GCG Companies zkumparan

Transformasi di Walmart

Transformasi di Walmart
Doug McMillon, CEO Walmart (foto Brian Smale, fortune.com)

Tak ingin kalah dari Amazon, raksasa ritel ini melakukan banyak perubahan. Di tengah transformasi yang digelar, tata kelola perusahaan yang baik tetap diperhatikan.

Selama bertahun-tahun, Walmart terlihat memahami apa yang diinginkan pelanggan. Ia menjadi kekuatan ritel terbesar dunia. Namun, di tengah kenyamanan, angin perubahan berembus kencang. Tiba-tiba datang internet dan dunia digital. Muncul pemain yang bisa menelusuri dan memprediksi apa yang dibutuhkan pelanggan. Terutama, Amazon dan pemain e-commerce. Walmart pun goyang.

Seiring penjualan yang mulai menurun, pemilik Walmart bertindak cepat. Mereka menempatkan Doug McMillon sebagai CEO di tahun 2014. Tugasnya jelas: membawa perusahaan ke masa depan. Lelaki 50 tahun ini pun menangkap tantangan itu sekalipun mengetahui bahwa tugas ini sangat berat karena melakukan transformasi salah satu perusahaan terbesar di Amerika Serikat. Tak sedikit yang menyoroti nasib 4.600 tokonya di seantero AS. Mereka diragukan akan bertahan dari gempuran.

Untuk menghadapi Amazon dan tetap mempertahankan posisi sebagai peritel terbesar di dunia, McMillon pun membawa Walmart melakukan transformasi besar-besaran. Ada beberapa langkah yang dilakukannya. Namun, secara garis besar perusahaan ini membenahi toko-toko tradisionalnya dan mengembangkan kapabilitas di jalur online serta membangun aset online untuk menghadapi gempuran pemain e-commerce sekaligus memeluk dunia digital itu sendiri. “Kami berubah. Kami beradaptasi,” ujar McMillon.

Di jalur offline (toko tradisional), McMillon melakukan langkah strategis. Dilihat dari sisi kekuatan, kedekatan gerai-gerai Walmart dengan para pembeli membuat perusahaan ini punya kaki untuk menghadapi para pesaingnya di sektor grosir. Sekitar 90% orang Amerika hidup dalam radius 16 mil dari Walmart. Bisnis grosir itu sendiri menjadi arus pemasukan terbesar bagi gerai-gerai Walmart, sekitar 56% dari total penjualan per tahun yang mencapai US$ 500 miliar (Rp 7.250 triliun).

McMillon juga percaya bahwa supercentre seluas 182 ribu m2 merupakan senjata paling efektif untuk melawan Amazon. Memang, belakangan Amazon membeli Whole Foods tahun 2017, tetapi diyakini tidak mudah bagi perusahaan ini untuk mereplikasi kehadiran brick-and-mortar di seluruh dunia, tak terkecuali Walmart di AS.

Akan tetapi, McMillon juga melihat pada banyak segi mereka kalah dibandingkan Amazon. Terutama, di jalun online dan dalam kemampuan membidik kalangan menengah-atas. Dia sadar Walmart ada di belakang Amazon dalam membangun kapabilitas online shipping: Walmart mengoperasikan kurang dari 10 fasilitas e-commerce, berbanding dengan 122 core fulfillment center milik Amazon.

Menghadapi hal demikian, dia menggelar strategi berikut: seraya tetap mempertahankan bisnis grosir dengan meningkatkan kualitas barang grosir yang dijual untuk kalangan yang berpendapatan menengah-bawah, Malmart juga membidik kalangan kelas atas. Caranya?

Mengakuisisi merek kelas atas, termasuk Bonobos dan Modcloth, untuk meningkatkan citra perusahaan di kalangan kaum yang dompetnya lebih tebal. Di luar itu, Walmart juga berinvestasi pada sejumlah merek private label, termasuk Great Value dan produk-produk anggur. Pendek kata, Walmart berupaya menggoda kalangan yang lebih tebal dompetnya untuk belanja lebih banyak pakaian dan perabot rumah tangga.

Langkah-langkah lebih besar dilakukan di jalur online. Untuk mempersempit jurang yang ada dan memperkuat posisi di jalur ini, McMillon mengembangkan langkah yang agresif. Yang menarik, ketimbang berjudi dengan nama Walmart dengan menciptakan marketplace yang setara dengan Amazon dan membangun kompetensi digital dari awal, McMillon lebih memilih melakukan akuisisi agar terjadi percepatan mengejar Amazon.

Maka, gelombang akuisisi pun terjadi. Langkah pertama, membeli Yihaodian, perusahaan e-commerce berbasis di China di tahun 2015, lalu mencaplok Jet.com senilai US$ 3 miliar di tahun 2016. Kemudian, membeli sejumlah merek seperti Bonobos, toko online khusus seperti Moosejaw, Hayneedle, dan Shoebuy. Oktober tahun lalu mereka juga mengambil merek digital Eloquii dan penjual lingerie, Bare Necessities. Perusahaan-perusahaan itu tetap berjalan seperti biasa, tetapi dalam genggaman Walmart.

Dalam konteks akuisisi ini, Walmart bahkan bertindak begitu berani. Ia melompat ke pasar global, mengakuisisi pemain e-commerce India, Flipkart, senilai US$ 16 miliar. Ini adalah deal terbesar Walmart sepanjang sejarah kehidupannya. Akuisisi ini membuat pemain AS ini punya posisi kuat mengambil pasar ritel online India yang tengah berkembang. Pasalnya, Flipkart memiliki ekosistem yang menarik. Di sekitarnya beroperasi Myntra dan Jabong (sebelumnya diakuisisi Flipkart) sebagai specialty fashion, dikombinasikan dengan layanan logistik Ekart serta PhonePe, perusahaan pembiayaan terbesar kedua di India.

Kendati tak menjadikan Walmart merek online, McMillon tak lupa untuk membenahi di sisi dalam. Dia memperbarui laman perusahaan yang dipimpinnya agar terlihat modern. Dia menambah lebih dari 2.000 merek di laman tersebut, yang terentang mulai dari peralatan dapur sampai pakaian luar ruang. Desain ulang ini tidak hanya menolong Walmart menarik pelanggan yang lebih kaya, tetapi juga meyakinkan merek-merek top untuk menjual di laman ini. Salah satunya, Advance Auto Parts, yang membuat halaman khusus di Walmart.com. Untuk menarik minat kalangan kaya ini, Walmart meluncurkan ulang Jet.com, marketplaceonline yang dibelinya tahun 2016 dari Lore senilai US$ 3,3 miliar.

Langkah penting yang juga dilakukan di jalur digital adalah bekerjasama dengan Google untuk urusan voice-activated shopping dan Microsoft. Khusus dengan Microsoft, untuk melawan Amazon, Walmart menggunakan layanan komputasi awan (Azure dan Microsoft 365) milik perusahaan besutan Bill Gates itu dalam operasionalnya. Selain itu, mereka juga akan bekerja sama dengan Microsoft untuk mengembangkan berbagai proyek yang melibatkan pembelajaran mesin, kecerdasan buatan (AI), serta platform data.

Bagi Microsoft sendiri, aliansi ini penting karena Amazon adalah pesaing serius di ranah komputasi awan. CEO Microsoft Satya Nadella bahkan menyebut kerjasama ini sangat strategis bagi keduanya untuk mengalahkan Amazon yang bermain di dua sisi: ritel dan teknologi.

Kerjasama ini memang diprediksi akan menguntungkan, baik bagi Microsoft maupun Walmart. Menariknya, kabar ini muncul hanya selang beberapa waktu setelah beredar kabar Microsoft tengah mengembangkan teknologi baru yang memungkinkan perusahaan ritel seperti Walmart membuka supermarket tanpa kasir, yang sudah dipraktikkan Amazon lewat Amazon Go.

Dengan seluruh langkah ini, tak mengherankan, McMillon pada Juni lalu, saat pertemuan dengan para pemegang saham, menyebut Walmart sebagai perusahaan teknologi. Ketika dia menyebutkan hal itu, tak sedikit yang menanyakan maksud pernyataan tersebut. Namun bila melihat langkah yang telah dibuat, patutlah hal tersebut dilontarkan. Pasalnya, Walmart telah bermitra dengan dua pemimpin besar dunia teknologi, yakni Microsoft untuk sektor komputasi awan, dan dengan Google untuk urusan voice-activated shopping. Di luar itu, Walmart juga melakukan sejumlah akuisisi dan investasi untuk mendongkrak platform e-commerce-nya.

Memang, transformasi ini masih akan terus berjalan. Akan tetapi, sejauh ini, hasilnya sudah terlihat positif. Rencana itu berjalan dengan baik. Penjualan grosir tumbuh. Penjualan online juga ditaksir tumbuh 40% di tahun 2018.

Menariknya, transformasi ini, seperti dikutip dari laman korporatnya, tetap diupayakan berjalan sesuai dengan rambu tata kelola perusahaan yang baik. Dalam mengawal proses bisnis, Dewan Direksi Walmart mengangkat konsultan eksternal untuk membantu efektivitas dewan direksi. Lalu, salah satu perubahan yang ada: dibuat pemisahan pada Compensation, Nominating and Governance Committee (CNGC) ke dalam dua komite yang bertanggung jawab kepada direktur independen.

Kemudian, mereka juga membuat The Data Governance and Stewardship Lead yang bertugas membuat kebijakan atas data serta prosedur yang menjamin ketersediaan data buat pengembangan bisnis. Tugas ini bersifat lintassektoral, termasuk ke sejumlah wilayah kunci seperti supply chain, merchandising, procurement, bahkan teknologi dan legal.

Kepatuhan pada Good Corporate Governance disadari manajemen Walmart menjadi fondasi agar tetap berjalan pada relnya dalam menghadapi ketatnya persaingan. Termasuk sekarang, ketika tengah melakukan transformasi. (*)

Riset: Elsi Anismar

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved