Technology

Berbagi Ilmu ala Raksasa Resto Cepat Saji

Berbagi Ilmu ala Raksasa Resto Cepat Saji

Yum! Brands memiliki dan mengelola merek-merek resto top yang jaringannya terbesar di dunia, terutama KFC, Pizza Hut dan Taco Bell. Ternyata, ada resep jitu di balik sukses ekspansi internasionalnya: kolaborasi dan berbagi know-how.

Anda mungkin belum kenal brand Taco Bell, resto yang menyajikan hidangan Meksiko. Namun, kemungkinan besar Anda sudah amat kenal dengan merek KFC dan Pizza Hut. Ketiga merek jaringan resto fast food terkenal di dunia ini dimiliki satu perusahaan, yakni Yum! Brands Inc., yang bermarkas di Louisville, Kentucky, Amerika Serikat.

Asal-muasal Yum! Brands adalah perusahaan bernama Tricon Global Restaurants Inc., yang didirikan pada Oktober 1997, hasil dari spin out (pemisahan) unit usaha PepsiCo, yang memiliki dan mewaralabakan merek jaringan resto KFC, Pizza Hut dan Taco Bell di seluruh dunia.

Pada Maret 2002, Tricon mengakuisisi perusahaan resto yang bermarkas di Lexington, Kentucky, bernama Yorkshire Global Restaurants, si pemilik jaringan resto Long John Silver’s dan A&W All-American Food. Menyusul proses penyatuan usaha ini, pada Mei 2002 nama Tricon berubah menjadi Yum! Brands Inc.

Pada 2003, perusahaan dengan nama baru ini meluncurkan gerai resto WingStreet, sebagai unit combo hibrid yang menggunakan waralaba Pizza Hut yang sudah ada dan digabungkan dengan resto PastaBravo. Ini kelanjutan dari akuisisi Yum! terhadap konsep Pasta Bravo, yang dibeli dari Pasta Bravo, Inc., perusahaan asal Aliso Viejo, California, seharga US$ 5 juta. Lalu, pada 2004, sebuah restoran gaya kafetaria East Downing diujicoba di Shanghai. Karena gagal, Yum! menggantikannya dengan model resto KFC, yang ternyata memang memperoleh sukses besar di Cina. Pada Oktober 2009, manajemen Yum! meluncurkan gerai resto WingStreet secara nasional (di AS). Selama 2007-08, ada seribu gerai resto WingStreet yang dibuka dalam setahun.

Kendati begitu, pertumbuhan bisnis Yum! di AS belakangan melambat dibandingkan ekspansinya yang cepat di tahun-tahun sebelumnya. Penyebabnya adalah pasar domestik AS yang sudah jenuh. Karena itu, tak mengherankan, target ekspansi bisnis merek-merek di bawah kendali Yum! diarahkan ke negara-negara lain. Contohnya, di Cina — negara yang punya banyak penduduk — Yum! bisa menikmati pertumbuhan bisnis cukup tinggi.

Pada Januari 2011, ada langkah strategis yang diumumkan manajemen Yum!, yakni rencana mendivestasi kepemilikannya di Long John Silver’s dan A&W. Alasannya, dengan sedikitnya jumlah gerai dua jaringan resto ini di luar AS dan Kanada, kedua merek ini dinilai tak lagi sesuai dengan rencana pertumbuhan jangka panjang Yum!. Omset keduanya pun dinilai rendah dibandingkan merek resto lain yang dipegang Yum!. Tegasnya, Yum! ingin fokus mengembangkan merek-merek utamanya — KFC, Pizza Hut dan Taco Bell— di pasar internasional.

Kini, Yum! punya 1,2 juta karyawan yang bekerja di lebih dari 38 ribu gerai restoran di 110 negara/teritori. Perusahaan ini mengoperasikan dan mewaralabakan beberapa rantai resto terkenal KFC, Pizza Hut dan Taco Bell. Pada 2010, omset total perusahaan yang duduk di peringkat 214 daftar Fortune 500 ini mencapai US$ 11 miliar. Perusahaan ini punya tiga divisi besar, yakni Divisi AS, Divisi Internasional (Yum! Restaurants International) dan Divisi Cina. Pada 2010, di luar AS, Yum! membuka rata-rata empat gerai resto baru setiap hari, menjadikannya leader dalam hal pengembangan jaringan ritel internasional.

Selain itu, Yum! juga punya nama bagus dalam hal corporate social responsibility (CSR). Program World Hunger Relief yang diluncurkannya , bekerja sama dengan UN World Food Programme (WFP), tergolong sukses menyelamatkan banyak nyawa orang yang kelaparan di seluruh dunia. Hingga saat ini, program tersebut telah mampu mengumpulkan dana US$ 60 juta dari seluruh dunia yang didedikasikan untuk WFP.

Kendati pencapaian Yum! tergolong bagus hingga saat ini, masih ada sejumlah tantangan yang dihadapinya. Boleh dibilang, ini memang masalah generik yang dihadapi industri jaringan resto, yakni mencakup tingginya turnover karyawan, operasi bisnis yang terpencar, meningkatnya ekspektasi pada layanan pelanggan, dan adanya kebutuhan untuk mengefisienkan biaya.

Nah, untuk menjawab tantangan tersebut, manajemen Yum! merasa perlu mengoneksikan cabang-cabang restonya di seluruh dunia. Yum! pun mengimplementasikan Saba Centra, sistem kolaborasi real-time. Mulanya, tool ini hanya untuk pelatihan dan pengembangan produk di lingkungan Yum!, tetapi kemudian menjadi tulang punggung untuk kebutuhan koneksi dan kolaborasi. Mulai dari karyawan gerai resto hingga eksekutif C-level Yum! bisa memanfaatkan sistem ini, seiring dengan penggunaan Saba Learning sebagai solusi untuk pelatihan budaya perusahaan, pengembangan kepemimpinan, seminar via web (webinar), hingga pertemuan kuartalan para eksekutif.

Sebelum Saba Centra diimplementasikan, awak Yum! internasional sulit berkomunikasi. Maklum, biaya komunikasi internasional mahal. Akibatnya, mereka tidak bisa berkomunikasi long-distance. Juga, tak ada nomor telepon toll-free. Nah, kehadiran Saba Centra memungkinkan komunikasi awak Yum! yang terpencar secara global itu berkat adanya fitur yang berbasis Voice over Internet Protocol (VoIP). Dengannya pula, Yum! bisa memperluas cakupan pelatihannya ke seluruh dunia yang mulanya hanya bisa dilakukan secara tatap muka di wilayah AS.

Yum! juga memanfaatkan Saba Centra sebagai bagian dari strategi pembelajarannya, baik menggunakan sesi live maupun rekaman, untuk kegiatan pelatihan para anggota tim dan para manajer dalam beragam bahasa. Fitur pelatihan yang disediakan cukup interaktif dan melibatkan peserta secara penuh. Dengan membangun mekanisme pelatihan seperti ini, Yum! bisa menyelenggarakan pelatihan kurang dari sehari. Selain itu, yang pasti, Yum! juga bisa menghemat uang yang tadinya dibutuhkan untuk mengirimkan materi-materi pelatihan ataupun biaya perjalanan.

Sejak 2009, boleh dibilang Saba Centra telah memainkan peran penting dalam strategi pengembangan SDM Yum! secara global. Platform kolaborasi dan pembelajarannya telah memungkinkan Yum! memobilisasi tenaga kerjanya yang tersebar, meningkatkan keterampilan petugas layanan pelanggannya, dan mendongkrak produktivitas mereka.

Yang juga cukup menarik diamati dalam hal kolaborasi di Yum! adalah bagaimana sistem TI membantu proses berbagi pengetahuan dan keterampilan (know-how) secara global. Ini tampaknya sejalan dengan visi Chairman dan CEO-nya, David Novak, yang menganggap ide-ide bagus bagi perkembangan perusahaannya hanya bisa didapat dari customer insight dan pengembangan know-how. “Buat kami merupakan hal amat penting untuk menjadi pembelajar cepat, yang mengejar pengetahuan dan best practices, baik dari dalam maupun luar perusahaan,” kata eksekutif yang sudah mengabdi belasan tahun di Yum! ini.

Menurut Novak, membangun know-how adalah satu prinsip penting dari budaya perusahaan yang dikembangkan Yum!, “How We Win Together”. “Itu juga kunci inovasi,” katanya. Ia meyakini setiap awak Yum! bisa membuat perbedaan, tak peduli di mana dan apa fungsi yang dimainkan. “Beberapa inovasi besar kami justru datang dari para mitra waralaba,” ujar eksekutif yang masuk dalam Top 10 Most Innovative People di industri quick service ini.

Pentingnya inovasi, menurut Novak, juga karena konsumen ingin lebih banyak pilihan terkait dengan gaya hidup mereka. Dan, mereka ini juga lebih selektif dalam membelanjakan uang. “Jadi, Anda harus bisa melihat setiap touch point pelanggan, mulai dari servis, menu hingga model delivery, serta juga proses memasak,” katanya setengah berteori.

Memang, dengan beragamnya merek — dan tentu saja jenis hidangan yang dijagokan setiap merek resto — serta tersebarnya gerai resto di seluruh dunia, karyawan Yum! di seluruh dunia perlu bertukar ide agar bisa menghasilkan produk baru yang menguntungkan dan bagaimana bisa menghemat biaya operasional. “Kami membuat piza, taco dan ayam goreng di seluruh dunia. Jadi, kami perlu punya struktur yang memungkinkan pengetahuan kolektif kami bisa dibagikan secara mudah,” ujar Dickie Oliver, VP TI Yum!.

Sejak dua tahun lalu, sistem kolaborasi know-how yang disebut iChing telah diimplementasikan. Oliver sendiri berharap sistem iChing bisa menjadi sistem default bagi proses kerja karyawan. Namun, membuat orang mau menggunakan sistem itu butuh kombinasi penerapan TI, kebijakan dan perubahan budaya.

Dari operasional bisnisnya, perusahaan seperti Yum! memang bisa mengumpulkan banyak data mengenai pelanggan ataupun produknya. Namun, kendala teknologi dan kultural sering menghambat perusahaan tersebut bisa memanfaatkan lebih jauh data yang dikumpulkannya. Salah satu problem yang biasa muncul adalah ketidaktahuan karyawan di mana mereka bisa menemukan informasi yang dibutuhkan.

Perkembangan teknologi media sosial rupanya membantu Yum! mengembangkan sistem yang dibutuhkan. Nah, sistem iChing dikembangkan dengan menggunakan aplikasi social business dari Jive Software. Fitur yang disediakan lumayan komplet. Ada halaman wiki, blog, catatan rapat (meeting minutes), rencana proyek, laman internal (internal websites), dan fasilitas penyimpanan aneka jenis data. Di sistem iChing, karyawan pengguna bisa menciptakan halaman profil yang antara lain bisa menampilkan minat profesional dan personal mereka masing-masing. Profil personal ini juga bisa dihubungkan dengan kolega global mereka, terkait dengan minat, fungsi pekerjaan, merek, dan lokasi resto. “Fasilitas seperti ini bisa mempercepat komunikasi dan membantu karyawan mengembangkan ide lebih cepat,” ujar Oliver.

Meminta para staf pengguna untuk memperkaya iChing dengan konten mereka mungkin akan memakan waktu lama dan membuat mereka tidak nyaman (karena berarti ada pekerjaan tambahan). Karena itu, manajemen TI Yum! meminta mereka hanya men-tag item informasi di mana data itu berada, entah di laptop maupun shared server. Dengan demikian, kolega mereka bisa menemukan informasi yang dibutuhkan cukup menggunakan peranti pencarian korporat dari Coveo. Sebagai misal, informasi “rencana peluncuran produk” dan materi sensitif lain yang semacamnya bisa diklasifikasikan “private” dan hanya dapat dilihat oleh sejumlah karyawan. Adapun materi diskusi mengenai best practices bisa di-tag sebagai informasi “open”. Ambil contoh, ada topik yang membicarakan rencana manajemen Yum! berekspansi tahun ini ke Prancis, India dan Rusia. Juga, ada topik mengenai hasil pengujian sejumlah makanan breakfast di gerai KFC dan Taco Bell.

Kendati sudah cukup memadai, Oliver masih punya rencana menambahkan aplikasi dan fitur di sistem iChing yang akan menjadikannya sebagai aplikasi must-visit. Sebagai contoh, pada dasbor para manajer (via layar komputer atau tablet), akan ditampilkan beberapa kanal informasi. Misalnya mengenai karyawan, ada data yang menunjukkan pelatihan apa saja yang telah mereka terima.

Sejauh ini, sistem iChing memang telah memberikan sejumlah manfaat bisnis bagi Yum!.

Sebagai contoh, ada jenis produk minuman beku bernama Krushers, yang mulanya diluncurkan di Australia. Lewat iChing, sukses Krushers di Negeri Kanguru itu didiskusikan dan oleh beberapa manajer di negara lain dicoba-coba untuk disesuaikan dengan selera lokal. Salah satu hasilnya, gerai-gerai KFC di India meluncurkan Krushers versi mereka sendiri. “Konsep-konsep (produk) seperti itu jadi bersifat transportable. iChing memungkinkan hal itu terjadi,” kata Oliver bangga. “Kami jadi bisa mengangkat ide-ide besar ke luar dari sebuah area geografis dan mentransfernya ke wilayah lain.”

Tampaknya, berbagi know-how dan inovasi itulah yang menjadi senjata rahasia keberhasilan merek-merek di bawah Yum! Brands. (*)

Riset: Sarah Ratna Herni

Sekilas Profil Yum! Brands Inc.

– Didirikan : Oktober 1997 (by PepsiCo.)

– Bisnis : chain restaurants company

– Kantor pusat : Louisville, Kentucky, AS

– Chairman & CEO : David C. Novak

– Website : www.yum.com

– Omset (2010) : US$ 11,34 miliar (peringkat 214 dalam Fortune 500)

– Jumlah gerai (2010) : hampir 38 ribu gerai di 110 negara/teritori

– Jumlah personel : 1,2 juta associates

– Portofolio Merek : KFC , Pizza Hut, Taco Bell, WingStreet, East Dawning, Pasta Bravo, serta Long John Silver’s dan A&W (dua merek yang akan didivestasikan)

Sistem-sistem Penting di Yum! Brands

I. Sistem Komunikasi dan Pelatihan

Nama sistem : Saba Centra

Vendor : Saba

Sistem pendukung : teknologi VoIP

Kegunaan : komunikasi murah, pelatihan, webinar dan pertemuan kuartalan

II. Sistem Knowledge Sharing

– Nama sistem : iChing

– Basis : Jive Software

– Fasilitas : wiki, blog, project plan, meeting minutes, personal website, data

– Sistem pendukung : search engine Coveo

– Kegunaan : menangkap customer insight dan berbagi know-how, best practices, rencana kerja, dan info karyawan


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved