Editor's Choice Youngster Inc. Entrepreneur

Restu Anggraini, Jeli Merambah Pasar yang Tak Banyak Dilirik

Oleh Admin
Restu Anggraini, Jeli Merambah Pasar yang Tak Banyak Dilirik

Di ajang Mercedes-Benz Fashion Week Tokyo 2015 yang digelar 17 Maret lalu, Restu Anggraini sanggup memukau hadirin. Selain mendapatkan respons positif untuk berkolaborasi dengan mitra setempat dan koleksinya tampil di majalah mode Jepang, ia juga mampu membuat YKK terpincut. Produsen zipper atau ritsleting kelas dunia itu mengajaknya bekerja sama untuk memasuki pasar Eropa dan Amerika. “Ini adalah pertama kali masuk pasar internasional. Aku diundang Mercedes-Benz. Setelah disaring beberapa desainer, alhamdulillah, terpilih. Amazingbanget, responsnya luar biasa,” ujarnya mengenang.

Restu Anggraini

Lewat label RA by Restu Anggraini dan ETU, kelahiran 18 Maret 1987 ini kian mantap memasuki dunia fashion. Ia memilih pakaian muslim karena hijab sudah melekat pada dirinya sejak duduk di bangku SMP. Walhasil, saat memutuskan menggeluti dunia fashion, ia memilih rancangan baju yang memang sudah menjadi kesehariannya. Namun, ia tetap melakukan diferensiasi. Ia memilih rancangan baju kerja. Mengapa? Ia menilai, masuk ke pasar busana kerja bagi perempuan muslim agak susah. Pasalnya, ia melihat orang kantoran hanya mix and match baju dengan model yang itu-itu saja. “Saya kan desainnya modest wear untuk wanita pekerja kantoran sehingga saya justru melihat peluang,” ujarnya. Dengan rancangan berciri style yang smart casual, modern dan modis, ia membidik kalangan pekerja kantoran, profesional dan mahasiswa yang mau memasuki dunia keja.

Sebelum memutuskan menggarap pasar tersebut, Restu melakukan riset. “Saya selalu melakukan riset terhadap pasar mana yang mau dituju, melihat kebutuhannya. Kemudian, kebutuhan pasar di-mix dengan selera saya,” tuturnya. Menurutnya, dengan diferensiasi produk, ia menjadi lebih kreatif. “Satu pakaian dapat di mix and match dengan lainnya,” ujarnya. Dalam setiap rancangannya, ia selalu berusaha membuat si pemakai merasa nyaman dan cantik. Karena itu, saat awal pemilihan bahan, ia sangat selektif. Untuk keperluan bahan ini, ia sedang melakukan penjajakan dengan perusahaan tekstil di Jepang. “Ada yang menawarkan bikin pabrik untuk RA, ya maulah, ini rezeki,” imbuhnya.

Didukung 30 karyawan – 11 di antaranya penjahit – dalam sehari ia bisa memproduksi 100-an potong pakaian. Ia mematok harga untuk blazer Rp 400 ribuan dan kemeja Rp 200 ribuan. “Masih kecil-lah omsetnya,” katanya. Dalam sebulan, imbuhnya, sekitar 1.000 potong dengan harga Rp 200-400 ribuan diserap pasar. “Yang paling banyak peminatnya itu atasan dan kemeja. Karena, kalau kemeja, harus tiap hari ganti. Kalau blazer, bisa dua atau tiga kali pakai. Blazer rancangan saya bisa dipakai bolak-balik,” katanya. Bagi Restu, selain mengejar volume, yang tak kalah penting adalah kualitas bahan dan jahitan.

Berawal dari kebutuhan mencari baju yang sesuai dengan karakternya, Restu tergelitik terjun sebagai pemain di bisnis fashion. “Saya pakai jilbab dari SMP dan cari busana muslim itu sangat susah. Jadi, paling cuma mix and match,” katanya. Kesukaannya mendesain baju, bahkan kerap mengikuti berbagai lomba desain, meski tidak pernah menang, mengantarkan Restu untuk mendesain baju-bajunya sendiri. Ia kemudian mencari penjahit langganan mamanya. Keseriusan menapaki dunia fashion dilakukannya dengan menimba ilmu pattern di Esmod. Sebelumnya, ia sempat mengambil pendidikan di Pale Art Studio.

Sembari kuliah, pada 2009, Restu bersama dua temannya menjalankan bisnis pakaian online dengan modal sekitar Rp 3 juta. Waktu itu ia coba-coba karena banyak teman yang pakai jilbab juga. “Baju yang kami produksi mulai dari jahitan yang baik. Kami berikan yang terbaik untuk bisnis dengan harapan nanti bisa jadi besar,” ungkapnya. Pembeli pertama adalah saudara dan teman-temannya. “Langsung excited banget, karena langsung habis. Ini berarti pasarnya besar. Kami juga creating market. Dulu jarang banget ada hijab, adanya baju muslim biasa. Akhirnya, saya memutuskan untuk created market sendiri,” paparnya.

Untuk memperluas pasar, ia kemudian bergabung dengan Hijabers Community. Bersama kedua temannya tersebut, ia membuat label baju muslim, Mainland Heritage. Tak hanya teman dan saudara, ternyata rancangannya juga diterima baik para fashionista. Inilah yang memicunya untuk serius menggeluti bisnis fashion. “Kalau mau bisnis kita sukses, jangan setengah-setengah menjalankannya, harus total,” ujar perempuan bertubuh mungil ini. Keyakinan inilah yang membuat Restu terus melangkah meski kemudian kedua temannya tidak lagi bisa meneruskan kerja sama karena harus pindah ke luar kota. “Saya merasa ini harus growing dan total. Sesuatu yang kita jalani dengan serius, insyaAllah hasilnya juga serius,” imbuhnya.

Ia pun lantas menggeber pemasaran lewat dunia maya. Awalnya berjualan di Facebook dan blog, kemudian merambah Instagram dan situs web. “Sekarang saya fokus di website,” ujarnya. Selain online, desain-desainnya ia pajang di tokonya di fX Sudirman. Ada rekanan juga di Yogyakarta, Purwokerto dan Surabaya yang memperluas jangkauan pasarnya. Menurutnya, saat ini ia akan fokus menguatkan bisnis online. “Saya tidak berani buka store banyak sampai sistem manajemen keluar,” katanya. Saat ini kendala yang paling dirasakannya adalah menghadapi SDM. “Saya masih belajar. Satu-satu dibenahi. Saya merasa baru lahir dan belum bisa seprofesional itu untuk handle semuanya,” katanya. Saat ini ia menangani semua urusan. “Saya membuat pabrik produksi di rumah, jadi setiap ada permasalahan saya langsung turun tangan.”

Banyak suka dan duka selama Restu menjalani bisnis. Apalagi, dari keluarganya tidak ada yang memiliki basic bisnis. Karena itu, mulai dari membuat workshop hingga konveksi ia lakukan sendiri sembari belajar. Ia pun sempat kehabisan modal dan menghadapi masalah penjahit. Sampai sekarang, terkadang masih menemukan kendala. “Saya kadang tutup mata. Karena, kadang bingung mau tanya ke siapa saja. Semuanya serba sendiri. Yang penting, harus terus belajar serta punya target dan planning sendiri biar tidak kehabisan ide. Juga, disiplin,” ungkap Restu yang, kalau sedang buntu ide, mencari referensi di dunia maya atau jalan-jalan.

Menurutnya, ide menjadi nyawa desain. Apalagi, persaingan bisnis sangat ketat saat ini. Ia melihat kini banyak pemain besar dengan kekuatan modal yang besar pula terjun di bisnis busana muslim. “Saya masih baru banget harus bersaing dengan perusahaan besar yang terjun dengan ambil konsep yang hampir sama. Belum lagi kebentur mengenai supplier. Semakin mau meningkatkan produk, semakin banyak tantangan yang dihadapi,” katanya. Bagaimana ia menghadapinya? “Fokus dan jalani. Harus created sendiri. Misalnya, sedang tren bunga-bunga, jangan ikut-ikutan memproduksi bunga-bunga. Tetapi, tetap pada create market,” tuturnya.

Bagi Restu yang sempat berkarier di perusahaan event management pada 2010, semua hambatan dan tantangan yang ditemuinya jusru membuatnya semakin percaya diri untuk lebih produktif. Adanya karyawan yang bergantung padanya menjadi penyemangatnya. Ke depan, ia ingin terus meningkatkan produksi lebih dari 1.000 potong per bulan. Juga, brand yang ia miliki bisa berkembang seperti brand luar negeri yang masuk ke Indonesia, misalnya Zara.

Karena itu, pintu kerja sama selalu dibukanya lebar-lebar, termasuk bermitra dengan e-commerce Zalora untuk koleksi khususnya dan akan terlibat proyek baru dengan department store Galleries Lafayette di Pacific Place, Jakarta. “Prinsipnya mengalir saja, jangan pernah berhenti dari dunia fashion. Jalani saja, pasti ada peluang dan tetap bisa berkreasi untuk mengatasi hambatan,” ujar Restu yang bersyukur mendapat dukungan penuh dari suami dan orang tuanya.(*)

Henni T. Soelaeman dan Lia Amelia Martin


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved