Marketing

Tas Anyaman Rorokenes Pun Mendunia

Syanaz Nadya Winarto Putri
Syanaz Nadya Winarto Putri, founder & owner Rorokenes, produsen tas anyaman kulit

Akhir Juli lalu, pengalaman pahit menimpa Syanaz Nadya Winarto Putri. Suatu kejadian yang tidak akan pernah dilupakan selama meniti bisnis Rorokenes, tas kulit anyaman buatannya. Bagaimana tidak, sebanyak 10 tas Rorokenes ditahan di Bandara Domodedovo Moskow karena dianggap menggunakan bahan kulit eksotis premium yang harus dilengkapi dokumen.

Padahal, ketika itu Syanaz akan mengikuti pameran produk Indonesia di Rusia. Gara-gara kejadian itu, ia dimintai keterangan mengenai 10 tas kulit dan 50 tas kemasan yang ia bawa. Meskipun ia mengaku bahwa tas buatannya tidak semahal produk high-end lain seperti LV, Bottega, atau Channel dan total tas yang ia bawa hanya seharga US$ 1.200, pihak otoritas Bandara Domodedovo tetap menyatakan bahwa hasil kurasi menyebutkan kualitas Rorokenes sama dengan tas branded seperti Bottega, Hermes, Louis Vuitton, Chanel, Gucci, atau Dolce Gabbana yang berharga ratusan juta. Alhasil, selama pameran, Syanaz hanya memamerkan tas yang dipakainya sendiri. “Saat ini masih proses penyelesaian. Saya cuma berharap semoga produk Rorokenes tidak dicekal di Rusia,” katanya berharap.

Pengalaman pahit semakin meyakinkan Syanaz untuk semakin serius mengembangkan Rorokenes. Apalagi, menurutnya, di balik produksi tas itu ada upaya memberdayakan kaum perempuan sebagai penganyam. “Proses pembuatan tas ini 90% masih dilakukan menggunakan tangan (handmade) para pengrajin perempuan,” katanya.

Syahnaz menceritakan, awal mulai menjalankan bisnis tas karena hobi. Layaknya seorang wanita yang tumbuh di kota besar (Semarang), ia juga ingin seperti perempuan lain yang memiliki tas-tas bermerek dengan harga selang it. Salah satu tas impiannya adalah Bottega (Italia) yang bercirikhas anyaman.

Kemudian, Syanaz ditantang sang ayah. “Kamu bisa bikin nggak tas seperti itu? Membuat itu susah,” katanya menceritakan. Ia pun merasa tertantang hingga melakukan riset, mencari pabrik kulit, mencari tukang, belajar desainnya, belajar bisnisnya, sampai akhirnya bisa memproduksi tasnya. “Sebenarnya, anyaman itu sudah ada dalam kultur Indonesia sejak ratusan tahun lalu. Bahkan, tenun juga adalah anyaman. Saya melihat anyaman kulit ini filosofinya adalah Bhinneka Tunggal Ika, yaitu menjalin potongan-potongan kulit menjadi satu anyaman,” ia menerangkan.

Adapun untuk desain tasnya, ia terinspirasi dari media sosial Pinterest dan buku-buku desain tas yang ia modifikasi. Terkadang ia juga menyurvei pelanggan, mereka suka jenis tas seperti apa. “Kalau untuk membuat produk, saya punya tim R&D kecil-kecilan bareng sama tukang. Kami sering riset jenis anyaman bahkan sampai membongkar-pasang anyaman yang kami beli dari NTT, Lombok, dll.,” katanya. Setiap anyaman memiliki tingkat kerumitan yang berbeda, sehingga pihaknya terus mengeksplorasi jenis anyaman, terlebih yang akan diaplikasikan ke produk tas.

Kini, Rorokenes tidak hanya dipasarkan di dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri, seperti Belanda, Hong Kong, Australia, Singapura, dan Jepang. Tas anyaman kulit ini diproduksi 350-400 buah per bulan dengan jumlah pegawai in house 12 orang dan sisanya alih daya. “Kami mempekerjakan ibu-ibu sekitar untuk membantu membuat anyaman. Satu anyaman saja bisa dibuat selama lima hari sebelum dijahit menjadi tas. Jadi, kami sangat butuh bantuan untuk tenaga kerja penganyam,” kata Syanaz. Ia menjelaskan, produknya 85% dibuat dari bahan lokal, yaitu dari kulit sapi atau domba lokal. “Saya bekerjasama dengan tiga supplier kulit sapi/domba yang sudah memiliki SNI dan ISO,” ujarnya.

Rorokenes sekarang memiliki 50-60 jenis tas. Untuk setiap jenis produk, penamaannya berbeda-beda. Ada Srikandi, Dahayu, Keong Ayu, Kamandhaka, Larasati, dll. Pemilihan nama ini terinspirasi dari bahasa Jawa. Harga produknya dijual dari Rp 800 ribu sampai Rp 3 juta untuk produk tas biasa. Corporate gift Rp 100 ribu-1 juta. Target pasar yang dibidik adalah pelanggan usia 28-45 tahun. “Tapi, kadang-kadang di bawah 28 tahun juga ada yang suka dengan tas Rorokenes. Biasanya yang di bawah 28 tahun ini suka pakai tas kecil-kecil seperti clutch,” kata Syanaz.

Saat ini, ruang pajang Rorokenes ada di Banyumanik, Semarang. “Semua pembeli kami arahkan ke sana. Kami juga ada website Rorokenes dan kami belum masuk ke ritel dan e-commerce. Mengapa? Sejauh ini, kami justru masih sibuk karena mengerjakan anyaman itu sangat rumit. Namun, saat ini kami melayani maklun, jual ke luar negeri melalui website, dan melayani corporate gift,” papar Ketua International Council for Small Business (ICSB) Semarang ini.

Bicara ke depan, pengurus Kadin Semarang dan Hipmi Jawa Tengan ini ingin Rorokenes lebih terorganisasi, lebih profesional, produksinya bisa dua kali lipat, dan workshop-nya lebih besar. “Rorokenes telah memenangi Femina Award Inacraft pada 2017, kemudian menjadi konten video blibli.com untuk project the Big Start 2018,” kata Syanaz bangga.

Ika Tejaningrum, Kepala Divisi Pengembangan Ekonomi Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Ja-Teng, menilai Rorokenes merupakan produk lokal yang memiliki standar internasional sehingga di luar negeri seperti di Moskow dianggap sebagai produk high class. Tas ini mempunyai ciri khas dan kualitas secara internasional tetapi harganya relatif murah.

“Saya lihat Rorokenes merupakan salah satu pelaku IKM (industri kecil menengah) yang progres-nya bagus. Volume produksinya tinggi (per tahun 4.000 buah), omset miliaran per tahun. Inilah salah satu contoh yang bisa kami promosikan sebagai acuan pelaku usaha lain untuk meningkatkan ekspor dari Ja-Teng,” kata Ika menginformasikan. (*)

Dede Suryadi dan Andi Hana Mufidah Elmirasari; Riset: Nico Augusta

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved