Editor's Choice Youngster Inc. StartUp

William Salim, Lulusan Luar Negeri yang Jadi Petani

William Salim, Lulusan Luar Negeri yang Jadi Petani

Usia William Salim masih sangat belia, 22 tahun. Ia menempuh pendidikan Manajemen Bisnis di Macquarie University, Sydney, Australia, dan lulus pada Desember 2012. Seusai menamatkan pendidikan, ia pulang ke kampung halamannya di Pemalang, kota kecil di Jawa Tengah.

William Salim

~~

Sebagai anak muda lulusan luar negeri, William memilih berbisnis sendiri. Yang agak aneh adalah pilihan bidang usahanya, yakni menjadi petani bawang merah dan cabe. Padahal, anak muda lulusan luar negeri pada umumnya memilih bisnis bidang teknologi informasi, gaya hidup seperti busana, sepatu, atau bisnis kuliner – William justru nekat menceburkan diri ke bisnis pertanian.

Ketika memutuskan terjun ke bidang pertanian, semula ayahnya, Freddy Salim, menentang keinginan sulung dari empat bersaudara ini. Alasannya, gengsi. “Sudah jauh-jauh sekolah ke luar negeri, masa iya mau menjadi petani lagi,” kata Freddy ketika itu. Freddy adalah petani cabe dan bawang merah yang sudah menggeluti profesinya selama 30 tahun. Ia tahu persis, bidang pertanian kurang prospektif karena susah diprediksi. Kendala utamanya adalah faktor cuaca yang susah ditebak. Jika cuaca sedang buruk, hasil panen bisa hancur, atau menghadapi fluktuasi harga yang tajam.

Jika harga sedang bagus, cabe dan bawang merah harganya bisa melambung hingga mendekati Rp 100 ribu per kg. Namun, jika panen berlimpah, harganya bisa anjlok menjadi cuma Rp 2.000/kg. “Tahun 2011-2012, harga bawang pernah berkisar Rp 1.800-4.000 per kg,” kata William.

Meski ayahnya kurang berkenan, William bersikeras untuk terjun ke pertanian. Ia bahkan sempat “mengancam” akan meminjam dana ke pihak lain jika ayahnya tidak mau memodali. Melihat kegigihan anaknya, Freddy pun luluh. Ia memberikan dana pinjaman buat modal usaha anaknya. Selain dana pinjaman dari ayahnya, William juga menggunakan uang tabungannya buat menambah modal usaha. Maklum, selama kuliah di Australia, ia juga sempat bekerja di berbagai perusahaan, seperti di resto McDonald’s dan Hotel Hilton, Sydney.

Maka, pada awal 2013, William pun mulai bertindak sebagai petani cabe dan bawang merah. Berapa modal awal yang dibenamkan? William enggan berbagi angka, tetapi akhirnya ia mau juga memberikan indikasi. “Modal awal berkisar Rp 1-2 miliar,” ujarnya. Dana itu terserap habis untuk sewa lahan seluas 15 hektare 20%; obat pertanian 50%; biaya tenaga kerja 10%; dan pembelian bibit 20%.

Soal teknis pertanian, ia mendapat bantuan dari ayahnya yang sudah kenyang makan asam garam di bidang ini. Dalam waktu dua bulan, William sudah memanen bawang merahnya, adapun cabe dipanen setelah masa penanaman tiga bulan. Untuk pemasaran hasil panennya, ia menjadi pemasok cabe PT Heinz ABC Indonesia. Sementara untuk bawang merah, ia bergerilya sendiri menjual produk pertaniannya ke pasar induk di Jakarta dan Bandung.

Untuk mengenal tata niaga bawang merah, William sempat blusukan di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta selama sebulan. “Dari jam 03.00 sampai jam 9.00 saya tongkrongi Pasar Induk. Begitu setiap hari selama sebulan,” tutur William.

Selama setengah tahun saja, William bisa menggaet omset Rp 4 miliar dari komoditas cabe dan bawang merah. Dari penjualan hasil pertaniannya, William sudah mengembalikan pinjaman dari orang tuanya. Ia bisa cepat melunasi pinjaman karena hasil panennya sedang bagus, dan harganya juga sedang tinggi-tingginya belakangan ini. Siapa yang menduga, harga cabe dan bawang merah bertahan tinggi di kisaran Rp 100 ribu/kg. Sama dengan harga tahun 2010. Padahal pada 2011, harga cabe sempat menukik ke Rp 2-3 ribu/kg.

Dari 15 ha lahannya, William bisa memanen hingga 15 ton bawang merah per ha. Atau, sekitar 150 ton jika disetahunkan, sedangkan cabe sekitar 100 ton per tahun. Meski di tahun pertama bisnis pertanian William bisa “panen raya”, ia belum berencana ekpansi, misalnya dengan memperluas area tanamannya. Maklum, untuk bawang merah saja, setiap ha lahan memerlukan bibit bawang sekitar satu ton. “Untuk membeli bibit bawang saja perlu dana Rp 65 juta per ha,” kata William.

Alih-alih mengembangkan bisnis pertaniannya, William malah serius membidik bisnis kuliner sebagai upaya diversifikasi usahanya. Sampai ia beberapa kali melakukan survei di Jakarta untuk membuka resto. Ia berniat membuka resto dengan menu Western. Ia sudah menyambangi beberapa mal di Jakarta untuk menjajaki lokasi restonya.

William memang bertekad menjadi wirausaha. Meski ada beberapa korporasi yang menawarkan pekerjaan, ia lebih suka membuka bisnis sendiri. “Karakter saya tidak suka ikut orang. Saya lebih suka kerja sendiri walaupun kecil-kecilan. Dan sejak dulu saya memang ingin membuat lapangan pekerjaan supaya mengurangi pengangguran,” tuturnya. Di bisnis pertanian, William rata-rata mempekerjakan 100 orang buruh harian untuk menggarap lahan pertaniannya.

Didin Abidin Masud


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved