Technology

Barang Terpantau, Pelanggan Tak Perlu Risau

Barang Terpantau, Pelanggan Tak Perlu Risau

Untuk menyederhanakan proses kerja sekaligus meningkatkan layanan bagi pelanggan, perusahaan jasa kurir Tiki JNE mengembangkan sistem berbasis TI yang disebut My-Orion. Bagaimana hasil dan manfaatnya?

“Kalau belanja online, jasa kurirnya pakai Tiki JNE aja. Supaya lu ngerasa secure. Karena lu bisa memantau pergerakan barang yang dibeli secara online,” celoteh seorang pria muda memberi saran kepada temannya yang mau belanja via Internet.

Di dunia belanja online di Tanah Air, nama jasa kurir Tiki JNE (sebutan populer PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir) memang cukup populer dibanding penyedia jasa kurir lainnya. Nyatanya juga cukup banyak toko online (e-store) yang menggunakan jasa Tiki JNE untuk layanan pengiriman barangnya ke konsumen.

Salah satunya toko online Tasunik (www.tasunik.com). Menurut Emmalia K., pemilik Tasunik, hampir setiap transaksi di toko online-nya, pengiriman barangnya menggunakan Tiki JNE. Pasalnya, Tiki JNE memiliki fasilitas pemantauan barang (tracking), sehingga cukup membantu pelanggan yang sering kali ingin mengetahui status barangnya. Supaya tidak direpotkan oleh pertanyaan yang sama, pihak toko Tasunik merasa perlu memberitahukan nomor resi pengiriman barang ke konsumen. “Jadi mereka bisa ngecek sendiri sampai di mana paket barang yang dibeli dari Tasunik.com,” ujar Emmalia.

Diklaim Emmalia, setiap harinya ia mengirimkan minimum lima kiriman. Jenis jasa JNE yang digunakan lebih banyak tipe Reguler (pengiriman 2-4 hari sampai tujuan). Alasannya, selain ongkosnya lumayan terjangkau, jenis layanan ini yang banyak dipilih konsumen. “Yang menentukan jenis paket kan konsumen, kami hanya mengarahkan mereka agar melihat sendiri di website Tiki JNE,” ujar wanita yang juga berprofesi sebagai sekretaris sebuah bank swasta ini.

Menurut Chandra Fireta, Direktur Keuangan yang juga membawahkan Divisi Manajemen TI Tiki JNE, pengguna layanan perusahaannya memang bisa memantau pergerakan barang yang dikirimkan. Setiap tahapan pengiriman dapat dipantau secara real time melalui website (www.jne.co.id). Konsumen tinggal memasukkan nomor resi pengiriman (airway bill number). Selanjutnya, ia dapat melihat status pengiriman paketnya. Misalnya, sudah sampaikah di kota tujuan, atau sedang dalam perjalanan ke alamat tujuan. “Customer dapat memantau secara online. Bahkan, report-nya sangat detail hingga ke status barang dan waktunya,” ungkap Chandra bersemangat.

Itu semua dimungkinkan karena manajemen Tiki JNE telah melakukan perombakan sistem TI-nya. Tujuannya, menyimplifikasi proses bisnis perusahaan, sekaligus meningkatkan layanan (memberikan kemudahan) bagi pelanggan. Diklaim Chandra, sebenarnya ketika perusahaan didirikan tahun 1990, pemanfaatan TI sudah ada, berupa komputerisasi. Namun, sistem komputerisasi bisnis yang dilakukan pun masih terfragmentasi atau terpecah-pecah antara satu divisi dengan divisi lainnya, belum terintegrasi.

Chandra mencontohkan proses pengiriman paket dari Jakarta ke Surabaya. Pada sistem terdahulu, ketika konsumen datang ke konter, petugas memasukkan data. Lantas, resi di-input ke dalam sistem lokal yang ada di konter itu. Begitu pula petugas JNE yang ada di bandara melakukan hal yang sama. Proses tersebut berulang-ulang hingga paket sampai ke Surabaya (kota tujuan). Bahkan, petugas konter di kantor cabang Surabaya juga meng-input data lagi. Proses yang berulang-ulang ini tentunya memakan banyak waktu. Belum lagi, input data tidak bisa langsung tercatat secara online. “Semua laporan keuangan dari penjualan jasa juga belum otomatis. Jadi, mesti kami masukkan lagi ke sistem yang ada di bagian keuangan,” papar Chandra.

Kondisi tersebut bertahan cukup lama. Ketika itu, menurutnya, dari segi teknologi belum ada produk software yang mampu menjawab kebutuhan, meskipun ide mengintegrasikan sistem sudah terpikirkan, bahkan sudah dibuat prototipenya.

Menurut Johari Zein, Direktur Eksekutif Tiki JNE, ketika itu pihaknya melakukan benchmarking penggunaan TI pada perusahaan sejenis berskala internasional. Kesimpulannya, untuk mengaplikasikan sistem berbasis TI yang real time, Tiki JNE harus memanfaatkan teknologi satelit. “Tahun 1990-an banyak perusahaan internasional menggunakan satelit,” kata Johari.

Manajemen Tiki JNE berpikir, jika Tiki JNE bisa menerapkan teknologi satelit, daya jual perusahaan akan terkerek. Namun tentunya, penggunaan satelit membutuhkan biaya sangat tinggi. Artinya, akan berimbas pada harga jual ke konsumen. Jadi, dari hitung-hitungan bisnis, pemanfaatan teknologi satelit tidak mungkin dilakukan. Solusinya, hanya terus melakukan enhancement pada sistem yang sudah ada. “Kami juga terus melakukan studi untuk mencari solusi. Termasuk mencari beberapa ekspert di bidang TI. Tahun 1997, kami menemukan konsultan yang bisa menerjemahkan ide-ide sesuai kebutuhan Tiki JNE ke dalam sebuah workflow,” ungkap Chandra.

Manajemen Tiki JNE pun membentuk Tim IT Support, sekaligus membuat blue print. Sistem lama dirombak total: mulai back end hingga front end-nya. Lalu, oleh konsultan TI bernama Liem Pat Seng, dikembangkan sebuah sistem (aplikasi) terintegrasi yang disebut My-Orion, menggunakan bahasa pemrograman Delphi dan Java. Bahasa ini dinilai cocok sebagai aplikator modul yang ada di My-Orion.

Sementara itu, agar sistem ini bisa online dipilihlah teknologi jaringan VPN IP-MPLS (Virtual Private Network Internet Protocol- Multiprotocol Label Switching) dari Telkom. Jadi, VPN Telkom menghubungkan banyak jaringan data. Toh, butuh waktu hingga 6 tahun untuk mengembangkan My-Orion, sehingga baru bisa go live pada 2003.

Sekarang, sistem ini telah terkoneksi di 61 cabang dan agen Tiki JNE di seluruh Indonesia. Perusahaan kurir ini didukung 2.633 karyawan dengan 140 unit kendaraan.

“Sekarang semua proses dapat dilakukan dengan My-Orion. Selain memudahkan konsumen memantau status pengiriman, My-Orion juga langsung terkoneksi secara real time dengan sistem akunting milik Tiki JNE,” ujar Chandra. “Jadi, begitu petugas di gerai memasukkan data kiriman, saat itu juga masuk ke sistem keuangan kami, sehingga tidak perlu repot input data keuangan lagi,” ia menambahkan.

Tiki JNE membangun ruangan sendiri untuk menyimpan server. Gedung Tiki JNE yang ada di Jl. S. Parman menjadi pusat server (data centre). Data storage yang menggunakan sistem dari Oracle itu memiliki kapasitas hingga ratusan terabyte. Diperkirakan server ini mampu mencatat data kiriman hingga maksimum tiga tahun. Lalu, untuk back up server, Tiki JNE membangun Disaster Recovery Centre (DRC) di Surabaya.

Berapa investasinya untuk membangun sistem tersebut? “Cukup besar. Karena kami bangun semuanya sendiri. Dari server, data storage, software dan hardware,” ungkap Chandra tanpa bersedia menyebut nilainya. “Yang jelas, untuk hardware tak kurang dari 2.000 unit PC yang digunakan untuk mendukung My-Orion,” Johari menambahkan.

Diklaim Chandra, penerapan sistem terintegrasi My-Orion mampu memotong proses kerja Tiki JNE. Pasalnya, dengan My-Orion tidak perlu lagi meng-input data kiriman yang jumlahnya mencapai satu juta paket tiap bulan. Padahal, Tiki JNE tidak hanya menangani pelanggan ritel, tetapi juga korporat yang punya kultur tersendiri: barang yang akan dipaket dan dikirimkan harus dijemput di tempat klien.

Selain itu, ditambahkan Johari, penerapan sistem My-Orion mampu memperbaiki akurasi data dalam setiap perubahan waktu pemrosesan. Walaupun rata-rata dalam sebulan menangani satu juta kiriman paket, sistem ini mampu memberikan status yang jelas. Pasalnya, tiap kali barang berpindah, selalu ada proses pemindaian dan pencatatan.

Bagaimana cara kerja sistem untuk pelanggan korporat? Begini. Petugas kurir Tiki JNE mengambil paket ke perusahaan, yang telah mengisi formulir pengiriman. Sampai di kantor cabang, nomor resi berikut data kiriman lainnya dimasukkan ke sistem My-Orion, sehingga semua datanya langsung tercatat. Untuk pelanggan korporasi ini cara bayarnya dengan invoice bulanan. Jadi, selain dapat diakses secara online oleh pelanggan, bagian keuangan pun tidak perlu meng-input ulang data untuk dijadikan invoice. Tinggal masuk ke sistem dan dicetak. Semua sudah terekam. “Sebelumnya, cara ini tidak dapat dilakukan lantaran semua sistem masih berdiri sendiri-sendiri,” ujar Chandra.

Dari sisi status barang, ada proses tersendiri. Mulai dari saat kirim, pengantaran dan tiba di tempat tujuan. Ini lebih kompleks dari sistem reservasi tiket: setelah terbang selesai. “Kalau Tiki JNE tidak, karena di waktu tertentu masih ada keterikatan hingga barang sampai ke tempat tujuan,” Johari menjelaskan.

Diakui Chandra, praktiknya, banyak kendala yang ditemui saat implementasi My-Orion. Sebab, change management yang terjadi memerlukan proses panjang. Perubahan penggunaan sistem tidak serta-merta dapat dilakukan. “Penyesuaian sistem ini tidak mudah, utamanya soal kultur. Kami harus melakukan sosialisasi dan pelatihan agar semua orang familier dengan sistem baru,” katanya.

Maka, minimum satu orang staf IT Support (yang saat ini total terdiri dari 40 orang) dikirim ke masing-masing cabang. Bahkan, sampai sekarang, sebulan sekali ada pelatihan refleksi bagi para staf IT Support kantor cabang. “Untuk upgrade kemampuan troubleshooting mereka di daerah saja,” ucap Chandra.

Soal benefit-nya, selain mampu menyederhanakan proses kerja, penerapan My-Orion secara langsung atau tidak, berpengaruh terhadap kinerja perusahaan. Diklaim Chandra, rata-rata per tahun pertumbuhan bisnis Tiki JNE minimum 20%. Adapun kontribusi pendapatannya, terbesar (60%) masih dari pelanggan ritel, dan sisanya dari korporat.

Tak berhenti dengan sistem My-Orion, Tiki JNE kini sedang mengembangkan aplikasi baru, yang disebut Electronic Consignment Note (Eco-Note). Aplikasi ini memungkinkan reduksi penggunaan kertas. Jadi, resi pengiriman tidak lagi dicetak, tetapi menggunakan sistem bar code. Dengan Eco-Note, petugas cukup melakukan pemindaian bar code pada paket kiriman. Bagusnya lagi, sistem Eco-Note ini juga terkoneksi dengan My-Orion. Targetnya, tahun ini Eco-Note sudah dapat diaplikasikan di seluruh konter JNE.

Riset: Sarah Ratna

Sebelum Penerapan My-Orion

Sistem komputerisasi masih terfragmentasi, belum terintegrasi.

Input data berulang-ulang dan tidak langsung tercatat secara online.

Semua laporan keuangan dari penjualan jasa belum otomatis, mesti di-input ke sistem yang ada di bagian keuangan.

Kemungkinan terjadi kesalahan dalam proses input masih cukup besar.

Konsumen tak bisa memantau barang kirimannya.

Setelah Penerapan My-Orion

(Go Live pada 2003)

Sistem terintegrasi dan terkoneksi secara real time dengan sistem keuangan.

Memangkas proses kerja, karena tidak perlu input ulang.

Mampu memperbaiki akurasi data dalam setiap perubahan waktu pemrosesan.

Konsumen bisa memantau status pengiriman cukup lewat website Tiki JNE.

A. Mohammad B.S. & Sigit A. Nugroho


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved