Editor's Choice Youngster Inc. StartUp

Anggayudha Ananda Rasa, Berbisnis dengan Idealisme Ala Science Factory

Anggayudha Ananda Rasa, Berbisnis dengan Idealisme Ala Science Factory

Anggayudha Ananda Rasa

~~

Empat anak seumuran 6 tahun asyik memainkan beragam bangun ruang, seperti kubus, balok, segi tiga, tabung, limas, sampai bangun setengah lingkaran. Seperti permainan lego. Hanya saja, pada bangun ruang tersebut tertera angka, terdiri dari -10 sampai +10. Ada pula kartu yang terdiri dari huruf A sampai Z. Juga sebuah dadu. Mereka mengambil kartu yang sudah diacak dan dadu dilempar. Kemudian satu per satu anak menyebutkan nama-nama benda sesuai dengan huruf yang diambil dari kartu dan menjumlahkan angka dadu yang telah dilempar. Nama benda yang dipilih akan menjadi sebuah bangunan dengan menyusunnya dari berbagai balok. Syaratnya, bangunan tersebut harus berjumlah sesuai dengan angka dadu yang dilempar.

“Permainannya seru dan tidak merasa sedang belajar,” ungkap Sumardiyono. Praktisi pendidikan ini menilai Math Block dan Math Quest besutan Science Factory tersebut cukup membantu anak-anak sekolah dasar memahami konsep matematika. “Bukan materi pelajarannya ya, karena permainan tersebut tidak bisa menggantikan materi utama. Hanya saja, dengan Math Block ini, belajar matematika jadi lebih menarik,” kata penulis blog rumah inspirasi.com ini. Ia sendiri menerapkan metode permainan itu kepada dua buah hatinya yang berusia 10 tahun dan 6 tahun. “Penambahan dadu membuat permainan lebih bervariasi dan lebih menarik dibanding model yang sudah ada,” katanya.

Ungkapan senada disampaikan Chusnul Chotimah. Wakil Kepala Sekolah SD Cikal ini mengatakan, pihaknya juga memakai alat peraga Math Block sebagai alat bantu para guru dalam mengajar matematika. “Metodenya menarik karena sebagai salah satu alternatif untuk metode pembelajaran. Anak-anak juga tertarik karena seperti bermain,” tuturnya.

Sejak diluncurkan Januari lalu, Math Block (MB) dan Math Quest (MQ) besutan Science Factory ini mendapat respons cukup bagus dari sekolah, praktisi pendidikan dan orang tua. Alat bantu untuk pelajaran matematika di sekolah dasar ini dianggap sebagai terobosan menarik dalam proses belajar mengajar. “Anak saya mulai menyukai pelajaran matematika karena dengan bermain memakai balok, ia merasa tidak sedang belajar,” kata Mita, orang tua Tiara Nabila (9 tahun).

Bagi Anggayudha Ananda Rasa, MB dan MQ adalah sebuah langkah awal mewujudkan impiannya. “Gagasan besarnya ingin membangun sekolah. Kami ingin tidak sekadar ‘mengisi’ kepala anak-anak, tapi anak-anak itu harus bisa menciptakan sesuatu. Harus berkarya,” ungkap CEO Conscience Education itu. Angga, begitu kelahiran Jember 15 Juni 1989 ini akrab disapa, mengaku sudah sejak lama memendam keinginan untuk bisa berkontribusi memajukan dunia pendidikan. Terutama, karena ia melihat pelajaran matematika kerap dianggap sebagai sesuatu yang horor.

Memang, sejak masih menjadi mahasiswa Jurusan Kimia Fakultas MIPA Institut Teknologi Bandung, ia sudah terjun di dunia pendidikan dengan mengajar sebagai guru privat. “Ketika menghadapi pelajaran berbau eksakta, komentar yang kerap dilontarkan anak-anak adalah sulit dan tidak menyenangkan,” ceritanya. Terlebih, dari pengamatannya, para pengajar pun kerap sekadar memberikan rumus tanpa melibatkan kreativitas anak.

Berangkat dari keprihatinan itu, pada 2012 ia tergelitik menciptakan gamifikasi atau media pembelajaran dengan konsep belajar sambil bermain. Permainan menjadi titik tumpunya karena bermain adalah dunia anak-anak. “Anak-anak suka bermain dan senang dengan permainan,” imbuhnya. Mengandeng dua orang temannya dari Jurusan Desain ITB dan Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia, ia pun menciptakan MB dan MQ dengan merek Science Factory.

Butuh waktu dua tahun Angga menciptakan MB dan MQ. Selama 6 bulan lebih, ia dan timnya membedah kurikulum pelajaran matematika tingkat SD. Setelah itu, pembahasan melangkah ke pemilihan materi pelajaran sebagai acuan pembuatan mainan. Selama kurun waktu tersebut, ia harus 6 kali mengubah prototipe bentuk mainan. Pada Januari lalu, MB dan MQ pun diluncurkan. Kalau MB permainan dengan menggunakan balok, kartu dan dadu. MQ juga terdiri dari angka-angka yang dibentuk menjadi persegi berukuran 4 x 4 cm sebanyak 164 keping dan sebuah papan mirip papan scrabble. “Permainannya memang terinspirasi dari scrabble,” imbuh Angga yang belum lama ini dikaruniai seorang putri.

Bagi Angga, MB dan MQ adalah salah satu ide untuk menyalurkan kontribusinya pada dunia pendidikan, sekaligus langkah awalnya untuk meraih mimpi memiliki sekolah sendiri yang ia targetkan pada 2018. “Namun, sebuah ide tanpa dikelola dalam pengelolaan industri tidak akan bertahan lama,” tuturnya. Karena itu, lewat Science Factory, ia ingin produknya bisa dinikmati banyak sekolah di berbagai kota, termasuk sekolah di desa terpencil.

Impian Angga membuat anak-anak menyenangi pelajaran sains tampaknya mulai terwujud. SD Al Azhar 8 Jakarta, Al Azhar 36 Bandung, Guru Cendekia Leadership School, Sekolah Cikal Jakarta, Salman Al Farisi, serta beberapa sekolah lainnya di Bandung dan Jakarta sudah menggunakan MB dan MQ besutan Science Factory. Belum lama ini, ia mengirim lebih dari 100 set MB dan MQ ke Yogyakarta. Produk ini dibanderol Rp 200-300 ribu per set.

“Terus terang, kami kewalahan melayani permintaan,” ujarnya sembari tertawa. Diakuinya, keterbatasan modal menjadi salah satu kendalanya. Toh, Angga tak menyerah. Ia sedang menjajaki kerja sama dengan investor. Sayang, ia tidak mau mengungkap jati diri sang investor. Sembari menunggu, Angga dan tim sudah merancang berbagai strategi pemasaran, salah satunya road show ke sekolah di berbagai kota. Juga, pelatihan bagi pengajar dengan meminjamkan MB dan MQ selama dua minggu secara gratis.

Angga juga akan membuat paten dan lisensi MB dan MQ karena produksi hendak dilimpahkan kepada pihak lain. “Distribusinya jadi akan lebih meluas lagi,” katanya. Ia sendiri akan lebih berkonsentrasi menciptakan mainan baru. Saat ini, Angga dan tim sedang merancang alat peraga sains untuk tingkat SMP dan SMA.

Bagi Angga, menggeluti dunia pendidikan adalah panggilan hatinya. Idealisme untuk berkontribusi memajukan pendidikan dimulainya tahun 2007 dengan menjadi tutor di Naila Azhar Tutorial Club (NATC), lembaga konsultan pendidikan di bidang keilmuan sains dasar bagi mahasiswa tingkat pertama ITB. Dalam perjalanannya, kemudian NATC diambil alih olehnya. “Tepatnya sih dikasih oleh si pemilik kepada saya,” ujar Angga yang sebelumnya GM di NATC, selain menjadi tutor.

Di bawah komandonya, NATC semakin berkembang. Sampai saat ini, NATC sudah mendampingi lebih dari 1.000 mahasiswa ITB dalam menyelesaikan masa studinya pada Tahapan Persiapan Bersama. Selain mengembangkan NATC, di bawah bendera Conscience Education, juga hadir Prince (private in sience) yang melayani jasa belajar privat pelajaran eksakta untuk tingkat SMP dan SMA. “Bisnis di dunia pendidikan itu evergreen. Pasarnya terus tumbuh, selalu ada peluang baru. Tidak akan mati bisnisnya,” ucapnya.

Saat ini Conscience Education memayungi lebih dari 45 pengajar dan 14 staf. “Awalnya kami hanya mempunyai dua karyawan,” kata Angga. Kini ia lebih fokus membesarkan Science Factory karena NATC dan Prince dinilainya sudah berjalan baik.

Henni T. Soelaeman


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved