice President Marketing Sales and Operation Support Logam Mulia Antam, Muhidin menuturkan, sebagai stakeholder company maka Antam terus melakukan ekspansi dengan melakukan investasi pabrik atau industri hilir.

“Kami memiliki pabrik feronikel dengan kapasitas 18 ribu ton dan pada 2017 akan ekspansi menjadi 27 ribu ton. Kami optimistis pada lima tahun ke depan produksi feronikel akan tumbuh sebesar 40 ribu sampai 50 ribu ton per tahun,” katanya.

tim-antam

Menurut dia, produksi feronikel Antam pada semester I-2016 sebesr 8.304 ton nikel dalam feronikel (Tni), sedangkan penjualan mencapai 8.092 Tni dengan adanya perubahan rencana ekspor ke India dan Korea Selatan yang dilakukan pada Juli 2016.

Untuk kuartal II-2016, produksi sebesar 3.947 TNi dan penjualan 5.467 TNi. Penjualan feronikel pada semester I-2016 memberikan kontributor terbesar kedua dari total pendapatan perusahaan, atau menyumbang 22,69% dari total penjualan bersih. Sementara pada kuartal II-2016, nilai penjualan mencapai Rp 651,64 miliar.

Dia mengakui, kinerja penjualan feronikel ke luar negeri mengalami pasang surut. Salah satunya dengan adanya larangan ekspor bijih nikel. Namun, Antam menganggap hal itu sebagai tantangan, untuk mengantisipasinya perusahaan mengolah bijih menjadi value product untuk kemudian di ekspor sehingga lebih berkelanjutan (sustainability).

“Kami memiliki buyer dari berbagai negara dengan karakteristik yang berbeda, misalnya pembeli Eropa lebih konsisten mengenai kualitas, buyer Jepang lebih loyal, dan lain sebagainya. Sehingga kami harus menemukan pembeli yang tepat,” ungkap dia.

Tantangan lainnya, kata dia, pemasaran produksi, harga terbaik, distribusi penjualan, pengapalan dan logistik. Untuk penjualan adalah dari sisi pembayaran tepat waktu dan dokumen. Di sisi lain, nikel merupakan komoditas, karena itu dengan ekonomi yang melemah sudah pasti berdampak bagi perusahaan.

“Dengan menurunnya harga komoditas pendapatan kami pun menurun. Harga nikel sempat US$ 12 per ton, lalu turun menjadi US$ 4,5 per ton, sehingga kami berupaya menurunkan biaya produksi,” kata dia.

VP Sales and Marketing Feronikel & Alumina Product Antam, Apriliandi mengungkapkan, untuk mengurangi biaya produksi feronikel, Antam menggunakan bahan bakar batubara. Di China dan Eropa, malah menggunakan bahan bakar nuklir sehingga lebih murah. Antam membuat program P3FE (Proyek Peningkatan dan Perluasan Feronikel).

“Sejak pemerintah melarang ekspor bijih, perusahaan nikel lainnya di Indonesia tutup, hanya kami yang bertahan. Saat ini bentuk persaingann lebih ke arah cost yang paling kompetitif. Untuk itu pula, kami saat ini membuat Joint Venture Agreement dengan PT Indonesia Asahan Alumunium (Persero) atau Inalum untuk membangun smelter grade alumina refinery di Kalimantan Barat, sehingga Inalum tidak ambil bahan baku dari luar,” jelas dia.

Dia juga menjelaskan, untuk penjualan atau ekspor feronikel, Antam sejauh ini masih fokus di wilayah Asia, yaitu Taiwan dan India. “Awalnya kami Asia dan Eropa, tapi ternyata pasar Asia lebih memberikan kontribusi positif,” jelas Apriliandi. (Reportase: Tiffany Diahnisa)


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved