Technology

Resep Jitu demi Keamanan dan Kesembuhan Pasien

Resep Jitu demi Keamanan dan Kesembuhan Pasien

Agar lebih efisien dalam melayani pasien dan menghindari kejadian reaksi obat merugikan, Puskesmas Babakan Sari menerapkan sistem Resep Elektronik. Bagaimana proses implementasinya di tengah karyawan Puskesmas yang semula umumnya gagap teknologi?

“Bapak bawa kartu berobatnya?” tanya seorang petugas Puskesmas Babakan Sari, Kiaracondong, Bandung, kepada seorang pria tua. Si Bapak hanya menggelengkan kepalanya. “Bapak pernah berobat ke sini? Siapa namanya?” tanya petugas itu lagi seraya mencari nama yang disebutkan pria tua itu. Setelah nama ditemukan, pasien membayar Rp 3.000, lalu menunggu giliran pemeriksaan. Selesai pemeriksaan dokter, si pasien langsung menuju ruang farmasi (apotek). Dia tampak tak membawa kertas bertuliskan resep obat. Tak lama menunggu, ia pun dipanggil untuk mengambil obatnya.

Tanpa secarik resep dokter? Ya, di puskesmas yang berlokasi di Jalan Kebaktian itu, pengambilan obat oleh pasien sudah tidak menggunakan resep yang ditulis tangan. Pasalnya, puskesmas ini telah menerapkan layanan resep elektronik (e-prescription). Lebih dari itu, semua proses penanganan pasien sudah computerized dan online, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, hingga penebusan obat.

Menurut Dokter Ira Dewi Jani, mantan Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Puskesmas Babakan Sari, sistem e-prescription di puskesmas itu diimplementasikan sejak 20 Maret 2010. Penggagasnya adalah Irma Melyani Puspitasari, berdasarkan proyek tesisnya di Program Studi Teknik Biomedika Institut Teknologi Bandung. Sebagai orang yang berlatar belakang apoteker, Irma paham betul persoalan seputar pemberian obat. Antara lain: munculnya duplikasi obat dan kesalahan pemberian obat kepada pasien akibat salah membaca resep dokter. Maklum, di Indonesia resep obat masih ditulis tangan oleh dokter, yang memungkinkan terjadi salah baca oleh apoteker.

Akibat lebih jauh dari kesalahan tersebut adalah munculnya kejadian reaksi obat merugikan (ROM), atau dalam dunia kedokteran biasa dikenal dengan istilah adverse drug reaction. Contoh interaksi obat yang merugikan adalah pemberian dua jenis obat, masing-masing untuk hipertensi dan asam urat berupa Captopril dan Allopurinol. Ketika pasien mengonsumsi kedua jenis obat itu bersamaan, akan terjadi sindroma Stevens Johnson berupa pembengkakan atau pengelupasan lapisan kulit. Bahkan, lebih jauh lagi, ginjal rusak.

Sebetulnya, kesalahan semacam itu bisa dicegah. Antara lain, melalui komputerisasi resep dokter. Itulah ide dasar tesis Irma. Gayung bersambut, sang mentor, Prof. Dr. Ir. Soegijardjo Soegijoko, pengajar senior ITB, menyukai tesis yang bersifat applicable ini. Kebetulan sang profesor memang punya perhatian besar untuk memajukan puskesmas. Ide komputerisasi resep dokter di puskesmas itu pun dibawa ke Puskesmas Babakan Sari. “Kebetulan saya pernah bekerja sama dengan Prof. Soegi dalam hal implementasi Internet di puskesmas lain. Jadi, sudah kenal sebelumnya. Boleh jadi, itulah alasan memilih Puskesmas Babakan Sari,” ungkap Dokter Ira.

Mereka pun duduk bareng membahas hal itu, sekaligus mencari tahu jenis komputerisasi seperti apa yang dibutuhkan puskesmas tersebut. “Saya hanya bilang, di puskesmas terlalu banyak waktu yang digunakan untuk membuat laporan, sementara tingkat keakuratan dan akuntabilitas laporan masih dipertanyakan,” kata dokter yang sedang mengambil program S-2 Jurusan Biomedika ITB ini.

Dari rangkaian diskusi dan pertemuan yang prosesnya telah dimulai pada pertengahan 2008 itu, lahirlah aplikasi Resep Elektronik yang dikembangkan Irma bersama Tim Teknik Biomedika ITB.

Setelah mendata masalah dan mengimplementasikan aplikasinya (deployment), awal 2009 mulai dilakukan pelatihan kepada 20 karyawan Puskesmas Babakan Sari. “Untuk melakukan komputerisasi ini, SDM-nya harus siap dan bisa menggunakan komputer. Padahal, ketika itu rata-rata SDM di puskesmas kami masih buta komputer,” ucap Ira. “Waktu yang dibutuhkan untuk pelatihan SDM ini cukup lama, karena harus mengubah paradigma dan budaya kerja, dari yang biasanya menulis menjadi mengetik,” tambahnya.

Ira mengungkapkan, lamanya proses pelatihan SDM ini, di samping karena pengenalan cara kerja dengan komputer, juga karena munculnya penolakan dari sebagian karyawan.

Kegagapan menggunakan komputer, menurut Ira, sebenarnya bukan masalah utama bagi para pelatih. Masalah justru pada kemauan mereka menggunakan sistem itu. Repotnya, kebanyakan karyawan enggan mengikuti pelatihan. “Staf saya ada yang jelas-jelas menolak. Maklum, petugas puskesmas kami kan rata-rata sudah tua. Mereka beralasan, biasanya pegang ulekan bukan mouse,” kata Ira. “Kalau trainer dari ITB datang dari pintu sebelah kiri, mereka kabur lewat pintu satunya lagi. Makanya, kalau orang ITB datang, saya jagain di pintu satunya lagi supaya tidak ada yang kabur,” ceritanya sambil tertawa.

Menurut Ira, beberapa upaya pelatihan sempat tak berhasil dilakukan. Hingga akhirnya, diputuskan satu pelatih untuk satu karyawan dengan satu laptop. Itu pun setelah melalui bujuk-rayu dan pendekatan personal. “Nah, ketika akan memulai perpindahan dari sistem kertas ke elektronik, saya terapkan cara paksa. Untuk rekam medis, kertasnya saya sembunyikan, sehingga mereka mau tidak mau harus menggunakan komputer. Buat sebagian orang, kesannya keras,” Ira mengungkapkan. “Tapi, kalau tidak begitu, kapan saya berharap staf saya mengatakan, ‘Saya siap Dok melaksanakan ini’. Itu tidak akan terjadi.”

Akhirnya, sistem Resep Elektronik bisa go live pada 20 Maret 2010. Dijelaskan Ira, sistem Resep Elektronik ini berbasis Web, menggunakan bahasa pemrograman PHP, ditunjang database open

source MySQL. Spesifikasi aplikasi itu hanya menggunakan memori 4,85 MB, yang terdiri dari 4,40 MB untuk program dan 464 KB untuk basis data awal. Sistem Resep Elektronik ini bisa diterapkan minimal pada satu komputer dan satu printer. Untuk konfigurasi sedang, setidaknya butuh 2-3 komputer/laptop dan satu printer. Adapun konfigurasi penuh membutuhkan enam komputer dalam suatu jaringan local area network.

Namun, bukan berarti ketika akan mengimplementasi sistem Resep Elektronik ini tanpa kendala. Salah satu kendalanya, kekurangan peranti PC. Ketika itu jumlah PC di Puskesmas hanya dua unit. Itu pun sudah tidak memadai. Padahal, untuk kebutuhan komputerisasi di semua bagian dibutuhkan sembilan unit PC. Antara lain: dua unit untuk poliklinik umum, dan masing-masing satu unit untuk poli gigi, MTBS (anak balita), KIKB, dan poli TB. Juga, dibutuhkan masing-masing satu unit di bagian pendaftaran, farmasi dan laboratorium. Akhirnya, ITB menyumbangkan sembilan unit PC—selain aplikasi Resep Elektronik itu sendiri yang hak patennya dipegang ITB.

Kendala lain, masalah kapasitas listrik yang kecil sehingga tidak mampu mendukung proyek komputerisasi dan proses kerja Puskesmas secara keseluruhan. “Dulu kapasitas listrik di Puskesmas hanya 900 Watt, sehingga kadangkala untuk ngebor gigi saja tidak kuat, suka mati,” ucap Ira. Beruntung, bantuan datang dari Dinas Kesehatan Kota Bandung dengan menaikkan kapasitas listrik menjadi 13.200 Watt.

Dijelaskan Ira, meski namanya Resep Elektronik, aplikasi ini dilengkapi sejumlah fitur pendukung. Antara lain, fitur Pembuatan Kartu Pasien, Pencarian Pasien, Rekam Medis, Pembuatan Resep (baik racikan maupun nonracikan), Kalkulator dan Tes Interaksi Obat. Kalkulator dalam sistem ini sebenarnya hanya fitur penghitungan sederhana, khususnya untuk menghitung dosis obat, terutama dosis untuk anak kecil. Sementara fitur Tes Interaksi Obat untuk menghindari obat-obatan yang kontradiktif dan memiliki efek samping. “Sistem serupa, boleh jadi, sudah diterapkan di puskesmas lain. Tetapi, kelebihan Resep Elektronik yang diterapkan di Puskesmas Babakan Sari adalah adanya pengembangan fitur yang bisa mendeteksi reaksi obat yang merugikan,” kata Ira membanggakan.

Dengan adanya fitur Tes Interaksi Obat, duplikasi obat yang diresepkan dokter bisa terdeteksi sehingga kesalahan pemberian resep oleh dokter bisa terdeteksi lebih awal sebelum dikonsumsi pasien. “Jadi, fitur deteksi reaksi obat ini semacam alert. Jika ada interaksi dari obat yang diberikan, sistem secara otomatis akan memberitahu,” papar Ira.

Munculnya alert terhadap obat yang diresepkan dokter dimungkinkan karena sekarang dokter tidak lagi menuliskan resepnya pada secarik kertas, tetapi langsung mengetikkan data pasien dan pengobatannya ke komputer. Jadi, ketika dokter memasukkan resep (beberapa jenis obat yang mesti diberikan kepada si pasien), sistem akan melakukan simulasi obat-obatnya, apakah ada interaksi obat yang satu dengan yang lain. Jika terjadi interaksi obat, akan keluar alert berwarna merah yang memberi tahu dokter bahwa obat A dan obat B, jika diberikan pada waktu bersamaan, bisa menimbulkan suatu efek kepada pasien.

Sebenarnya, ketika membuat resep, dokter tidak lagi mengetikkan jenis obatnya, tetapi tinggal memilih jenis dari daftar obat yang tertera, disesuaikan dengan jenis penyakitnya. Sebab, selama ini obat untuk puskesmas sudah relatif sama. Saat ini, ada 236 item obat yang ada di database Resep Elektronik. Dokter tinggal memilih mau memberi obat apa ke pasien. Misalnya, parasetamol. Ketika dokter memilih obat itu, akan langsung keluar: indikasinya untuk apa, kontraindikasinya, efek samping, dan interaksi obat. Setelah obat dipilih, sang dokter tinggal klik “kirim”. Namun sebelum dikirim, jika terjadi interaksi antar-obat yang diresepkan, sistem akan membuat alert sehingga resep itu tidak bisa langsung terkirim ke bagian farmasi.

“Kalau ada alert, dokter harus mengganti obatnya. Dan, alert ini tidak hanya untuk interaksi obat, tapi juga bila terjadi duplikasi. Misalnya, pasien mengeluh sakit pusing dan pegal-pegal, lalu dikasih parasetamol dan antalgin. Itu kan golongannya sama: analgetik antipyretic. Jadi, sistem memberi tahu bahwa ada duplikasi. Kalau sudah diganti dan obat itu aman, resep bisa terkirim ke bagian farmasi,” sang dokter menjelaskan.

Menurut Ira, sebenarnya aplikasi Resep Elektronik ini bukan sekadar untuk keperluan resep, tetapi juga bisa digunakan untuk membuat laporan. Maklumlah, jenis laporan di puskesmas cukup banyak dan membutuhkan waktu cukup lama. Antara lain, laporan keuangan, laporan jenis penyakit dan laporan obat. Laporan itu dibuat untuk dikirim ke Dinas Kesehatan. Laporan ini ada yang harus dibuat harian, mingguan, dua mingguan dan bulanan. “Jadi, setiap hari kami harus merekap semua kegiatan selama hari itu. Dengan adanya sistem ini, laporan keuangan, laporan obat dan laporan penyakit bisa secara otomatis ter-generate di sini,” ujar Ira.

Agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang, tidak setiap orang bisa membuka sistem ini. Setiap bagian memiliki kewenangan terbatas: bagian pendaftaran hanya bisa membuka halaman pendaftaran; dokter hanya bisa mengakses halaman rekomendasi resep obat; bagian farmasi hanya dapat mengakses obat; dan seterusnya. Dokter sekalipun tidak diberi kewenangan mengakses bagian farmasi. Karena, farmasi berhubungan dengan persediaan dan pengeluaran obat. Jika dokter bisa mengakses, dikhawatirkan ia bisa mengurangi atau menambahkan stok obat tanpa sepengetahuan pengelola farmasi. “Bahkan, kepala UPT pun aksesnya tetap terbatas. Dia tidak bisa mengakses medical record pasien tanpa password yang memeriksa. Ini menyangkut masalah etika dan hukum,” Ira menegaskan.

Diakuinya, adanya sistem Resep Elektronik ini telah mendukung proses kerja di Puskesmas Babakan Sari secara signifikan. Dengan aplikasi Resep Elektronik, puskesmas ini mampu melayani rata-rata 150 pasien per hari. Hingga Juli 2011, sudah terdaftar 17.884 nomor pasien baru. Ira mengklaim, yang dilayani dengan sistem ini (sejak 20 Maret 2010) sudah lebih dari 40 ribu orang. “Pada awal Resep Elektronik diterapkan, jumlah pasien sempat menurun. Ada yang mengatakan, karena para dokter sedang belajar komputer,” Ira menceritakan seraya tertawa.

Cukup sukses dengan aplikasi Resep Elektronik, ITB dan Puskesmas Babakan Sari mengembangkan sistem berbasis elektronik lainnya. Antara lain, layanan berbasis SMS gateway. Awalnya, layanan SMS gateway ini digunakan untuk melayani pasien TBC—yang minimal harus rajin berobat selama enam bulan. “Biasanya kalau pasien sudah merasa baik, atau rumah pasien jauh, dia malas berobat lagi. Padahal, pasien TBC BTA+ dalam setahun bisa menulari 10 orang di sekitarnya, “ ungkapnya. “Karena itu, kami kembangkan SMS gateway ini untuk mengingatkan kapan harus mengambil obat, kapan harus periksa lagi, dsb.”

Layanan SMS gateway ini kemudian diperluas untuk melayani ibu hamil. Pasalnya, angka kematian ibu dan balita di Indonesia masih tinggi. Layanan SMS bagi ibu hamil ini untuk mengingatkan waktu imunisasi, periksa hamil, dll. Selain itu, layanan SMS ini ditujukan pula untuk calon jemaah haji, karena sekarang yang mau naik haji diperiksa di puskesmas masing-masing. Bahkan, layanan SMS ini juga disediakan untuk pasien perseorangan yang terjadwal. SMS bisa dikirimkan dokter kepada pasien yang mesti melakukan kontrol, sesuai dengan hari dan jam yang telah ditentukan. “Layanan SMS ini sudah ditawarkan oleh petugas pendaftaran, sejak calon pasien mendaftar: apakah ia mau ikut layanan SMS atau tidak,” ucap Ira.

Sayangnya, nomor pengirim layanan SMS gateway ini masih berganti-ganti. Sebab, layanan SMS ini baru terlaksana jika ada program promo dari suatu operator telekomunikasi. “Kami sih berharap ada operator telekomunikasi yang mau membantu untuk mendukung layanan SMS ini. Mereka kan punya program CSR tuh,” ujar Ira berharap. “Selama ini, walaupun promo, pihak puskesmas masih harus mengeluarkan dana untuk membeli pulsa. Padahal, bujet di puskesmas kan kecil sekali.”

“Selama ini penggunaan SMS gateway ini belum terlalu tinggi. Tetapi, pada perkembangannya nanti, kami tidak ingin sekadar mengingatkan atau bertindak kuratif. Kami maunya bisa promotif juga. Misalnya, kalau sedang musim demam berdarah, kami bisa kirim SMS promosi gerakan 3M,” kata sang dokter.

Terlepas dari keterbatasannya, alangkah baiknya bila 8 ribuan lebih puskesmas lainnya di Tanah Air bisa mencontoh langkah cerdas yang dilakukan Puskesmas Babakan Sari. Semoga! (*)

BOKS 1

Manfaat Sistem Resep Elektronik

Pekerjaan lebih efisien. Misalnya, rekam medis bisa dicari dengan cepat.

Bisa mendapatkan data evidence-based untuk menentukan kebijakan kesehatan dan bahan penelitian.

Bagi pasien, bisa menghindari efek interaksi obat yang merugikan.

Bagi dokter, memperkecil risiko malpraktik.

Dapat menyimpan rincian data setiap obat generik mencakup indikasi, kontraindikasi, efek samping, interaksi obat, peringatan untuk perhatian, dosis, dan sumber pustakanya.

Membantu petugas membuat laporan rutin secara cepat.

Puskesmas bisa melayani pasien lebih banyak tiap harinya.

BOKS 2

Alur Kerja Layanan Sistem Resep Elektronik

Pasien mendaftar. Ia akan ditanya mau ke poliklinik mana (umum, gigi, anak, dsb.) Selanjutnya, pasien menunggu (dalam proses manual, biasanya ada rekam medis yang dibawa petugas/perawat untuk diberikan kepada dokter).

Dokter cukup memasukkan nomor rekam medis si pasien. Maka, di layar komputer akan terpampang data si pasien.

Lalu, seperti biasa, dokter melakukan diagnosis dan pemeriksaan. Selanjutnya, data hasil pemeriksaan itu langsung dimasukkan ke komputer.

Dokter meresepkan obat, langsung keluar data: indikasi, kontraindikasi, interaksi obat, efek samping, dsb. Setelah obat dipilih, dokter tinggal klik “kirim”. (Sebelum dikirim, jika terjadi interaksi antarobat yang diresepkan, sistem akan membuat alert sehingga resep itu tidak bisa langsung terkirim ke bagian farmasi. Obat harus diganti).

Jika obat yang diresepkan aman, resep bisa terkirim ke bagian farmasi untuk dibuatkan/disediakan bagi pasien.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved