GCG Companies

BNI, Bangun Ketangguhan dengan Perkuat Budaya Sadar Risiko

Mucharom, Direktur Human Capital & Compliance BNI.
Mucharom, Direktur Human Capital & Compliance BNI.

Sebagai salah satu bank dengan nilai aset terbesar di Indonesia, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. merasa memiliki kewajiban tinggi untuk melaksanakan pengelolaan operasi bisnisnya dengan kepatuhan terhadap etika bisnis dan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga demi memastikan bisnisnya dikelola secara bertanggung jawab, berhati-hati, dan mampu dijaga keberlanjutannya. Apalagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengikat kalangan bank umum seperti BNI untuk dapat memenuhi Prinsip Good Corporate Governance (GCG) sebagaimana isi Peraturan OJK No. 55/POJK.03/2016 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum.

Bagi BNI, praktik GCG bukanlah hal baru. Bank BUMN ini menerapkan lima prinsip utama GCG ―Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, dan Kewajaran― melalui Governance Structure ataupun Governance Process, sesuai dengan arahan POJK tersebut. Berkat konsistensinya, bank ini mampu mempertahankan predikat sebagai salah satu the Most Trusted Company (skor 90,00 ke atas) berdasarkan hasil asesmen Corporate Governance Performance Index (CGPI) yang diadakan IICG dan SWA.

Menurut Mucharom, Direktur Human Capital & Compliance BNI, hasil atau outcom dari penerapan prinsip GCG ini yaitu kinerja bisnis dan skor pelaksanaan GCG dapat memenuhi harapan para pemangku kepentingan. “Implementasi tata kelola yang baik akan mengurangi risiko yang berdampak besar, sehingga kelangsungan BNI dapat terjaga,” katanya.

Mucharom menjelaskan, dalam menjalankan prinsip GCG, BNI ditopang oleh sejumlah nilai utama. Pertama, nilai budaya AKHLAK (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, dan Kolaboratif) sebagai core values di lingkungan BUMN.

Kedua, Prinsip 46, sebagai tuntunan perilaku insan BNI. Ketiga, nilai RACE (Risk Culture, Agile, Collaboration, dan Execution Oriented) sebagai transformation values bank ini. “Internalisasi tiga value utama tersebut kami lakukan secara berkesinambungan,” ujarnya.

Di saat tetap harus konsisten dengan praktik GCG-nya, BNI juga berupaya melakukan transformasi bisnis, dengan pendekatan transformasi budaya (nilai-nilai RACE). Bagi institusi ini, transformasi memang menjadi suatu keharusan. Sebagaimana dipaparkan Mucharom, pandemi Covid-19 dan faktor-faktor lainnya telah mengubah lanskap industri perbankan.

Sejumlah faktor situasional telah mendorong BNI melakukan transformasi, seperti penurunan ekonomi, penurunan kinerja perbankan, perubahan perilaku nasabah (yang cenderung ke transaksi digital dan cashless), serta peningkatan kejahatan siber dan risiko digital. Secara lebih spesifik, ada sejumlah tantangan di tahun-tahun mendatang bagi dunia perbankan, yakni kondisi ekonomi global yang resesif, peningkatan suku bunga dan cost of fund, kenaikan angka inflasi, kenaikan harga komoditas, dan berakhirnya stimulus Covid-19.

Dalam menjaga keberlanjutan bisnisnya, BNI telah menetapkan strategi jangka panjang 2021-2025 yang dituangkan dalam inisiatif BNI Corporate Transformation. Targetnya, pada tahun 2025 BNI dapat menjadi regional champion dalam solusi perbankan digital berbasis ekosistem dan memiliki kapabilitas teknologi masa depan.

Sejak 2021, BNI telah mencanangkan tujuh kebijakan strategis, yakni mengoptimalkan manajemen risiko dan disiplin proses kredit dalam meningkatkan kualitas aset; meningkatkan ekspansi bisnis yang selektif secara berkelanjutan; meningkatkan ekspansi pasar global melalui akselerasi strategi bisnis internasional; meningkatkan CASA dan fee-based income (FBI) yang sustain melalui peningkatan transaksi; meningkatkan digital capability melalui inovasi dan partnership; meningkatkan sinergi BNI Group dalam mengoptimalisasi kontribusi perusahaan anak; serta mengoptimalisasi human capital dan operasional dalam mendukung bisnis BNI.

Dalam paparan presentasinya, disebutkan bahwa pada 2022 BNI melanjutkan kebijakan strategis yang telah dicanangkan sejak 2021 itu, dengan menambahkan: “melanjutkan strategi penguatan dan utilisasi capital management”.

Kebijakan strategis tersebut kemudian ditranslasikan BNI ke dalam sejumlah indikator kuantitatif, yang pada dasarnya dibagi dua kelompok. Pertama, indikator Prudent Growth, yang terdiri dari loan growth (dengan target sebesar 10% ―pada 2025) dan FBI to total revenue (dengan target 35%).

Kedua, indikator Healthy & Sustainable Business, yang terdiri dari non performing loan (dengan target di bawah 1,5%), cost of credit (dengan target 1%), cost to income ratio (dengan target di bawah 42%), dan return on equity/ROE (dengan target di atas 18%).

Adapun fokus pertumbuhannya pada tiga segmen. Pertama, segmen Corporate & Commercial, dengan target menggaet top-tier companies. Kedua, segmen Small Medium Enterprises (SME), dengan target menggaet digital sme dan kelompok xpora (exporters & diaspora). Ketiga, segmen Consumers, dengan target menggaet kalangan low risk customers yang berada dalam rantai nilai segmen wholesale dan SME.

Untuk mendukung kebijakan strategis tersebut, menurut Mucharom, BNI melakukan penguatan risk management di berbagai lini. Tata kelola risiko ini melibatkan pengawasan dari segenap organ/perangkat dan stakeholders; mulai dari RUPS, dewan komisaris, jajaran direksi, perangkat third line of defence, serta organ penunjang, antara lain komite-komite di bawah dewan komite di bawah direksi, satuan kerja manajemen risiko, satuan kerja audit internal, satuan kerja kepatuhan, dan Sekretaris Perusahaan.

“Setiap organ mempunyai peran penting dalam pelaksanaan GCG yang efektif, dan berkewajiban menjalankan fungsinya sesuai dengan ketentuan Anggaran Dasar bank,” katanya.

Penguatan manajemen risiko untuk memperkuat ketangguhan BNI itu dijalankan dengan basis strategi budaya risiko (risk culture), dengan prinsip: “Budaya risiko yang kuat ditentukan oleh risk behavior, risk driver, dan berakar dari budaya perusahaan yang kuat.”

Strategi implementasinya disesuaikan dengan tingkat maturitas budaya risiko itu. Mulai dari tingkatan Sadar Risiko (Tahu), diperlengkapi dengan kompetensi memadai (Mampu) dan Termotivasi (Mau) dalam hal engagement dan ownership terhadap perusahaan. Implementasi budaya risiko ini melalui langkah: penguatan kontrol internal, peningkatan risk awareness, penyelenggaraan program related-risk award, dan penilaian risk maturity untuk pengembangan ke depan.

Untuk mendukung penguatan BNI menghadapi persaingan bisnis global, Mucharom mengungkapkan, pihaknya menjalankan sejumlah program penguatan manajemen risiko dan penguatan permodalan.

Penguatan manajemen risiko dilakukan melalui program: peningkatan kualitas kredit dan profitabilitas melalui perbaikan end-to-end credit process, perbaikan proses operasional di outlet, penguatan IT & digital risk, serta implementasi ESG dan sustainable financing. Adapun penguatan permodalan dilakukan melalui program: penerbitan T2 Capital (melalui BNI Tier-2 Capital Bond senilai ratusan juta US$) dan penerbitan AT1 Capital (melalui BNI Additional Tier-1 Perpetual Non Cumulative Capital Securities, juga senilai ratusan juta US$).

Dalam situasi ekonomi Indonesia yang belum pulih sepenuhnya, BNI sejauh ini sudah mampu mencatatkan kinerja positif. Hingga September 2022, capaian loan growth sebesar 9,1%, FBI to total revenue 27%, non performing loan 3,0%, cost of credit 2,0%, cost to income ratio 41,4%, dan ROE 15,2%.

Mucharom juga mengungkapkan, hingga kuartal III/2022, laba bersih BNI tumbuh 76,8% year on year (YoY), mencapai Rp 13,7 triliun. “Pertumbuhan laba yang sehat ini tetap dapat dicapai meskipun kami menerapkan strategi fungsi intermediasi selektif,” katanya bangga.

Pertumbuhan laba itu didukung oleh pertumbuhan kredit yang mencapai 9,1% YoY menjadi Rp 622,61 triliun. “Eksposur kredit berkualitas tinggi ini diharapkan berdampak pada perbaikan kualitas kredit BNI dalam jangka panjang,” ujarnya.

Untuk menopang pertumbuhan kredit, BNI mengandalkan pendanaan murah, terutama dari CASA (yakni tabungan dan giro). Rasio CASA BNI mencapai 70,9% dari total dana pihak ketiga. Angka ini merupakan pencapaian yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir ini.

Dengan performa tersebut, Mucharom menyebutkan, net interest income BNI tumbuh 5,2% YoY menjadi Rp 30,2 triliun. Adapun non-interest income juga tumbuh baik, mencapai 7,8% YoY menjadi Rp 11 triliun, yang didorong oleh transaksi digital dan fee dari bisnis sindikasi, sehingga BNI mencetak pendapatan operasional sebelum pencadangan atau yang disebut pre-provisioning operating profit, sebesar Rp 25,8 triliun atau meningkat 9,7% YoY.

Bagi BNI, penerapan prinsip-prinsip GCG di lingkup perusahaan dan entitas anak menjadi hal penting demi menjaga kesinambungan usaha perusahaannya. “Melalui penerapan prinsip tersebut, BNI yakin dapat tangguh menghadapi persaingan yang semakin ketat,” kata Mucharom. (*)

Joko Sugiarsono & Jeihan K. Barlian

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved