Editor's Choice Youngster Inc. StartUp Entrepreneur

Anak Muda di Balik MAD

Anak Muda di Balik MAD

Kuliah sambil berbisnis itu banyak manfaatnya. Lihatlah apa yang dilakukan Rano Dwi Pantara yang kini tengah cinta berat membesarkan usaha fashion-nya, berlabel MAD. Rano suka berbisnis sejak kuliah bidang komunikasi di Hogeschool Inholland Diemen, Belanda. Dia kuliah sambil menjual label apparel sendiri, diberi nama MAD (Make A Different), sejak 2006. Bersama dua rekannya, Rano coba-coba membuat baju untuk dijual ke kawan-kawannya.

Rano Dwi Pantara

Rano Dwi Pantara

Secara getok tular produknya ternyata laku, sehingga tahun 2007 MAD masuk ke toko baju di Belanda dan Jerman (dua toko di Jerman dan empat toko di Belanda). “Di sana mereka biasa beli putus. Tapi karena masih awal, saya berani untuk konsinyasi. Nyatanya, repeat order,” tutur kelahiran 14 April 1984 ini. Waktu itu Rano bisa menitipkan produk MAD hingga 500 potong.

Bisnis ini kemudian terhenti karena harus pindah kuliah ke Barcelona, Spanyol, tahun 2007. Ia ingin memperdalam ilmu Art Direction di IED Barcelona. Memang sayang, karena waktu itu MAD sudah meluncurkan empat artikel kaus dengan ratusan potong. “Ya sudah. Vakum begitu saja,” katanya.

Begitu selesai kuliah dan balik ke Jakarta, hasrat Rano untuk menggulirkan MAD muncul kembali. “Tapi fokusnya untuk pasar Indonesia saja. Jaringan saya di luar mulai blur,” ujar Rano yang fasih berbahasa Jerman, Inggris dan sedikit bahasa Belanda.

Di Indonesia dia memulai tahun 2008 dengan membuat tas laptop premium dan aksesori lainnya. Untuk membuatnya unik, Rano menggunakan bahan neoprene untuk tas laptop (neoprene biasa dipakai sebagai bahan untuk baju selam/diving).

Tas laptopyang dijual di kisaran harga Rp 549 ribu itu cukup laris. Tak sampai setahun dia sudah menelurkan lima artikel (per artikel 100 potong). “Dari situ merek MAD mulai dikenal. Setahun kemudian saya juga masuk ke produk kaus, baju, jaket atau segmen clothing,” tuturnya.

Ternyata masuk ke clothing bukan hal mudah. Persaingan cukup keras. Maka, Rano pun mencari keunggulan, termasuk dari sisi bahan. Dia keluar masuk Tanah Abang, Cipadu, Jembatan Lima, Mangga Dua untuk cari pemasok.

Awalnya, dia sering menelan pil pahit: dikibuli pemasok bahan. “Saya maunya kan bahan yang khusus buat saya. Mereka kadang bilang habis, ternyata barangnya dijual ke orang lain,” katanya. Tak habis akal, Rano akhirnya memborong semua stok bahan. “Misalnya ada bahan tertentu 200 yard, saya beli semua,” ujarnya. Saat ini dia sudah memiliki pemasok yang bisa dipercaya dan dia rahasiakan namanya. “Produk MAD sangat eksklusif, jadi bahan dan desainnya harus mencerminkan merek premium,” ujar dia.

Untuk jahitan, Rano mengadopsi teknik full chain stich. Bahkan demi kesempurnaan teknik ini, dia membeli mesin khusus merek Brother (Jepang). Harga baru mesin itu di kisaran Rp 30-40 juta. Di workshop-nya yang ada di Grha Qarisha, Jl. Kemang III dia mempekerjakan tiga orang penjahit.

Lantaran keunggulan produk tersebut, salah satu pengelola The Goods Dept menghubungi Rano. Fashion store yang terkenal dengan kurasi produk yang ketat itu akhirnya memajang produk MAD. Dari situ, MAD pun mulai menyebar ke beberapa toko serupa seperti Orbis, Peny Store, Tribute, dan One Stop Shop. Rano juga mulai menjual melalui beberapa toko onlinefashion premium yang sudah mapan.

Saya pakai produk MAD yang jaket MADchester ini. Bahannya ringan, desainnya bagus. Jadi enak dipakainya, tidak panas,” ujar Hendro Gunawan, konsumen MAD yang juga staf pemasaran di sebuah perusahaan otomotif. Jaket MADchester dibuat dari bahan taffeta (100% nilon). Selain tahan angin, jaket ini memiliki lapisan tahan air dengan fitur zipper yang dipadukan dengan penutup velcro di bagian depan. “Jaketnya bisa dilipat kecil dan jadi tas,” Hendro menceritakan pengalamannya.

Kini perlahan-lahan, MAD besutan Rano kian menemukan performanya. Rano setidaknya mampu menjual hingga 175 potong produk MAD per bulan. Sebagai informasi, produk MAD dijual mulai dari Rp 275 ribu (kaus), Rp 600 ribu (kemeja), Rp 700 ribu (topi) hingga Rp 1,5 juta (jaket).

Kalau harga rata-rata MAD Rp 700 ribu, tentunya omsetnya sudah lumayan. “Itu rahasia perusahaan, hahaha…,” ujar Rano sambil mengungkap dia bisa nyicil dua mobil kelas menengah dari MAD. Jelas, ini hal yang dia syukuri mengingat modal awalnya hanya Rp 5 juta.

Toh, dia belum puas. Kedepan dia hendak membuat MAD untuk yang lebih premium, per potong kemeja MAD seharga US$ 120. Selain itu juga akan masuk ke segmen lebih rendah dengan label Undermouse. Anak muda ini ingin terbang lebih tinggi.

Sigit A. Nugroho dan Sudarmadi


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved