Editor's Choice Youngster Inc. Entrepreneur

Darfrendo Djamardi Bermula dari Sekoper Cokelat

Darfrendo Djamardi

~~

Bagi yang jeli mengendus peluang bisnis, untung pun bisa diraup saat pelesiran. Tak seperti kebanyakan orang yang pulang melancong dari luar negeri membawa oleh-oleh untuk dibagi-bagikan, Darfrendo Djamardi malah memboyong sekoper cokelat premium dan branded untuk dijual di Indonesia. “Ketika itu saya berpikir bagaimana kalau pulang dari jalan-jalan gak sekadar ngabisin uang tetapi juga menghasilkan uang,” ceritanya. Ketika itu, tahun 2000-an, Darfrendo bersama orang tuanya pelesiran ke Singapura. “Saya sengaja beli cokelat-cokelat impor yang branded dari sana, saya beli ada sekoper buat saya jual lagi, ternyata laris.”

Animo bagus tersebut membuat lulusan Philipine School of Business Administration — kampus Jakarta – ini tergelitik menjadi trader resmi merek-merek cokelat tersebut. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Darfrendo langsung menulis surat ke produsen cokelat premium di Selandia Baru, Australia dan Singapura. “Saya pede saja,” ujar lelaki berusia 36 tahun ini. Sembari menunggu jawaban mereka, ia kerap bolak-balik ke Singapura untuk membeli cokelat dan menjualnya di Jakarta.

Sekoper cokelat premium keluaran merek-merek terkenal dunia. Itulah cikal bakal bisnis Darfrendo yang hampir sewindu ini menggeluti bisnis cokelat. Lewat bendera PT Fokus Network Agencies (FNA) Indonesia, lebih dari 20 merek cokelat premium ia pasok ke sejumlah supermarket: Kemchicks, Ranch Market, Foodhall, Carrefour, Hero, Giant, Diamond, Lottemart dan Totalbuah. Untuk penetrasi pasar di luar Jabodetabek seperti Makassar, Batam, Bali, Palembang, Manado, Bandung dan Medan, ia menggamit subdistributor.

Cokelat-cokelat tersebut ia datangkan dari FNA Singapura, sebagai pemegang lisensi beberapa cokelat impor. FNA Singapura tak semata memasok untuk pasar Singapura, tetapi juga mengekspor ke negara-negara di Asia Tenggara. Di Indonesia, Darfrendo menjadi mitra kerjanya dengan mendirikan FNA Indonesia. “Jadi, bisa dibilang FNA joint venture antara perusahaan keluarga dan perusahaan asing,” katanya. Di FNA Indonesia, Darfrendo tidak sendirian. Kedua kakaknya ikut terlibat, karena itu ia menyebutnya sebagai perusahaan keluarga.

Ia tak serta-merta menjadi mitra FNA Singapura. Ketika kerap ke Singapura, ia membeli cokelat dari FNA. Setelah itu, selama kurang-lebih tiga tahun ia menjadi pelanggan FNA. Ketika itu ia tidak paham regulasi impor dan izin BPOM. “Dasarnya hanya beli di Singapura, terus jual di Jakarta,” katanya. Seiring dengan berjalannya waktu, FNA akhirnya menggandeng Darfrendo sebagai mitranya di Indonesia. Pada 2006 berdirilah PT FNA Indonesia.

Buntut dari kerja sama itu membuat Darfrendo memutuskan meninggalkan kursi empuk sebagai Manajer Pemasaran & Produk Energizer. Saat itu dibantu dua kakaknya dan 20 karyawan, baru sekitar lima merek yang ia boyong ke Jakarta. Perjalanan waktu mengantarkannya merambah kota-kota lain lewat tangan-tangan subdistributor. Saat ini 70-an karyawan terlibat dalam pengembangan FNA Indonesia. Perusahaan ini juga memiliki cold storage dengan kapasitas 600 m3.

Diakuinya, tidak semua pasar di Indonesia bisa menyerap produk cokelat premium. Cokelat premium juga tidak bisa dengan mudah masuk seperti merek cokelat lokal yang bisa dijumpai di semua pasar modern. Karena itu, strategi awal yang dilakukannya adalah membidik kalangan sendiri dulu. “Saya pilih lingkungan yang memang sesuai dengan produk ini dan saya fokus ke sana secara maksimal walaupun pasarnya atau jaringan tokonya tidak besar,” paparnya. Ia tak mau memaksakan berjualan di toko yang besar pasarnya tetapi bukan lingkungan yang pas untuk produk tersebut.

Setelah itu, melalui jejaringnya yang luas, ia bisa menggandeng para subdistributor untuk memasarkan lebih luas di wilayah masing-masing. Pengalamannya bekerja di Energizer juga membuat ia paham bagaimana melakukan trik-trik penetrasi pasar. “Saat ini saya lebih mengandalkan subdistributor, dan itu juga karena based on referensi teman maka kami lebih bisa percaya,” tuturnya. Menurutnya, di luar kota, bisnis cokelat premium tidak main volume, tetapi main value. “Pasarnya terbatas karena cokelat bukan basic needs, hanya complementary,” imbuhnya.

Meski pasarnya terbatas, omsetnya naik terus tiap tahun. “Yang paling signifikan 2013-14, omset tumbuh di atas dua digit,” katanya. Di antara 20 merek yang diboyongnya, penjualan terbesar disumbang merek Frey, Zaini, Haribo dan Swiss Delis (biskuit cokelat). Permintaan terbesar terjadi saat Natal, tahun baru, liburan sekolah, Valentine dan Lebaran. “Kalau pas Natal dan Valentine, omset bisa naik 40% dari bulan-bulan lainnya,” ungkapnya.

Belakangan, importir cokelat premium mulai banyak, kendati pemerintah makin ketat mengatur regulasi barang impor, apalagi barang jadi. “Jadi kami khawatir, dengan makin banyaknya importir cokelat yang masuk ini, tentu persaingan merebut pasar semakin ketat,” katanya. Pasalnya, kalau performanya tidak bagus, si produsen bisa saja memindahkan produknya ke importir lain. “Tetapi bedanya kami dengan importir lainnya, mereka tidak hanya mengimpor confectionary tetapi bahan pangan lainnya juga, sedangkan kami FNA hanya fokus pada confectionary, cokelat ini saja.”

Darfrendo menceritakan, awalnya FNA menggarap Food Hall, Kemchicks dan Ranch Market. “Jaringannya tidak besar sehingga bargaining-nya pun masih bisa dapat kemudahan,” katanya. Berbeda dengan Carrefour dan Hero yang jaringannya sudah sangat besar sehingga untuk masuk banyak sekali persyaratannya. Ranch Market yang di Kebun Jeruk adalah pasar swalayan pertama yang menerima produknya. Dengan door to door ia menawarkan cokelat impor premium ke pasar modern lainnya. Ia menambahkan, sebagai mitra, tentu ia belanja di FNA Singapura. Namun, untuk urusan legal dan administrasi, ia langsung berhubungan dengan pemilik merek. “Untuk urusan promosi juga kami berhubungan langsung dengan mereka,” katanya.

Ke depan, ia mengaku belum ada rencana membuka toko sendiri, seperti Cocoa Trees yang langsung dimiliki FNA Singapura. “Waktu kami gabung dengan FNA, kami diberi dua pilihan, jadi distributor atau ritelnya mereka. Kami pilih distribusi karena inilah kue terbesarnya,” ujarnya. Memang sekarang confectionary sudah bisa ritel sendiri seperti Cocoa Trees, dengan syarat luas tokonya minimal 1.000 m2. “Menurut perhitungan kami, kalau luas segitu untuk di Indonesia masih mubazir, karena pasar cokelat impor premium masih sangat kecil di sini,” katanya.(*)

Henni T. Soelaeman dan Arie Liliyah


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved