Youngster Inc. Entrepreneur

Mery Yani, Manisnya Bisnis Telur Asin

Mery Yani, Manisnya Bisnis Telur Asin

Mery Yani tak pernah membayangkan bakti tulusnya kepada ibunda yang tengah berjuang melawan maut justru menjadi pembuka kunci suksesnya dalam bisnis. Padahal, lima tahun silam, dirinya tengah asyik menikmati karier sebagai akuntan di Jakarta. “Saya ketika itu pulang untuk merawat ibu yang tengah menderita sakit kanker stadium 4,” ujar sarjana akuntansi dari Universitas Tarumanagara, Jakarta ini. Sambil merawat sang Ibu, Merry membantu kakaknya berjualan telur di pasar, sekaligus membantu ayahnya yang memiliki usaha pabrik pakan ikan dan unggas di Karawang, Jawa Barat.

Mery Yani

Mery Yani

Malang, setelah dua tahun kepulangannya, ibunda Mery dipanggil Tuhan. Meski terpukul, lajang kelahiran Karawang tahun 1983 itu enggan tenggelam dalam telaga kesedihan. Dia justru kian tertarik pada usaha kakaknya. Padahal, ketika itu bisnis kakaknya yang memproduksi sekaligus berjualan berbagai jenis telur, termasuk telur asin, tengah stagnan. Yakin bahwa bisnis telur punya masa depan yang baik, Mery pun memberanikan diri mengambil alih untuk mengelolanya.

Pucuk dicita, ulam pun tiba. Sang kakak menghibahkan bisnisnya. Kebetulan ada bisnis lain yang diurusnya. Kalender waktu itu menunjukkan tahun 2009.

Saat dialihkan, bisnis telur ini masih kecil: memiliki empat karyawan dengan omset 1.000-1.500 butir per hari melalui sebuah toko kecil di pasar setempat. Mendapati hal ini, Mery pun langsung tancap gas. Dia memutuskan fokus pada telur asin. Dia pun membenahi mulai dari aspek produksi, pengemasan hingga pemasarannya.

Di bagian produksi, Mery meningkatkan kualitas bahan baku serta kebersihannya. Sebelumnya, proses pembersihan telur sebagai bahan baku telur asin hanya dengan merendamnya dalam ember. Ternyata, dari risetnya, Mery menemukan bahwa perlakuan demikian justru membuat kotoran meresap ke dalam telur melalui pori-pori kulitnya. Akhirnya proses pencucian diubah, menggunakan air mengalir dan kemudian diberi disinfektan untuk membunuh kuman serta bakteri yang menempel.

Selain itu, sebelumnya, telur hanya diperiksa keretakannya sebelum proses pembersihan. Tiada pengecekan ulang. Cara ini diubah. Mery kembali memeriksa telur setelah dicuci untuk kemudian diasinkan. Dia pun menggunakan air isi ulang dalam proses produksinya sehingga bisa meningkatkan kualitas produk sekaligus mengurangi tingkat kecacatan produk akhir. Tak ketinggalan, dia pun rutin menguji kualitas telur hasil produksinya ke laboratorium Cikolay, Bandung, setiap bulan.

Masih di bagian produksi, demi menunjang ambisinya mendirikan pabrik telur asin, Mery meminjam uang ayahnya Rp 160 juta sekaligus meminjam sebagian pekarangan pabrik ayahnya. “Pabrik pakan ternak ayah saya cukup luas, jadi saya pakai separuhnya,” ujarnya. PT Sumber Telur Kilau, perusahaan yang menaungi bisnis ini, pun dikibarkan.

Pembenahan selanjutnya di bagian kemasan. Satu per satu telur dikemas dan dibungkus kardus secara rapi. Dengan demikian, tingkat kerusakan produk saat pengantaran bisa dikurangi. “Kalau membeli telur asin produksi orang lain, kerusakannya bisa sekitar 25%, tetapi kalau beli dari saya hanya 5%, bahkan bisa nol. Hal ini bisa menekan kerugian agen dan distributor,” dia mengklaim.

Kemudian, Mery pun terjun langsung ke pasar menjajakan produknya. Pada saat itulah, dia belajar kesalahan pertamanya. Sebab, dia masuk di waktu yang salah, ketika pasar dibanjiri pasokan telur asin. “Jadi, orang mau menerima produk saya susah.”

Maka, setelah itu dia pun mencoba masuk kala telur sedang langka, yakni Desember- Februari. Ternyata, keputusannya tepat. Orang jadi lebih mengenal produknya. Pengenalan produknya juga berlangsung mulus lantaran Mery sudah memberi merek telurnya dengan nama

” ujarnya berseloroh sambil tertawa. Di samping itu, harganya pun disukai agen penjual karena banderolnya sesuai dengan harga pasar meski dengan kualitas dan kemasan yang lebih baik.

Setelah waktu berjalan, bisnis telur asin ini benar-benar seperti keyakinannya: punya masa depan. Tahun 2012, atau tiga tahun setelah memutuskan terjun ke telur asin, bisnis ini berkembang baik dan terasa manis. Kini, dibantu 15 karyawan inti dan ibu-ibu sekitar pabrik, serta 20 peternak telur bebek, Merry mampu menjual 10-15 ribu butir telur per hari, atau meningkat 10 kali lipat dibandingkan awal usahanya. Pemasarannya yang melalui 50 agen juga sudah merambah Jabotabek, Batam, Lampung, hingga Kalimantan. Omsetnya? Rp 300 juta per bulan. Lumayan.

Yang membuat Mery tambah bangga, tiada diduga, pihak lain mengapresiasi kiprahnya. Awal tahun ini dia menjadi salah satu pemenang terbaik nasional untuk kategori Alumni dan Mahasiswa Pascasarjana dalam ajang Wirausaha Muda Mandiri. Sebagai ganjarannya, Mery mendapatkan penghargaan serta uang senilai Rp 50 juta sebagai dana pembinaan.

Melihat perkembangan bisnisnya, tak mengherankan, perempuan bertubuh mungil ini sudah punya mimpi besar. Dia berharap terus menambah agen penjualan hingga 100 dan merambah sampai kawasan Indonesia timur. Ambisi besar lainnya? “Membuat pabrik telur asin terbesar di Indonesia, juga membuat telur saya eksis di ASEAN.”(*)

Herning Banirestu & Eddy Dwinanto Iskandar

Riset: Siti Sumariyati


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved