Technology

Mengganti Sistem yang Sudah Cekak

Mengganti Sistem yang Sudah Cekak

Mengelola puluhan merek dan ratusan distributor bukan perkara gampang. Termasuk bagi pemain sekelas Unilever. Bagaimana bila sistem lama tak lagi memadai? Ikutilah pengalaman raja produk toiletries ini.

Dannarjaya H. Sri tampak asyik mengamati layar monitor PC-nya. Rupanya, Business System Head PT Unilever Indonesia ini sedang mencermati deretan angka, yang merupakan laporan data yang dikirimkan para distributor dan salesman dari berbagai tempat secara real-time. “Sebelumnya, laporan data tidak bisa dipantau secara real-time. Pengiriman data lama, sehingga pengambilan keputusan tidak bisa dilakukan secara cepat,” katanya menjelaskan. “Ini karena sistemnya standar, sehingga effort lebih susah,” pria berbadan tegap yang akrab disapa Dannar itu menambahkan.

Lantaran sistem yang tidak seragam, proses manufacturing di Jakarta dengan di Surabaya sering tak sejalan. Hal itu pula yang mendorong pihak Unilever melakukan pergantian sistem, yang prosesnya dilakukan sejak dua tahun lalu.

Menurut Dannar, sejak 1993 Unilever menggunakan aplikasi korporat Business Planning and Control System (BPCS) sebagai sistem back end-nya. BPCS dikembangkan oleh System Software Associates (SSA)–yang kemudian menjadi SSA Global Technologies dan diakuisisi Infor Global Solutions. BPCS digunakan untuk mengontrol operasional perusahaan di bidang manufacturing. Sistem berskala korporat ini bisa running pada beberapa sistem, terutama IBM System i (juga dikenal sebagai IBM AS/400 atau IBM eServer iSeries). “Tetapi, sistem BPCS ini bersifat proprietary, sehingga sudah tidak cocok dengan requirement dan kebutuhan bisnis,” ujar Dannar menyebutkan alasan teknis migrasi sistem ini.

Seiring dengan perkembangan bisnis, Unilever harus mengelola sekitar 30 merek dengan 700 stock keeping unit (SKU) dan 370 distributor untuk melayani dua model pasar yang berbeda. Setelah melalui analisis kebutuhan dan vendor, diputuskan sistem BPCS ini diganti dengan sistem SAP ECC6, yang go live pada awal tahun lalu. Hampir semua modul (MM, PP, PM, FI-CO, SD, QM, APO) diimplementasikan, dengan jumlah user sebanyak 1.500. “Pergantian sistem itu ditujukan untuk mengintegrasikan berbagai aplikasi yang ada, termasuk local applications. Juga, untuk meningkatkan kualitas informasi,” ungkap Dannar.

Dia mengakui, salah satu kendala yang dihadapinya ketika implementasi adalah sistem-sistem yang ada dan akan diintegrasikan berjalan di atas platform yang berbeda, sehingga diperlukan pekerjaan modifikasi. Selanjutnya, untuk menggabungkan berbagai aplikasi yang ada, tim TI Unilever membangun interface.

Kendala lain yang tak kalah besar menyangkut masalah change management, di mana para pengguna sistem harus meninggalkan proses dan kebiasaan kerja lama menjadi proses yang baru. “Supaya proses berjalan efektif, kami lakukan serangkaian pelatihan dan kontrol yang baik,” ucapnya. Untungnya, ini bisa berjalan cukup mulus.

Sementara itu, untuk sistem Executive Information System dan Business Intelligence (EIS dan BI), Unilever menggunakan aplikasi Business Warehouse dan Business Object. Sistem ini mengambil data dari aplikasi SAP (back end) dan informasi akan secara otomatis ter-update setiap hari.

Lalu, bagaimana sistem untuk distributor, gerai (supermarket/hypermarket), dan toko-toko kelontong?

Dijelaskan Dannar, Unilever memiliki dua model pasar (customer), yakni general trade dan modern trade. Kedua model customer tersebut menggunakan aplikasi yang berbeda. Untuk modern trade, seperti Carrefour, Ramayana dan Hypermart, pihak Unilever tidak mempunyai sistem khusus yang dipakai oleh pelanggannya. Akan tetapi, untuk pengirimian sales order digunakan sistem Electronic Data Interchange (EDI) –yang di Indonesia provider-nya adalah PT EDI Indonesia.

Adapun untuk general trade, dalam hal pengiriman dan permintaan barang ke berbagai toko oleh distributor, pencatatan datanya menggunakan aplikasi Distributor Management System yang menggunakan Distributed Model–artinya di setiap distributor ada satu instalasi aplikasi. Di sini terdapat beberapa aplikasi lokal yang digunakan Unilever. Salah satunya, aplikasi Scylla Pro dari PT Pratesis. Aplikasi itu mencakup beragam modul kebutuhan distribusi, dari penjualan, inventori, pembayaran, hingga operasional distributor. Begitu pula, untuk mendukung aktivitas para tenaga penjualan di lapangan digunakan aplikasi mobile dari vendor lokal. Tiap salesman dibekali sebuah handheld terminal (HHT) untuk mencatat dan melakukan order dari setiap toko yang didatanginya. “Salesman ini dari distributor, tapi HHT-nya kami yang beli. Jumlahnya sekitar 2.000 unit,” ucap Dannar.

Pengiriman data dari distributor tersebut dilakukan melalui koneksi Internet menggunakan teknologi Virtual Private Network. Setiap hari data dari distributor akan diekstrak secara terpusat dan otomatis.

Bagaimana alur kerjanya? Dijelaskan Dannar, proses order dilakukan melalui data submission dari semua distributor dan pelanggan modern trade. Selanjutnya, order dikonsolidasikan di kantor pusat (di Unilever Jakarta) untuk diteruskan ke sistem SAP. Sistem ini pula yang akan merencanakan proses pembelian bahan baku untuk kemudian digunakan dalam proses produksi produk Unilever sesuai dengan permintaan. Setelah barang jadi, produk akan didistribusikan ke semua pelanggan. “Setelah terjadinya penjualan, maka informasi tersebut akan ditampilkan di sistem Business Intelligence untuk konsumsi jajaran manajemen dan membantu dalam proses pengambilan keputusan.”

Diklaim Dannar, antara sistem inti dan DMS ini sudah terintegrasi. Dengan begitu, informasi penjualan, stok di distributor, permintaan barang (demand), hingga produksi barang sudah menjadi satu kesatuan proses dan otomatis (automated). Selain itu, sistem distribusi tersebut akan membantu praktik inventory management di distributor, selain proses order. Juga, informasi yang diperoleh akan lebih akurat dan cepat. “Sekarang, semua aplikasi di Unilever sudah teringrasi. Secara end to end sudah fully automated,” Dannar mengklaim dengan bangga.

Menurut Dannar, dengan adanya sistem terintegrasi ini, sebenarnya pihaknya terpaksa banyak mematikan aplikasi-aplikasi lama. Rumusnya, jika dianggap tidak sesuai dengan lanskap TI Unilever, aplikasi tersebut akan dimatikan.

Apakah kebijakan ini termasuk aplikasi lokal untuk distribusi? “Untuk sistem distribusi yang saat ini menggunakan distributed model sedang dikaji: apakah perlu diganti atau tidak. Sebab, kami menginginkan sebuah sistem yang centralized,” ujar Dannar serius.

Hadi Barko, konsultan TI yang berpengalaman di bidang ritel, mengingatkan bahwa jika Unilever sampai harus mematikan aplikasi lokal untuk distribusi, implikasinya bisa luas, baik bagi Unilever sendiri maupun distributor. “Memang, untuk standardisasi sistem distribusinya, bisa saja Unilever membeli aplikasi dari vendor luar. Tapi kan perlu melakukan modifikasi. Apakah hal itu tak akan mengganggu proses bisnisnya?” ujar Hadi dengan nada tanya.

Menurut Hadi, penggantian sistem distribusi ini tidak bisa dianggap pekerjaan sepele. Apalagi, proses bisnis industri distribusi di Indonesia tergolong unik. Banyak kasus lokal yang harus bisa diadopsi oleh aplikasi distribusi yang hendak diterapkan. Misalnya, soal pola diskon berjenjang (multiple discount structure) yang diperkenalkan para produsen lokal untuk menembus pasar. Atau, kasus kontra bon yang sangat khas Indonesia. “Nah, masalah lokal itu sering belum diakomodasi oleh aplikasi buatan vendor luar. Kalaupun ingin memakai aplikasi dari luar, harus mempertimbangkan upaya modifikasi, yang terkadang biayanya tidak murah,” kata Hadi mengulas.

Dalam hal ini, menurut Hadi, tak ada salahnya Unilever bisa belajar dari pihak lain yang pernah mencoba menerapkan aplikasi dari luar untuk sistem distribusinya. Konon, Indofood pernah mengimplementasi aplikasi untuk distribusi dari sebuah vendor multinasional. Hasilnya? Bisa dibilang jauh dari memuaskan. Kini, Indofood memakai aplikasi hasil pengembangan sendiri tim TI internalnya (in-house development) untuk mendukung kebutuhan distribusinya. “Tentunya,” kata Hadi, “Unilever akan mencermati berbagai kemungkinan untuk mendapatkan hasil yang bagus untuk meningkatkan kinerja bisnisnya.”

Kemungkinan adanya implikasi yang besar jika terjadi pergantian sistem distribusinya diakui pula oleh Dannar. Antara lain, dikhawatirkan bisa mengganggu proses bisnis. Bahkan, jika distributor tidak siap dengan pergantian sistem tersebut, misalnya, maka ia tidak bisa berjualan. Ujung-ujungnya akan berpengaruh terhadap bisnis Unilever secara keseluruhan. “Semuanya masih perlu di-review, karena perubahannya besar sekali,” ujar Dannar. “Kami hanya berkeinginan agar sistem bisa sesuai dengan requirement dan tantangan bisnis ke depan. Kalau masih ada kesesuaian, ya lebih baik menggunakan sistem yang ada sekarang,” ia memberi catatan.

Keuntungan dari Sistem Terintegrasi:

Simplifikasi proses bisnis, sehingga perusahaan menjadi lebih kompetitif.

Master Data Management yang tersentralisasi meningkatkan keakuratan data dan informasi manajemen.

Integrasi yang lebih mudah, baik antarsistem, antardepartmen maupun antarnegara.

Support dari departemen TI lebih mudah, karena sistem baru ini lebih up-to-date secara teknologi.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved