Brand Value zkumparan

PLN, Jalankan Aneka Program Penguatan Brand Equity

PLN, Jalankan Aneka Program Penguatan Brand Equity
Muhamad Ali, Plt. Dirut PT PLN (Persero)

Di Indonesia, PT PLN (Persero) adalah satu-satunya perusahaan yang memasok dan menjual energi listrik untuk masyarakat, termasuk konsumen rumah tangga. Karena itu, berbeda dengan di industri telekomunikasi (yang terdiri dari beberapa pemain besar, baik BUMN maupun swasta), bicara soal kelistrikan tentu pikiran orang langsung terasosiasi dengan nama merek PLN.

Tak terlalu mengejutkan, PLN yang baru kali ini dinilai dalam rangka penilaian 100Indonesia’s Most Valuable Brands (yang dilakukan lembaga valuasi merek mitra SWA, Brand Finance) mampu duduk di peringkat 11, peringkat yang bisa dibilang cukup baik.

Biasanya merek-merek yang dinilai Brand Finance adalah nama merek korporat atau produk dari kalangan perusahaan emiten (yang sudah go public). Alasan utamanya, data dari perusahaan emiten ini tersedia untuk publik di laporan tahunannya. PLN, bersama Pertamina, boleh dibilang pengecualian. Kedua BUMN ini belum menjadi emiten walaupun sejumlah datanya tersedia di website. Keduanya bisa ikut dalam penilaian Most Valuable Brands ini karena kesediaan manajemen untuk berbagi sejumlah data lain yang dibutuhkan dalam proses penilaian.

Dari hasil penilaian Brand Finance kali ini –PLN duduk di posisi 11 dalam daftar 100 Most Valuable Brands– nilai merek (Brand Value/BV) perusahaan ini sebesar US$ 653 juta. Dengan perhitungan nilai perusahaan (Enterprise Value/EV)-nya yang sebesar US$ 42,6 miliar, nilai merek tadi baru menyumbang 2%. Persentase yang masih relatif kecil ini memang salah satu “risiko” umumnya perusahaan dengan nilai perusahaan besar. Sebagai perbandingan, Pertamina yang dinilai punya EV US$ 66,07 miliar, kontribusi nilai mereknya 4%.

Dari segi indeks kekuatan mereknya, atau Brand Strenght Index (BSI), skor yang dicapai PLN sebesar 66,12. Adapun Brand Rating yang digaetnya adalah AA- .

Kalau mau diurutkan dari kalangan perusahaan pelat merah, atau perusahaan yang sahamnya mayoritas dikuasai pemerintah, peringkat nilai merek PLN berada di posisi ke-6, setelah Telkom, BRI, Pertamina, Bank Mandiri, dan BNI. Di lingkungan BUMN ini, dalam peringkat 20 teratas, posisi PLN ini masih di atas Garuda Indonesia, PP (Persero), BTN, dan Waskita Karya.

Sementara itu, kalau mau dimasukkan dalam kelompok perusahaan energi, PLN berada di posisi kedua setelah Pertamina. Posisi merek perusahaan setrum milik pemerintah ini masih di atas nama-nama merek seperti PGN, Medco Energy, Adaro Energy, ataupun Indika Energy.

Mestinya capaian yang mengesankan dari PLN dalam konteks penilaian merek ini bukan hanya karena posisinya sebagai satu-satunya pemasok dan penjual energi listrik untuk publik. “Selama ini kami juga fokus membangun brand equity kami,” ujar Muhamad Ali, Plt. Dirut PLN. Alasannya, menurut Ali, brand value sebuah perusahaan tidak akan meningkat jika perusahaan tersebut tidak fokus membangun ekuitas mereknya.

Untuk meningkatkan ekuitas mereknya, PLN menjalankan aneka program dengan memperhatikan sejumlah faktor penting.

Pertama, kualitas. Ali menyebutkan, sebagai perusahaan dengan produk berupa tenaga listrik, PLN harus mampu menjamin kualitas produknya, yakni melalui penerapan Tingkat Mutu Pelayanan. Ada 13 indikator yang dipakai, di antaranya lama gangguan per pelanggan (jam/bulan), jumlah gangguan per pelanggan (kali/bulan), kecepatan penyambungan sambungan baru tegangan rendah (hari kerja), kecepatan pelayanan perubahan daya tegangan rendah (hari kerja), dan kecepatan menanggapi pengaduan gangguan (jam).

Kedua, positioning, berdasarkan manfaat produk. Dengan slogan Electricity for Better Life, PLN ingin menunjukkan sebagai yang terdepan dalam mendorong kemajuan. Pada peringkat Ease of Doing Business 2018, Indonesia melalui PLN berhasil memperbaiki layanan penyambungan listrik dari peringkat 91 (pada 2017) menjadi 72. Adapun dalam hal kemudahan mendapatkan listrik, naik dari peringkat 49 (pada 2017) menjadi 38. Hal itu bisa tercapai antara lain lewat digitalisasi pelayanan dengan Contact Center 123 dan aplikasi PLN Mobile.

Ketiga, repositioning. Hal ini terkait dengan kemajuan teknologi dan gaya hidup konsumen, misalnya dengan penggunaan kendaraan listrik (electric vehicle). PLN mendukungnya dengan produk Stasiun Penyedia Listrik Umum (SPLU) atau charging station. Total di Indonesia sudah dibangun 3.000 unit SPLU, 1.800 unit di antaranya ada di Jakarta. Dalam kaitan ini, PLN menjalin kerjasama dengan Blue Bird, TransJakarta, dan Damri.

Keempat, well-blended communication. Maksudnya, PLN berkomunikasi dengan pelanggan melalui berbagai kanal, baik above the line (ATL) maupun below the line (BTL). Untuk ATL, ada yang lewat media cetak, media elektronik, ataupun media sosial. Adapun BTL, misalnya melalui customer gathering. Ali menyebutkan, media komunikasi yang paling efektif sekarang ini adalah Call Center 123 dan aplikasi PLN Mobile.

Kelima, kredibilitas. Dikatakan Ali, sebagai perusahaan besar, bahkan BUMN dengan aset terbesar, PLN ingin menjadi pionir di bisnis ketenagalistrikan. Contohnya, sebagai pionir dalam penyediaan SPLU, seiring dengan berkembangnya gaya hidup berkendara listrik. Juga, berupaya menjadi pionir di bidang energi baru dan terbarukan. Misalnya, dengan pengembangan PLTB Sidrap di Sulawesi Selatan, di atas lahan 100 hektare dengan 30 Wind Turbin Generator. Sementara di bidang lingkungan, PLN telah mendapatkan Proper Emas dari Kementerian LHK untuk PLTU Paiton dan PLTDG Pesanggrahan.

Keenam, long-term perspective. Dalam hal ini, guna memastikan konsistensi strategi dan implementasinya ke depan, PLN telah punya sejumlah acuan, yakni berupa Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk jangka 10 tahun, Rencana Jangka Panjang untuk jangka lima tahun, serta Rencana Kerja dan Anggaran untuk jangka satu tahun.

Ketujuh, internal marketing. Ali menjelaskan, dengan sekitar 46 ribu karyawan, PLN punya potensi besar untuk bisa mengomunikasikan produk dan layanan kepada pelanggan. Karena itu, PLN telah mengadakan pelatihan secara periodik dan berjenjang untuk para anggota tim Key Account Marketing. “Mereka diajari detail produk, strategi probing, dan komunikasi pelanggan. Selanjutnya, diberi target pemasaran,” katanya.

Siapa yang menjalankan program penguatan merek tersebut? “Konsep di PLN itu everybody is marketer,” kata Ali. Hanya saja, penanggung jawabnya adalah Departemen Bisnis dan Pelayanan Pelanggan, yang dipimpin oleh seorang senior executive vice president, dan didukung oleh departemen/divisi lainnya, terutama Satuan Komunikasi Korporat.

Meski bukan merupakan emiten yang sahamnya diperdagangkan di bursa, nilai merek yang tinggi juga menjadi perhatian PLN. Menurut Ali, ada beberapa alasannya. Pertama, dibutuhkan untuk kesinambungan bisnis, dengan terjadinya pertumbuhan bisnis setiap tahunnya. Kedua, PLN punya daya tawar lebih tinggi di mata shareholder ataupun investor. Maklumlah, PLN juga merupakan perusahaan BUMN yang sudah mengeluarkan obligasi, yang ditawarkan kepada para investor. Dan ketiga, yang tak kalah penting, PLN ingin menjadi perusahaan top of mind di kalangan talenta potensial di luar PLN, sehingga bisa diperkuat orang-orang terbaik.

Ali menilai langkah PLN tersebut sejauh ini sudah menunjukkan keberhasilan. Antara lain, ditandai dengan pengakuan dunia internasional seperti World Bank yang telah menaikkan peringkat Ease of Doing Business. Bukti lainnya, perolehan investment grade rating dari tiga lembaga internasional, yaitu Standard & Poors, Moody’s, dan Fitch Rating.

Joko Sugiarsono dan Arie Liliyah

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved