Technology

Dari Cost Centre Menjadi Profit Centre

Dari Cost Centre Menjadi Profit Centre

Bagi maskapai besar sekelas British Airways, mengelola secara in-house urusan maintenance, repair & overhaul (MRO) armada pesawatnya memang lebih murah. Apa yang mendorong maskapai beromset US$ 12 miliar ini kemudian mengomersialkan kapabilitas MRO-nya?

Di dunia bisnis penerbangan, faktor keberhasilan bukan cuma dilihat dari seberapa banyak sebuah maskapai mampu membawa terbang penumpang. Bukan pula hanya dari berapa banyak frekuensi terbang armada pesawatnya. Sekarang, urusan pemeliharaan (maintenance) pesawat juga dianggap amat penting bagi keberhasilan sebuah maskapai mendatangkan laba.

Kalangan operator transportasi udara menyadari bahwa biaya pemeliharaan yang rendah merupakan kontributor penting bagi profitabilitas mereka. Tak heran, banyak pabrikan pesawat dan suku cadangnya yang kini bekerja sama erat dengan kalangan operator untuk tetap menghasilkan perangkat yang berbiaya pemeliharaan rendah. Selain itu, lembaga pemerintah dan pendidikan penerbangan telah memperkenalkan teknik pelatihan pemeliharaan pesawat yang lebih cerdas, misalnya dengan metode virtual reality maintenance. Dengan perkembangan seperti ini, secara umum kegiatan operasional industri penerbangan jadi lebih ekonomis.

Pada era 1950-an, persentase biaya pemeliharaan – yang meliputi MRO – mencapai dua digit dari total biaya operasional. Di era 2000-an sudah di bawah 10%. Contohnya pada 2009 biaya MRO British Airways 8%, sedangkan Southwest Airlines 7,69%. Pabrikan pesawat pun berupaya membuat pesawat dengan maintenance cost lebih rendah. Misalnya, Boeing menjamin produksi kebanggaannya, B787 Dreamliner, punya biaya pemeliharaan 30% lebih rendah dibanding B767. British Airways sendiri mengorder puluhan B787 dari Boeing.

Memang, banyak desain pesawat terbaru yang klop dengan perangkat baru yang dipakai kalangan pekerja MRO. Karena itu, pekerjaan inspeksi visual pada pesawat ataupun mesinnya jadi lebih mudah. Bahkan, Olympus sudah mengenalkan perangkat untuk melakukan pemeriksaan visual jarak jauh (remote visual inspection) pada pesawat.

Pentingnya jasa MRO dari sisi bisnis memunculkan para spesialis di bidang ini. Maklumlah, karena tergolong kompleks dan rumit, bidang jasa MRO cukup banyak, mulai dari jasa inspeksi, reparasi dan overhaul kerangka pesawat, refitting komponen dan interior, hingga pekerjaan yang terkait dengan mesin pesawat misalnya cek dan pembersihan mesin.

Pada 1990-an itu muncul sejumlah spesialis MRO yang cukup sukses. Antara lain FLS Group di Inggris, Caledonian Engineering, TEAM Aer Lingus dan Shannon Aerospace di Irlandia, Jet Aviation di Swiss, serta sejumlah pemain dari Amerika Serikat seperti Pemco, Timco Aviation Services, dan Evergreen Maintenance. SR Technics, divisi yang masih bertahan dari Swissair (maskapai yang bangkrut) yang dimiliki konsorsium dari Uni Emirat Arab, mengakuisisi FLS dan TEAM, kemudian menjadi pemain dominan di Eropa.

Nah, dari sisi maskapai, urusan pemeliharaan pesawat ini ternyata menimbulkan dilema: mengerjakannya secara in-house atau menyerahkan pada provider jasa MRO. Bila ditanyakan pada para eksekutif industri penerbangan, jawabannya bisa berbeda-beda. Namun, secara umum kalangan maskapai start-up (pemula) dan low cost carrier (LCC) betul-betul menggantungkan kebutuhan maintenance pesawatnya ini pada provider pihak ketiga. Sementara kalangan maskapai lama yang besar cenderung menggunakan kapabilitas internalnya (in-house).

“Kalangan LCC sejak awal mendesain model bisnis mereka memang dengan tidak memasukkan aktivitas pemeliharaan pesawat sebagai aktivitas inti,” ujar Jonathan Berger dari SH&E Consultants. “Adapun maskapai yang lebih besar memilih mengerjakan sendiri karena lebih murah dibanding memakai jasa dari pasar. Mereka hanya mengalihdayakan apa yang mereka tidak bisa lakukan secara in-house,” sambungnya.

British Airways (BA) selama ini tergolong sebagai maskapai yang mengelola secara in-house urusan pemeliharaan armada pesawatnya. Maklumlah, sebagai salah satu maskapai besar dunia, ia merasa akan lebih murah mengelola sendiri urusan pemeliharaan armadanya. Dua puluh tahun lalu, divisi BA Engineering-nya, unit yang mengelola pekerjaan pemeliharaan ini, sampai diperkuat 18 ribu karyawan. Namun, beberapa tahun kemudian, ketika bisnis menyusut, beberapa layanan pemeliharaan ini diciutkan dan ada yang dikontrakkan ke luar, sehingga total karyawan divisi ini cuma sekitar 4 ribu.

Nah, belakangan, terdorong oleh perbaikan sistem dan manajemen MRO di tubuhnya, maskapai beromset US$ 12 miliar ini pun cukup percaya diri mengomersialkan kapabilitas MRO-nya. Jadi bukan hanya untuk dipakai oleh armadanya sendiri, tetapi juga menyediakan jasanya buat maskapai lain. Pada September 2010, BA meneken kesepakatan dengan Tata Consultancy Services (TCS), perusahaan konsultan TI asal India, meluncurkan secara komersial solusi Swift MRO.

Guna mendukung langkah terobosan ini, BA pada September 2010 juga merekrut sekitar 90 teknisi untuk diikutsertakan dalam program pemagangan. Ini memang menjadi bagian dari program ambisius BA mengembangkan bisnis layanan MRO-nya. “Kami sekarang ini masih melihatnya sebagai cost centre. Tapi, dengan ambisi besar mengembangkan bisnis, kami pikir ini peluang untuk menjadikannya sebagai profit centre,” ujar Garry Copeland, Direktur BA Engineering.

Namun, perjalanan BA untuk percaya diri bahwa sistem MRO-nya sudah amat oke sehingga layak dikomersialkan, cukup panjang. Maskapai ini pernah bersusah payah mencari sistem terpadu guna menggantikan aplikasi MRO warisan lamanya. Maklum, aplikasi lama ini jumlahnya lebih dari 60 sistem yang dibangun beberapa tahun lampau. Padahal, masalah enjiniring yang ditanganinya cukup masif, dan kebutuhannya berkembang secara dinamis. “Aplikasi itu dibuat beberapa tahun lalu, ketika TI pertama kali diterapkan di industri penerbangan,” ujar Paul Coby, mantan CIO dan Kepala Shared Services BA (yang baru saja pindah dari maskapai ini akhir 2010). “Sebetulnya sistem itu cocok dengan kebutuhan, tapi terhubung dengan sistem jaringan lama yang susah diubah, sehingga membatasi kemampuan BA mengembangkan proses bisnis,” katanya lagi.

Momentum pertamanya terjadi pada 2006 ketika maskapai kebanggaan rakyat Inggris ini memutuskan mengadopsi solusi MRO dari SAP. Karena pada dasarnya merupakan sistem enterprise resource planning (ERP), dan bukan best of breed dari software MRO khusus, maka diperlukan kustomasi untuk mendukung kebutuhan teknis dan perawatan yang menyeluruh dari salah satu maskapai besar dunia ini. Divisi TI BA juga mengonfigurasi sistem untuk mendukung proses keteknikan end-to-end, mulai dari pembelian suku cadang penting dari pemasok hingga ke lini perawatan di atas pesawat ataupun di terminal. “Langkah ini membuat kami beranjak dari abad lama dalam hal kontrol proses di lapangan,” kata Coby. Ya, sebab lebih dari 60 sistem lama diintegrasikan menjadi aplikasi tunggal yang modern, dan hanya punya satu workflow.

Proyeknya memang cukup masif dan berbujet besar. Ada artikel yang menyebutkan jumlah sistem legacy yang mesti digantikan di BA bukan cuma 60 sistem, melainkan 150 sistem. Karena itulah, kasus penerapan ERP dari SAP untuk kebutuhan MRO-nya ini sering disebut-sebut sebagai kasus klasik implementasi ERP di perusahaan penerbangan yang butuh pengorbanan besar. Memang, selain anggarannya yang membengkak, go live sistem barunya ini pun telat dua tahun.

Itu pun setelah pada Januari 2008, BA menggandeng salah satu penyedia jasa konsultan TI yang cukup ternama, TCS. Tujuannya membantu BA memuluskan proses implementasi dan penggunaan sistem MRO. Terbukti kerja sama ini menghasilkan sistem dan proses yang mampu meningkatkan efisiensi, memangkas biaya, mengoptimalkan inventori suku cadang, dan mengurangi kebutuhan tenaga kerja.

Nah, beberapa tahun setelah menikmati sistem barunya ini, manajemen BA menyadari mereka punya sistem yang bisa menghasilkan duit. “Ini kan bukan sekadar software dari SAP. Ini telah menjadi sistem MRO yang diimpelementasikan pada berbagai jenis pesawat dan proses end-to-end yang telah terbukti selama beberapa tahun,” ungkap Coby.

Selanjutnya, divisi BA Engineering menelaah seberapa dalam dan luas telah menggunakan sistem ini, dan sejauh mana dukungan TCS. Dari telaahannya, manajemen BA kemudian menelurkan proposisi komersial pada fasilitas MRO-nya, yang didukung penuh oleh TCS. Produk yang ditawarkan adalah solusi teruji yang mencakup kebutuhan kunci industri MRO seperti manajemen inventori, pengawasan kesesuaian, dan operasional pemeliharaan. Platformnya SAP dan sistemnya mendukung mulai dari urusan payroll hingga pemesanan suku cadang.

Petinggi BA pun kemudian memosisikan BA Engineering sebagai lembaga third party provider pelayanan proses MRO buat maskapai lainnya.

Untuk kebutuhan komersial ini, TCS mengembangkan versi prakonfigurasi dan moduler dari sistem MRO di BA yang kemudian disebut Swift MRO. Solusi ini berbasis platform teknologi terbaru SAP, yang mendayagunakan best practice BA dalam menjalankan proses MRO. Fokus solusi ini meningkatkan produktivitas dengan meminimalkan intervensi manual dan meningkatkan proses otomasi. Solusi yang ditawarkan juga menjanjikan bisa mengeliminasi aktivitas dalam proses MRO yang tak bernilai tambah. Semuanya dijalankan lewat fasilitas dengan antarmuka grafis (graphical user interface) yang sederhana.

Kelebihan lainnya, adanya solusi prakonfigurasi – yang menggunakan akselerator solusi dari TCS – yang diklaim bisa menghemat biaya implementasi secara signifikan dibanding jika menggunakan solusi MRO lainnya. “Dengan menggandeng TCS, kami bisa membentuk sebuah tim yang mengombinasikan pengalaman praktis di industri MRO dengan keahlian di bidang teknologi,” ujar Direktur BA Engineering Garry Copeland.

Istimewanya, layanan BA Engineering ini bukan cuma menyediakan sistem Swift MRO berikut dukungan teknisnya (dari TCS), tetapi juga fasilitas buat pelanggan BA yang ingin melatih para karyawannya mengingat pengalaman pengguna sistem di BA sendiri. Fasilitas pelatihan ini ada di markas BA di Heathrow, London.

BA Engineering kini mulai dikenal sebagai salah satu pemain industri MRO global yang punya keahlian teknis dan logistik. Kapabilitas inti BA Engineering mencakup pesawat Boeing 737, 747, 757, 767 dan 777, serta keluarga pesawat Airbus A320. Bisnisnya menjangkau lebih dari 100 lokasi di dunia dan diperkuat sekitar 4 ribu karyawan. Fasilitas hanggar yang lengkap peralatannya dan modern ada di basis pentingnya, yakni Bandara Heathrow, Gatwick dan Glasgow. Masing-masing fasilitas utama ini didukung area bengkel (workshop), layanan desain dan teknis, serta jaringan logistik yang komprehensif. Unit ini juga telah berinvestasi mengembangkan bisnis yang berpusat di South Wales, yang menyediakan layanan heavy maintenance, teknologi penerbangan, dan jasa interior.

BA Engineering saat ini mendukung penuh kebutuhan pemeliharaan armada BA (perusahaan induknya) dan sejumlah maskapai lainnya. Namun, porsi volume bisnisnya untuk pelanggan maskapai lain relatif masih kecil. Sekarang, baru 10% dari pekerjaan BA Engineering yang untuk pelanggan lain. Toh, manajemen BA optimistis angkanya bisa dobel.

Pesaing BA Engineering di industri MRO bukan hanya kalangan spesialis (nonoperator) di industri MRO, tetapi juga beberapa maskapai besar dunia lainnya yang punya unit bisnis MRO komersial. Memang, maskapai besar yang mengomersialkan fasilitas dan kapabilitas MRO-nya bukan cuma BA. Nama lain yang cukup beken adalah Delta Air Lines dan Lufthansa. Delta Air Lines (yang telah merger dengan Northwest Airlines) mengembangkan divisi Delta TechOps untuk mengelola maintenance armada pesawatnya, juga pada 150 maskapai lainnya. Manajemen Delta menargetkan revenue Delta TechOps bisa mencapai US$ 1 miliar, dengan catatan mampu menggarap pasar baru yang potensial seperti Brasil, India dan Cina.

Adapun maskapai besar dari Jerman, Lufthansa, mengembangkan unit MRO in-house-nya yang bernama Lufthansa Technik menjadi salah satu pemain penting di bisnis MRO. Kini, 45 pekerjaan Lufthansa didedikasikan untuk induknya, sedangkan sisanya untuk operator penerbangan lainnya. Lufthansa Technik kini mempekerjakan sekitar 30 ribu karyawan di seluruh dunia, dengan pelanggan sekitar 600 perusahaan.

Menurut Coby, di bidang keteknikan dan keamanan, maskapai lain bukanlah pesaing BA. “Di bidang ini kami adalah mitra,” kata Coby. Maksudnya, kalangan maskapai tidaklah bersaing dalam hal keteknikan dan keamanan, karena itu menjadi komitmen semua maskapai.

Riset: Sarah Ratna Herni

BOKS 1:

Sejarah Ringkas Perkembangan

British Airways

Pra-British Airways

Tahun 1970-an, Inggris punya dua maskapai yang dimiliki oleh pemerintah, yakni: British Overseas Airways Corp. (BOAC) yang mengoperasikan penerbangan jarak jauh internasional, dan British European Airways (BEA) yang melayani rute sekitar Eropa.

Pembentukan British Airways

British Airways terbentuk pada 1972 ketika manajemen BOAC dan BEA bersatu dalam sebuah organisasi bisnis pemerintah yang baru, yakni the British Airways Board. Kedua maskapai itu kemudian menyatukan operasinya dan mem-branding ulang menjadi British Airways pada 1974.

Kibarkan Slogan

Setelah merger, maskapai dengan nama baru ini memperkenalkan jet supersonik Concorde pada 1976, dan berhasil menggaet penumpang bisnis Trans-Atlantic yang prestisius. Maskapai ini juga mengibarkan slogan The World’s Favorite Airlines.

Privatisasi dan Akuisisi

Pada 1987, Pemerintah Inggris membawa British Airways ke bursa London Stock Exchange. Kemudian maskapai ini mengakuisisi kompetitor seperti British Caledonian pada 1987 dan Dan-Air pada 1992.

Era 2000-an

Selama era ini, British Airways memperkenalkan aliansi “Oneworld”. Maskapai ini masih mampu mencapai untung selama masa milenium baru dan mem-branding diri sebagai major full services carrier.

Sumber: http://www.ehow.com.

BOKS 2:

Milestone Perkembangan Layanan

MRO British Airways

Era 1990-an

Mengelola maintenance, repair, overhaul (MRO) armadanya secara in-house dengan mengembangkan puluhan sistem, dengan platform yang berbeda-beda.

Tahun 2006

Mengimplementasi sistem MRO dari SAP untuk menggantikan aneka ragam sistem legacy.

Tahun 2008

Menggaet Tata Consultancy Services (TCS) dari India untuk membantu memuluskan proses implementasi dan penggunaan sistem MRO berbasis SAP.

Tahun 2010

Menjalin kerja sama dengan TCS meluncurkan solusi MRO berbasis platform SAP bernama Swift MRO, termasuk buat maskapai lainnya secara komersial. Untuk mendukungnya diselenggarakan program pemagangan (apprenticeship) teknisi MRO.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved