GCG Companies zkumparan

BCA: Transformasi Berlandaskan GCG

BCA: Transformasi Berlandaskan GCG
Subur Tan, Direktur Pengelola BCA

Industri perbankan, seperti juga banyak industri lain, yang terdisrupi akibat perkembangan teknologi informasi, memunculkan tantangan yang makin kompleks bagi para pemainnya. Tak peduli sebesar dan sekuat apa pun bank tersebut, pasti tak bisa menghindar dari kondisi tersebut. Bagi BCA, menurut Subur Tan, Direktur Pengelolanya, setidaknya ada tiga tantangan yang dihadapi oleh bank swasta terbesar di Indonesia ini. Pertama, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) secara dinamis terus mengeluarkan peraturan dalam rangka mengikuti perkembangan model bisnis saat ini.

Kedua, BCA juga masih terus berkompetisi secara dinamis dengan sesama bank, baik nasional maupun asing. Dan, ketiga, BCA juga harus menghadapi disrupsi digital yang membuat pengelola bank jadi bertanya-tanya dengan kehadiran financial technology(fintech) dan sebagainya. Kelak bank akan menjadi apa? “Kami melihat sudah muncul fintech-fintech yang sudah sangat mirip dengan layanan bank, mereka muncul sebagai jawaban untuk orang-orang yang merasa ‘ribet’ berurusan dengan bank,” tutur Subur Tan.

Kemudian, dari hasil focus group discussion (FGD) yang dilakukan BCA dengan nasabahnya, ketika ditanyakan, mengapa mereka memilih BCA, banyak yang menjawab karena layanan dan teknologinya. “Kalau sampai ada bank lain yang jauh lebih unggul teknologinya, bisa jadi mereka pindah,” kata Subur Tan. Namun, ada juga yang mengatakan, BCA menjadi partner dan memberi solusi buat nasabahya.

Fakta lain yang didapat dari FGD, nasabah kurang mengenal produk BCA, meskipun sudah lama diluncurkan. Nasabah tidak tahu atau tidak aware BCA punya produk itu. Ada juga yang mengatakan, mereka butuh informasi pemahaman tentang produk BCA secara merata. Mereka ini terutama mereka di daerah. “Itu beberapa hal yang kami dapatkan dari FGD,” ungkap Subur Tan.

Sementara itu, kalau melihat data transaksi di BCA, menurut Subur Tan, secara kenyataan, transaksi di cabang itu terus menurun dalam 3-5 tahun terakhir, sedangkan transaksi di luar cabang meningkat pesat sekali. “Bisa dikatakan transaksi di cabang itu tinggal 3%, sisanya 97% itu terjadi di kanal digital,” ungkapnya. Mengapa masih ada yang tiga persen itu? Dia memperkirakan, ini mungkin semacam efek dari regulasi juga, seperti kliring dalam jumlah besar, setor tunai dalam jumlah besar, kemudian pembayaran cek dan sebagainya dalam jumlah besar, itu semua masih dilakukan secara langsung di cabang karena memang aturannya di digital ada batas maksimum nilai yang boleh ditransaksikan. “Jadi, yang datang ke cabang itu bisa jadi adalah nasabah bisnis, bukan individu. Kalau nasabah individu middle ke bawah sudah pasti transaksinya di digital,” lanjut Subur Tan.

Dengan fakta-fakta tersebut, BCA memutuskan untuk mengintensifkan lagi relationship dengan nasabah, lebih dekat lagi mengenali kebutuhan mereka. Jadi, tidak cuma datang kalau mau jualan produk baru atau ada masalah. “Relationship dengan nasabah adalah keharusan, dan kami juga akan terus memperkuat kapabilitas digital kami,” Subur Tan menandaskan. Secara kapabilitas digital, BCA menyadari kini sudah ada pergeseran atau perbedaan. Dulu, layanan utama adalah di cabang, sedangkan digital atau kanal elektronik itu dianggap sebagai tools yang membantu saja. Namun, sekarang posisinya sudah terbalik, cabang hanya berfungsi sebagai tools, sedangkan layanan digital jadi layanan utamanya. “Karena itu, data analytics dari digital yang akan jadi kekuatan BCA bagaimana menggarap pasar di industri perbankan,” ia menjelaskan.

Karena itu, transformasi (model) bisnis adalah suatu keniscayaan. Bagi BCA, kata Subur Tan lagi, ini merupakan suatu tantangan dan peluang ke depan, dengan tujuan memberi keuntungan bagi semua stakeholders. Untuk itu, ia menguraikan, guna menyelaraskan dari sisi governance, rencana transformasi tersebut dicantumkan dalam rencana bisnis BCA yang diajukan oleh direksi dan disetujui oleh dewan komisaris. BCA juga menyiapkan infrastruktur untuk menunjang transformasi bisnis tersebut, baik dari sisi SDM maupun delivery channel. Selain itu, dalam hal comply dengan good governance, BCA juga punya sistem untuk memastikan setiap unit bisnis melakukan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan prinsip-prinsip dalam Good Corporate Governance (GCG) yang sudah ditetapkan oleh perusahaan.

Banyaknya regulasi baru di industri perbankan saat ini yang harus diikuti, serta tantangan dan peluang dengan semakin berkembangnya teknologi digital, menyebabkan proses kerja BCA berubah. Menurut Subur Tan, BCA harus menyiapkan segala tools, produk, dan SDM untuk melayani nasabah yang telah berubah preferensi dan habit-nya. Namun, “Mengubah proses bisnis akan menimbulkan risiko baru, atau juga meningkatkan risiko yang sudah ada,” katanya. Misalnya, di operasional transaksi, karena transaksi online meningkat, ada risiko mulai dari pengembangan hingga operasional. “Jadi, kami harus bisa melakukan mitigasi risiko tersebut,” Subur Tan menegaskan.

Berikutnya, kalau sudah diimplementasikan, bagaimana melakukan review dan monitoring: Apakah produk atau aktivitas tersebut sudah sesuai target? Apakah muncul risiko baru lagi? Tujuannya, untuk pengembangan produknya lebih lanjut. Terkait manajemen risiko, kata Subur Tan, BCA mempunyai beberapa alat pemantauan, seperti risk control self assessment (RCSA) dan security monitoring center (SMC). Dari sisi comply, juga ada yang memantau transaksi mencurigakan. “Jadi, kami melakukan risk management proaktif,” Subur Tan menandaskan.

Dalam konteks compliance, fungsinya adalah mengkaji produk atau aktivitas baru itu dalam transformasi bisnis agar comply terhadap ketentuan yang berlaku. Nah, secara proaktif itu ada pencegahan dan perbaikan. Untuk pencegahan, dilakukan dengan cara meningkatkan pengetahuan dan kesadaran insan BCA mengenai kepatuhan terhadap regulasi, antara lain dengan mengadakan sosialisasi dan pelatihan. Dengan pertambahan regulasi dari pemerintah yang begitu cepat, agar proses bisnis tetap bisa berjalan lancar, secara berkala dilakukan review terhadap kebijakan dan prosedur di BCA. “Jadi, kami selalu pastikan agar produk dan ketentuannya bareng keluarnya. Jangan sampai produknya sudah jadi, ketentuannya belum siap,” tutur Subur Tan.

Terkait dengan penilaian terhadap penerapan prinsip-prinsip GCG dalam mengelola transformasi (model) bisnis, Indonesia Intitute for Corporate Governance (IICG) dan majalah SWA menggunakan tiga aspek dan indikator. Pertama, struktur tata kelola (governance structure), yakni menilai kecukupan struktur dan infrastruktur transformasi model bisnis dalam mengelola perusahaan, meliputi struktur tata kelola perusahaan dan kebijakan tata kelola perusahaan. Kedua, proses tata kelola (governance process), yakni penilaian terhadap sistem mekanisme dalam mengelola transformasi. Dan, ketiga, hasil tata kelola (governance outcome), yakni menilai kualitas output, hasil, dampak, dan manfaat dari mengelola transformasi tersebut. Hasilnya, dari aspek struktur governansi, BCA meraih skor 22,84 (bobot 25,75%), aspek proses governansi 38,23 (43%), dan aspek hasil governansi 27,98 (31,25%), sehingga skor toalnya 89,05, yang berarti meraih predikat “Most Trusted Company”, atau Sangat Terpercaya”.

Subur Tan menegaskan, transformasi bisnis yang dilakukan BCA itu bertujuan memperkuat layanan secara nasional dan terintegrasi. Sehingga, layanan kepada nasabah melalui cabang dan kanal digital tetap diperkuat. “Kami berharap tetap memiliki funding pool yang kompetitif dari sisi cost of fund-nya, sehingga itu mendorong kami untuk tetap bisa mendukung bisnis kredit korporasi maupun kredit konsumer,” katanya. (*)

Kusnan M. Djawahir dan Arie Liliyah

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved